Bertaruh Seperti Shuhaib

4 mins read

Jika kita tak pernah tahu apa yang akan menyambut kita di masa depan, bahkan satu detik ke depan sekalipun, kita sesungguhnya tengah melakukan pertaruhan-pertaruhan. Tidak ada jaminan hasil apapun, baik atau buruknya. Tapi, kita harus memilih, bahkan untuk sekadar diam tak bergerak. Semua adalah pilihan dan pertaruhan. Kita hanya tengah memilah-milah: apa yang kita agunkan, apa yang kita pertaruhkan, dan demi apa dan siapa kita menentukan pilihan-pilihan pertaruhan itu. Dan, keterampilan memilah itu sesungguhnya bekal hidup lain yang mesti kita kumpulkan.

Bayangkanlah lekat-lekat bagaimana Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ánhu (ra.) mengais-ngais bekal hidup demi terampil memilah taruhan dan tujuan hidupnya. Ia lahir di istana di pinggir sungai Eufrat yang cantik, jauh sebelum Muhammad Shallallahu álayhi wasallam (Saw.) mengumumkan kerasulannya. Saat Romawi menyerbu istana ayahnya, Shuhaib kecil ditawan. Ia tumbuh di kultur Romawi, lantas diperjualbelikan hingga sampai di tangan seorang saudagar Mekkah. Keuletannya menjadi pertaruhan pertama sehingga ia dimerdekakan majikannya sendiri. Ia menjadi manusia bebas, pedagang ulung, dan orang kaya baru di sekitaran Mekkah.

Di tengah kesuksesannya, ia menjalani pertaruhannya yang kedua –yang lebih besar, ketika tiba di depan pintu rumah Arqam bin Abi Arqam ra. Membuka pintu rumah Arqam saat itu bukanlah sekadar memasuki sebuah rumah baru, tapi menyelami hidup penuh ancaman, penindasan, penyiksaan, dan kezaliman –lebih dari sekadar bully dan caci maki. Ia tidak datang begitu saja. Kejernihan hatinya yang mendorong kakinya untuk melangkah menuju Rasulullah. Kecerdasan hati dan ilmu yang dikumpulkannya dari setiap detik perjalanan hidupnya membawanya kepada cahaya. Ia meletakkan hidupnya dalam pertaruhan demi cahaya yang ia yakin akan menenteramkannya di dunia dan akhirat. Ia memahami bahwa kekayaan dan kejumawaan dunia tidak akan menunjukkan jalan kebahagiaan ketika tak ada cahaya yang menuntunnya. Dan, Rasulullah kini ia gantungkan sebagai lentera baru hidupnya.

Ketika Rasulullah Saw. hijrah bersama Abu Bakar ra., ia kembali bertaruh. Untanya dipacu melaju hingga dikejar oleh pasukan Quraisy. Ia tertahan, diblokir di tengah jalan. Menyerah? Tidak. Ia melepas semua harta yang dikumpulkannya semasa muda. Ia merelakannya diambil orang-orang Quraisy demi menyusul Rasulullah ke Madinah.

Orang-orang Quraisy itu tertegun. “Engkau miskin saat datang kepada kami, tapi sekarang hartamu sudah melimpah ruah. Dan sekarang, engkau memilih untuk meninggalkan harta kekayaanmu?” Shuhaib yakin penuh. Inilah pertaruhan dunianya. Ia tahu apa yang dia agunkan dan apa yang ia tuju. Baginya, tak ada yang lebih besar dari Allah dan RasulNya.

Kita pantas malu kepada Shuhaib. Kita kerap menyerah dalam pertaruhan-pertaruhan hidup kita. Kita takut pada ketidakpastian takdir dan memilih kepastian dunia untuk terus digenggam dan dipeluk erat-erat. Kita tak meyakini janji Allah yang pasti, lantas mengagunkan hidup kita pada kemuliaan-kemuliaan duniawi yang sementara. Kita memilih pujian manusia ketimbang senyum Allah dari jejak-jejak derita yang diliputi kesabaran.

Kita tak lagi ingat bagaimana Rasulullah Saw. begitu gembira melihat Shuhaib datang dengan untanya ke Quba. Dia yang membuat Rasulullah mengatakan, “Sungguh menguntungkan jual beli Abu Yahya –Shuhaib bin Sinan. Betapa menguntungkan jual belinya.” Bahkan, dia menjadi sebab Allah menurunkan ayatNya untuk menyebutnya bagian dari manusia man yasytari nafsahu btighaa-a mardhaatillah – yang mendagangkan jiwanya demi kerelaan Allah, yang mempertaruhkan hidupnya demi maqam terindah di sisi Allah.

Kita barangkali kerap membacanya, tapi luput menghayatinya. Puasa ini, ritual menahan-nahan hasrat dunia ini, semestinya menjadi pintu untuk menyelami lagi makna pertaruhan hidup sesungguhnya.

Rotterdam, 4 Ramadhan 1439

Foto fitur: koleksi pribadi

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan