Berburu Profesor: Kesan Pertama

12 mins read
Copenhagen, Denmark, august 29, 2016: Motion blurred. Man in motion on a bike. In a tunnel in Copenhagen.

Tap! Tembak! Bukan hanya pacar yang ditembak. Profesor juga boleh ditembak. Lamar.

 

Perburuan profesor untuk menjadi supervisor studi doktoral saya dimulai dari sebuah perkenalan dengan seorang mentor. Saat itu, di penghujung 2009, saya baru saja dilantik menjadi dokter. Beberapa pekan sebelum pelantikan tersebut, gempa besar terjadi di samudera Hindia yang berdekatan dengan Sumatera Barat dan Mentawai. Saya diminta ikut serta turun ke lapangan dan diberi tugas melakukan needs assessment. Di situlah saya bertemu mentor pertama saya yang memaksa saya menyusun metode studi sederhana dan analisis. Sesuatu yang sebenarnya tidak begitu saya pahami. Meski sempat melakukan survey sederhana saat kuliah, saya tidak paham sama sekali tentang desain, sampling, dan analisis statistik. Tetapi, mentor saya itulah yang membimbing saya dengan teknik dorongan: nyebur! “Tulis saja dulu, nanti gue koreksi,” begitu katanya.

 

Belajar kilat di tengah desakan dan harus bertindak cepat itu ternyata berbuah hasil. Setidaknya, saya jadi tambah mengerti tentang penelitian meski dulu memutuskan untuk keluar dari kaderisasi lembaga penelitian mahasiswa beken di kampus, Lembaga Pengkajian dan Penelitian. Mungkin dulu saya ketakutan dan menganggap penelitian adalah terminologi yang begitu perkasa dan hanya dapat dikuasai kaum elite. Ternyata, tidak. Pelan-pelan saya berusaha memahami bahwa hal-hal baru, termasuk penelitian, tak perlu begitu ditakuti. Terlalu banyak hal yang dapat dipelajari di muka bumi ini. Yang membatasinya hanya ketakutan dan kemalasan.

 

Selesai pekerjaan penanggulangan bencana gempa tersebut, mentor saya menyodorkan informasi baru. “Fuady, ada summer course nih di Erasmus (University, maksudnya), Belanda. Cobain aja! Kali-kali dapet.” Saya lihat website-nya. Ada wajah kakak kelas yang satu tingkat di atas saya nampang di website. Wajah dan nama Indonesia semacam dirinya memang paling pas dimasukkan ke halaman depan website sebagai promosi. Supaya terlihat inklusif; dengan tagline: global lah, diversity lah. Ceileh. Bisa saja memang kampus Barat jika promosi. Sekali waktu ada mahasiswa berwajah eksotis—atau berjilbab, kemungkinan besar akan dia diminta menjadi model untuk brosur, lain waktu dipilih jadi penerima scholarship, di waktu yang lain dipromosikan untuk naik ke panggung, direkam, dan disebar ke seantero dunia. Itu namanya politik marketing. Sah? Saaaah… Silakan saja asalkan pada praktik sungguhannya juga harus sama egaliter dan equal treatment-nya.

 

Saya sama sekali tak punya pengalaman membuat aplikasi kursus, ikut konferensi di luar negeri, atau seleksi beasiswa keluar negeri sebelumnya. Terus terang, saya minder. Apalagi, prestasi akademik saya selama kuliah sama sekali tidak mentereng. Apa bisa?

 

Di saat seperti itulah mentor berperan penting. Dia bukan hanya mendorong, apalagi hanya memberi tugas angkat-angkat tas dan membuat presentasi—meski itupun secara tidak langsung berguna, setidaknya untuk menempa kesabaran haha. “Tulis saja motivation letter lo, entar gue koreksi,” katanya. Dan benarlah, motivation letter saya itu pulang dari laptopnya dengan banyak huruf berwarna merah dan komentar. Sejak saat itulah saya belajar untuk tidak baper. Banyaknya track changes dan komentar itu indikasi positif yang berarti bahwa si reviewer benar-benar membacanya dan memberi masukan untuk perbaikan. Tak perlu berkeluh kesah, “Ah, banyak bener maunya…” Ambil sisi positifnya untuk menempa proses untuk hasil yang lebih baik. Justru ketika permohonan review itu kembali dengan minim komentar, bahkan kosong—ketika kita menyadari bahwa kita masih perlu belajar, di situlah letak kesedihan paling mendasar.

 

Aplikasi beasiswa summer course itu akhirnya saya kirimkan tanpa harapan apa-apa. Bahkan, saya tidak memberitahukan siapa-siapa, termasuk orangtua. Ini bukan beassiwa yang besar. Jika berhasil, summer course yang harganya puluhan juta itu akan digratiskan dan penerimanya mendapat penginapan di international student house. Tetapi, tiket pesawat dan ongkos harian masih harus ditanggung sendiri.

 

Menginap di international house ini selama tiga pekan. Kamarnya luas, tapi kosong 🙂

 

Beruntung saya memiliki mentor lain yang ketika mengetahui saya mendapatkan beasiswa tersebut, beliau langsung gercep mencarikan sumber dana yang dapat dipakai. Itulah gunanya memiliki mentor yang baik hati—dan lebih dari satu. Mentor yang baik akan memanfaatkan setiap sumberdaya yang dia miliki atau ketahui untuk pengembangan anak didiknya. Bukan sekadar compliment, tetapi usaha mengerahkan segala jalur yang ia punya.

 

Beberapa pekan sebelum keberangkatan, satu email lagi masuk: saya terpilih menjadi satu dari tiga peserta yang diminta mempresentasikan rencana proyek risetnya di akhir course. Alamak! Antara bahagia dan deg-degan. Saya menyadari bahasa Inggris saya masih belepotan akibat enggannya saya belajar bahasa Inggris semasa kecil (soal ini, baca ceritanya di sini). Saya kemudian ingat seorang kawan semasa kuliah yang nyaris setiap hari membawa koran The Jakarta Post ke kelas. Jika dosen belum hadir, dia membuka korannya lebar-lebar di tengah keriuhan kawan-kawan lain yang memilih mengobrol atau main game bareng. “Lagi mau latihan aja,” katanya. Latihan yang benar-benar membantunya untuk melanjutkan studi dokter spesialis di Amerika dan kini praktik di sana. Saya mencoba-coba melakukan hal yang sama dengannya. Tetapi, karena tak punya uang untuk membeli koran mahal berbahasa Inggris, saya mulai dengan membuka-buka situs sepakbola atau berita luar negeri. Setidaknya, itu cukup membantu. Tidak ada kata telat. Semua dapat dilakukan. Dunia ini kan tidak sedang berlari-lari, nggak kayak Usain Bolt, jadi tak perlu dikejar-kejar. Dunia ini justru ruang besar yang memberikan space sebesar-besarnya bagi orang yang berkenan memulai hal baru.

 

dengan tampang lugu

 

Maka, pergilah saya ke Belanda di pertangahan musim panas. Saat tiba di sana hanya dua hari menjelang Ramadhan. Itu menjadi penanda baru dalam hidup saya: perjalanan pertama naik pesawat sendirian (cupu sekali ya…) dan masih harus belajar bagaimana caranya mengantre di check-in counter, sekaligus puasa dan lebaran pertama nun jauh dari kampung halaman sendirian. Ah, tak usah bayangkan pedihnya sahur dan bebrbuka dengan menu yang sama: kurma plus rendang bekal dari Mami. Plus segala missing sahur sehingga beberapa hari berpuasa tanpa sahur dengan hanya berbekal buka puasa kurma. Tetapi, dari situ justru saya menikmati Ramadhan tanpa keriuhan, bahkan berbalik penuh kesyahduan. Baru kali itu rasanya saya benar-benar berpuasa. 18 jam.

 

Di tengah kursus, saya menikmati pemandangan baru yang menarik. Seorang profesor yang menjadi course director sekaligus direktur Netherlands Institute of Health Science (NIHES) kalaitu mengubah pandangan saya tentang profesor. Dia bukan saja sangat atraktif menjelaskan kuliah dengan segala ekspresi wajah dan tubuhnya, tetapi dengan rendah hati menyebarkan kertas ujian ke seluruh penjuru kelas. Sendirian. Tanpa bantuan asisten. Tanpa berteriak, “Ketua kelasnya manaaa?? Ini tolong sebarin ke teman-teman kamu!”

 

Bersama course director yang mengagumkan

Di sesi presentasi yang membuat saya deg-degan itu, saya berjumpa profesor lainnya. Jangan tanyakan bagaimana Bahasa Inggris saya. Kacau beliau. Jangan bayangkan presentasi saya seperti presentasi Anies Baswedan yang katanya dalam dua menit dan langsung dikasih persetujuan oleh Ketua PBB. Saya berjuta-juta leting di bawahnya. Tetapi, sang profesor lagi-lagi mengubah pandangan saya. Semula saya membayangkan akan dipelototi dan dicabik-cabik di muka kelas dengan komentar yang menukik. Persis seperti saat presentasi kasus, sidang pelno, atau ujian skripsi. Bukankah mahasiswa memang selalu menjadi santapan lezat setiap kali mereka berkeringat dingin berdiri di depan kelas? Setidaknya, itu yang ada di kepala saya sepanjang hayat sebelum menginjak kaki di podium kala itu. Pendidikan yang saya jalani sebelumnya lebih banyak memberikan ruang untuk menampung feedback negatif ketimbang apresiasi.

 

Tetapi, tidak dengan profesor saya yang satu itu. “Fantastic,” katanya sambil bertepuk tangan. Peserta course lainnya pun memuji saya karena usulan project yang ‘besar’. Padahal saya semula membayangkan akan dikritik betapa mengkhayalnya usulan project saya itu. Apalagi dengan bahasa Inggris yang patah-patah. “No problem, no problem with your English,” kata Profesor saya itu ketika saya meminta maaf soal bahasa Inggris saya yang barangkali tak dapat ditangkap dengan jelas oleh mereka. “Kami mengerti presentasimu, dan itu hebat.” Untunglah Profesor yang di hadapan saya itu bukan netijen Indonesia, dan saya tak pernah menyiarkan presentasi itu lewat IG atau YouTube live. Saya selamat dari ocehan netijen—yang bisa komentar setiap titik, jeda, grammar, dan pronounciation. Salah pronounciation sedikit, bisa langsung ngguyu sekelurahan. Ketawa meremehkan. Dikoreksi habis-habisan. Dipermalukan seanak-cucu.

 

Profesor di depan saya itu malah apresiatif. Melihat pintu peluang yang terbuka, saya memberanikan diri berpormosi lebih lanjut. Bertanya-tanya kesempatan apa yang terbuka jika saya ingin melaksanakan project itu. Dia mendengarkan di sebuah sesi yang sangat singkat. Di situlah saya belajar hal baru lagi. Di sela-sela course atau konferensi, pertemuan dengan profesor atau calon supervisor yang kita idam-idamkan barangkali adalah kesempatan langka. Dengan waktu yang sangat minim, setiap kesempatan perlu dimanfaatkan. Tak usah berbasa-basi terlalu panjang, mengobrol tentang cuaca yang bisa dibaca di Google, atau ngalor-ngidul ke sana kemari tanpa arah. Kesempatan bisa musnah dalam sekejap. Langsung saja tuju ke titik persoalan. “Aku ingin studi ini jadi studi Ph.D-ku. Apakah kamu berminat menjadi supervisorku, atau barangkali kamu tahu siapa yang kira-kira tepat membimbingku?”

 

Tap! Tembak! Bukan hanya pacar yang ditembak. Profesor juga boleh ditembak. Lamar.

 

Dia senyum-senyum. “Interseting, interesting,” katanya sambil menambhakan bahwa topik studi yang saya bawakan itu bukan bagian dari keahlian utamanya. Tetapi, ia memberi kartu namanya kepada saya. “Just send your email to me,” katanya menawarkan diri jika rencana proyek penelitian itu mau dilanjutkan. Saya baca namanya: Lex Burdoff.

 

Ia profesor yang enam tahun kemudian saya temui lagi di lift sebuah rumah sakit besar di Rotterdam. Ia memang bukan menjadi supervisor studi doktoral saya. Ia ketua departemen tempat saya menempuh S-3, tempat saya nyantri ke koleganya di departemen yang sama. Tuhan itu memang Ahli Puzzle!

 

Baca tulisan sebelumnya di serial “Berburu Profesor”:

  1. Belajar Cas-Cis-Cus!
  2. Starting Pack

Gambar fitur diambil dari: https://www.nihes.com/news/erasmus-summer-programme-2018/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan