Pipi para sahabat hari itu basah penuh linangan air mata. Sedih membuncah, kekhawatiran mendekap. Baru kali itu mereka merasa hidup penuh beban yang mereka yakini tak akan mampu mereka tanggung sampai kapan pun. Ada ruang yang tak mampu mereka kendalikan di dalam diri mereka sendiri – yang jika itu harus dipertanggungjawabkan, maka binasalah mereka semua.
Arsip Kategori: Catatan Ramadhan
Makan dengan Tangan Kanan, Hidup dengan Tangan Kiri
Suatu ketika, Umar bin Abu Salamah duduk melingkar bersama Muhammad ﷺ. Di hadapan mereka ada setumpuk makanan terhidang yang siap disantap. Membangkitkan selera, apalagi bagi anak kecil serupa Umar. Ia anak angkat Muhammad ﷺdari pernikahannya dengan Ummu Salamah. Selepas Abu Salamah meninggal akibat luka yang tak kunjung sembuh dari perang Uhud, Muhammad ﷺ meminang istri yang ditinggalkannya, Ummu Salamah. (Baca kisahnya di “Anak Tangga Sabar”) Kehadiran Ummu Salamah di rumah tangga Muhammad ﷺ membawa serta keempat anaknya yang kemudian menjadi anak angkat dan tanggungan baru bagi Muhammad ﷺ. Umar adalah salah satunya.
Lanjutkan membaca Makan dengan Tangan Kanan, Hidup dengan Tangan Kiri
Ranjang Miring
Masih terngiang di kepala Abdullah bin Rawahah ketika ia berada di tengah rombongan Muhammad ﷺ memasuki Mekkah untuk menunaikan umrah qadha. Ia berada di depan barisan Muhammad ﷺ ketika thawaf mengeliling Ka’bah, dan tiba-tiba saja lidahnya lancar melantunkan syair indah. Abdullah adalah tipikal seniman Arab sejati. Di tengah budaya lisan Arab yang dominan, Abdullah menjelma penyair ulung, pecinta kata dan bait. Ia bersyair di mana saja. Ia berkasidah kapan saja: di tengah perang, di beratnya perjalanan, di sela-sela ibadah yang menguras air mata.
Status Quo Terbaik
Hari-hari kemenangan telah datang ketika sepuluh ribu muslimin masuk ke kota Mekkah dengan damai. Fathu Mekkah. Tidak ada pertumpahan darah, tidak ada lagi pula permusuhan. Abu Sufyan – yang dulu paling getol memusuhi Muhammad ﷺ – kini mendapati rumahnya sebagai tempat yang paling aman untuk berlindung. Suhail – yang dulu dengan gagah mendikte Muhammad ﷺ di Hudaibiyah – kini berkumpul bersama serombongan orang yang mendapatkan pemaafan dan kasih sayang yang sempurna dari Muhammad ﷺ.
Fakir Sejati
Suatu ketika, Abu Bakar as Shiddiq masuk ke dalam Baitul Midras – tempat orang-orang Yahudi mempelajari Taurat. Di sana sudah ada beberapa orang berkumpul mengerumuni seorang lelaki. Finhash, namanya. Lelaki yang dianggap pakar keagamaan di kelompok mereka dan sering dijadikan rujukan spiritual bagi orang Yahudi yang kehilangan kompas hidupnya.
Parade Keselamatan
Sudah setahun lepas dari perjanjian Hudaibiyah, dan kini kaum muslimin bersiap melangkahkan kaki lagi ke Mekkah. Mereka memiliki jatah tiga hari berziarah di dalam kota yang – sesuai perjanjian – akan dikosongkan dari penduduknya. Kota itu telah sepi senyap tepat ketika dua ribu orang merayap masuk ke Mekkah. Penduduknya berpindah ke bukit-bukit di sekitaran Mekkah, memasang tenda dan membawa kebutuhan mereka secukupnya. Mereka tak akan mengganggu Muhammad ﷺ dan rombongannya. Mereka hanya akan menonton dari kejauhan, mengamati segala gerak gerik Muhammad ﷺ yang berniat mengerjakan umrah qadha – umrah pengganti – selama tiga hari.
Ayahku Harun, Pamanku Musa
Perjanjian Hudaibiyah menjanjikan ketenangan temporer antara Madinah dan Mekkah sehingga perhatian Muhammad ﷺ mulai dilancarkan ke penjuru yang lain: Khaibar. Di situlah bermukim Yahudi Khaibar – koloni Bani Israil terkuat di jazirah Arab, paling kaya, dan paling kuat persenjataannya. Di sana, mereka membangun benteng tangguh dengan skuadron pasukan militer berjumlah besar sambil menunggu-nunggu kapan mereka akan memulai pertikaian lagi dengan blok Madinah.
Lebar Sayap Madinah
Mekkah dan Madinah – dua kota utama tempat mula sebaran Islam – sebenarnya adalah daerah yang relatif aman dalam peta politik global. Belum ada pengetahuan yang berlimpah tentang minyak bumi sehingga tak ada pertengkaran global dari dinasti-dinasti penguasa dunia kala itu untuk memperebutkan jazirah Arab. Kedua kota itu lantas seringkali hanya jadi tempat persinggahan dagang orang-orang yang hilir mudik menuju Syam – yang kini dikenal sebagai Syiria – dan Yaman. Tidak ada kebutuhan untuk meluaskan daerah kekuasaan. Yang mereka butuhkan justru ketenteraman agar tidak ada gangguan serangan dari luar yang benar-benar mematikan usaha dagang dan bisnis peziarahan mereka.
Fikih Sosial Madinah
Dari Hudaibiyah, Muhammad ﷺ dan kaum muslimin kembali ke Madinah. Kabar baik yang semasa di Hudaibiyah terhijab oleh prasangka kekalahan kini mulai terbuka sebagai kemenangan-kemenangan sejati. Orang-orang Islam di Mekkah yang tidak dapat pergi ke Madinah ternyata memberikan tekanan bagi Quraisy yang mereka tak sangka-sangka. Wanita-wanita Muslimah yang datang ke Madinah, sebaliknya, mendapatkan sambutan hangat karena perjanjian tak mengikat para perempuan secara khusus. Mereka pula yang menjadi sebab penjelasan wahyu yang turun setelahnya: fa-in ‘alimtumuuhunna mu-minaatin falaa tarji’uuhunna ilal kuffar.[1] Jika telah jelas keimanan mereka, pengakuan penyerahan dirinya ke dalam agama ini, jangan kembalikan mereka ke dalam dekapan suami-suami mereka yang masih kufur. Itu juga menjadi marka baru pernikahan lintas keyakinan yang tak diperkenankan.
Yang Gagal Beribadah
Perjanjian Hudaibiyah sudah ditandatangani kedua belah pihak. Kesepakatan sudah diketuk. Tak ada jalan mundur, tak ada ruang untuk berkhianat. Muhammad ﷺ telah yakin bahwa keputusannya menerima poin-poin yang disodorkan pihak Quraisy adalah yang terbaik meski beberapa sahabat masih menunjukkan ketidakrelaannya.
Jalan Damai Muhammad
Ketika sebuah pasukan memenangkan pertempuran berkali-kali, berada di atas angin, bahkan dalam jumlah dan kekuatan yang semula jauh lebih kecil dari penantangnya, orang-orang menduga bahwa mereka akan dengan mudah menghabisi lawan-lawannya di kemudian hari. Kekuatan baru telah muncul selepas ekspedisi Dzatur Riqa, perang parit, dan penumpasan pengkhianatan Bani Quraizah. Orang-orang di jazirah Arab menduga-duga kapan waktu Muhammad ﷺ dan pasukannya akan menghancurkan Mekkah, kota tempat muasal mereka terusir.
Sakinah Menikah
Tugas berat sosial bagi Muhammad ﷺ di Madinah masih menumpuk. Ia bukan saja harus melawan serangan fisik kelompok yang memusuhinya, tetapi juga kerangkeng struktur sosial yang membelenggu masyarakatnya. Kelompok keluarga – mereka menyebutnya sebagai Bani – terpecah-pecah dalam golongan dan strata yang berbeda. Mereka yang berada dalam jalur nasab terhormat merasa tak layak bersanding bersama mereka yang hidup dalam jalur kemiskinan dan perbudakan. Betapapun sepuluh tahun Islam telah hadir dan membawa angin perubahan, darah kesukuan tetap kental mengalir di dalam tubuh bangsa Arab dan belum cukup untuk membuat mereka rela melepas atribut kesukuan dan keturunannya.