Box: Tingkatan berijtihad. Bagian dari tulisan “Jangan Tanya Ustadz YouTube”.
Dalam kaidah fiqih, ada beberapa tingkatan kemampuan berijtihad.
Box: Tingkatan berijtihad. Bagian dari tulisan “Jangan Tanya Ustadz YouTube”.
Dalam kaidah fiqih, ada beberapa tingkatan kemampuan berijtihad.
Tulisan keempat dari rangkaian tulisan “Jangan Tanya Ustadz YouTube”.
Pada kondisi ini, seringkali muncul dua pertanyaan utama: (1) bolehkah saya belajar agama lewat internet dan (2) bagaimana memilih ustadz dan kajian yang tepat di tengah banyaknya pilihan kajian?
Tulisan ketiga dari rangkaian “Jangan Tanya Ustadz YouTube”.
Pada kondisi ini, seringkali muncul dua pertanyaan utama: (1) bolehkah saya belajar agama lewat internet dan (2) bagaimana memilih ustadz dan kajian yang tepat di tengah banyaknya pilihan kajian?
Fenomena gairah belajar keagamaan ini memang membelukar sedemikian dahsyat. Bukan hanya pada salinan video di dalam gawai, majelis-majelis riil dengan tatap muka pun makin bergairah dari hari ke hari. Seperti ada dahaga spiritual di tengah arus zaman yang kering, orang-orang kini menggeser perilaku kesehariannya. Pada terma populer, mereka menyebutnya sebagai ‘hijrah’.
Banyak pertanyaan dalam diskusi pengajian yang muncul dan dimulai dengan kalimat, “Kemarin saya lihat ada ceramah di YouTube begini dan begitu.” Bukan hanya di sesi diskusi pengajian, pertanyaan semacam itu kerap kali hadir dalam obrolan grup media sosial. Tautan video dan gambar nasihat bergulir dari satu tangan ke tangan lain dengan cepat. Viral. Jumlahnya di luar sana – yang tak terjangkau oleh mata dan telinga saya – barangkali jauh lebih banyak. Pertanyaan itu kemudian disambut dengan pertanyaan lain, “Benarkah begitu?” Bahkan, bukan tak mungkin jika pertanyaan-pertanyaan itu diselingi dengan ejekan orang yang mengunggahnya karena tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri.
Seorang lelaki menunggang untanya masuk Mekkah dengan tergesa. Setibanya di Mekkah, pada sebuah lembah yang sunyi dan tak ada satu mata pun yang melihat, ia turun dari untanya. Telinga dan hidung si unta dipotongnya. Pelananya dibalik hingga tampak berantakan. Ia merobek-robek pula bajunya hingga koyak. Drama itu siap dimainkan.
Hijrah – dalam bentuk fisik maupun ruhani – selalu melimpahkan konsekuensi yang harus ditanggung. Kadang sendiri, kadang berjamaah. Kadang berupa penyingkiran sosial, kadang berbentuk alienasi politik, kadang pula serupa embargo ekonomi. Dalam kadarnya yang beragam dan intensitas yang bervariasi.
Pada tahun 9 H, Islam bukan kelompok kecil yang mudah di-bully, ditakut-takuti, dan disiksa. Islam telah berubah menjadi kekuatan yang superior di jazirah Arab. Bukan lagi sekadar Madinah, kekuasaannya telah meluas jauh, tentaranya telah memenangi pertempuran jauh dari rumah-rumah mereka. Harta rampasan perang mulai melimpah. Muhammad ﷺ tak lagi jadi pusat cibiran sebagai tukang sihir dan orang gila, tetapi musuh politik paling berbahaya bagi mereka yang terancam kuasanya.
Tidak ada manusia yang sebenar-benarnya jahat di muka bumi. Yang ada adalah manusia yang kerap kali lupa dan terlalu bergegas untuk menyangkal dan menepis ide-ide yang tidak menyenangkan akal pikirannya sendiri.
Di sekitaran Mekkah, tempat Muhammad ﷺ tumbuh besar, Quraisy tak banyak ambil pusing dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tetapi, tidak dengan Muhammad ﷺ. Tak peduli bahwa Muhammad sebelumnya adalah orang yang paling mereka percayai untuk dimintakan pendapatnya, Muhammad yang memulai menyebarkan ajaran tauhid adalah Muhammad yang sudah berbeda sama sekali di mata pandang mereka. Muhammad kali itu telah menjadi Muhammad sang penyair, tukang sihir, dan orang gila.
Jika dirangkum semua keinginan, ambisi, target, dan kesenangan yang berupaya dihimpun manusia, ada dua saripatinya: makan dan rasa aman. Abraham Maslow boleh berbangga karena telah menempatkan keduanya pada teori piramida kebutuhan fundamental manusia. Memang, ia benar dan sesuai apa yang Allah ﷻ firmankan –lepas dari apakah Maslow sempat membaca surat Quraisy atau tidak.
Sudah sedari dulu, Kiai memang tak pernah berniat menjadi presiden. Apalagi setelah muncul pilpres, pilkada, pilkawe, dan pilkate. “Saya ndak punya tenaga,” katanya suatu waktu.