Salah satu kemewahan Indonesia yang tidak dapat dinikmati di Belanda adalah cukur rambut murah. Ketika rambut saya panjang, mulailah saya merindukan tukang pangkas rambut di ujung gang yang jadwalnya padat minta ampun. Saking padatnya, pelanggan tidak berhenti datang, kecuali dipaksa pulang karena si pencukur memasang plang “Tutup” setiap istirahat makan dan sholat. Kendaraan pelanggan juga sering memerkosa hak mobil yang mau melintas keluar atau masuk. Saya tak tahu mengapa sebegitu larisnya si pemangkas, padahal tak jauh dari situ ada pangkas rambut yang lebih adem dengan AC-nya yang menyala pol, cermin yang lebih bersih dan lebar, serta tivi yang berwarna-warni. Tapi, biarlah kita simpulkan sejenak bahwa pelanggan cukur kelas menengah-ke-bawah memang lebih suka tukang cukur dengan (a) sepoi kipas angin yang sekrupnya longgar sehingga bunyi kletek-kletek, (b) televisi hitam putih dengan gambar bergoyang-goyang dan lebih banyak semutnya, (c) tempelan poster model cukur rambut jaman dulu, serta –yang paling penting (d) pisau cukur silet yang hampir tidak pernah diganti, kecuali terlihat jelas karatnya.
Suatu hari istri saya memberi kabar dari sebuah grup facebook, dan langsung saya setujui usulnya: menjadi model cukur rambut. Yang mencukur kepala saya adalah mereka yang sedang belajar memangkas rambut. Semacam koas –jika di kedokteran. Saya pun menjadi kepala percobaan dengan alasan paling fundamental: GRATISAN. Ya, dengan begitu saya bisa menghemat 9-23 Euro hanya untuk pangkas rambut –bergantung style apa yang yang saya pilih. Tak apalah. Dari dulu saya sudah terbiasa jadi percobaan. Tambal gigi dan perawatan saluran akar pun saya lakukan di bawah koas dokter gigi dan residen spesialis gigi walaupun pada akhirnya saya kapok. Si dokter gigi yang sedang berjuang mendapatkan gelarnya itu mungkin lelah membuat tugas, atau habis dimarahi dosennya, atau habis berantem dengan pacarnya, atau mobilnya habis disenggol sepeda motor, atau… atau apalah, yang membuat dia terkantuk-kantuk saat merawat akar gigi saya. Dan, saat dia tersadar, dia buru-buru memanggil seniornya, lalu dosen pengawasnya. Bisik-bisik saya dengar, “Yah, iya.. berdarah. Darah ini.”Aih, mateek. Gigi saya gagal dirawat dan dengan berat hati saya harus melepasnya untuk selama-lamanya: dicabut dengan tang besar yang didahului drama kumbara, si mahkota gigi patah saat ditarik dan akhirnya diinsisi yang berakibat pipi saya bengkak dan nyeri, plus konsumsi bubur satu pekan lamanya.
Hari itu saya senang campur deg-degan. Takut hasil cukuran rambut saya gagal. Kalau gigi, tak ada orang yang lihat. Kalau rambutmu salah dipotong, kau bisa di-bully tujuh hari, 40 hari, atau seratus hari. Kecemasan itu berlipat-lipat setelah model di samping saya kena salah cukur. Saya diam-diam menengok ke kaca berkali-kali. Untunglah, dua setengah jam saya dicukur! Saya merasakan betapa tangan si pencukur masih gagap memegang sisir, masih gemetaran, takut memotong terlalu banyak, dan seringkali berhenti untuk meminta gurunya mengecek. Ya, barangkali dulu saya juga begitu waktu koas. Daripada suntuk, saya pun mengingat-ingat bagaimana saya membantu persalinan pertama kali di rumah sakit, mengkhitan anak orang pertama kali bagi saya dan sekali seumur hidupnya bagi si anak malang itu, dan menyuntik antibiotik intravena pertama kali. Mengingat itu semua berhasil membuat saya merasa rileks. Apa yang saya lakukan di sekolah cukur ini tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan pengorbanan pasien-pasien di rumah sakit yang rela menjadi bagian pembelajaran bagi para calon dokter.
Dua kali saya dihubungi. Kali kedua, si ketua kelas mengontak saya malam-malam ketika saya sudah lelap tertidur. “Hi, mate. One of my models cancelled. Will you come tomorrow at 10?” Saya meminta afirmasi anak-istri, lalu berangkat dengan syarat kepada si ketua kelas, “Ok. But I expect it will finish at 12.” Deal, dan saya berangkat. Semua disiapkan, termasuk gurunya pun tahu bahwa saya tak mau di-treat lebih dari dua jam. Sok sibuk. Tapi, si pencukur rutin saya itu datang terlambat. Dia akan datang sekitar 15 menit lagi, katanya. Oke, saya menunggu sambil meminum kopi yang ditawarkan dan mengamati sekolah cukur ini lebih rinci.
Tidak ada pisau silet karatan. Mereka menyiapkan sterilisator yang membuat saya serasa mau dioperasi kecil setiap kali mau dicukur. Tiga wastafel bersih terpasang di pojok yang membuat mereka wajib mencuci tangan sebelum makan, eh sebelum mencukur. Lebih bagus dari klinik saya, apalagi Puskesmas di seberang rumah. Kalau di barbershop biasa saya menghadap cermin, di sini saya membelakangi cermin. Barangkali supaya saya tidak jadi cemas atau depresi, lalu mencari-cari psikiater sehabis melihat si mahasiswa cukur itu bekerja. Saya duduk bersama delapan model lainnya. Jangan bayangkan mahasiswa cukurnya adalah anak baru gede, apalagi dengan bahasa Sunda logat Garut. Sekolah itu seperti mensyaratkan mahasiswanya memiliki janggut lebat sesuai nama sekolahnya: Old School. Ada dua perempuan yang sudah tidak lagi muda, bahkan boleh dibilang sudah ibu-ibu. Salah satu perempuan itulah yang bertugas mencukur saya.
Dia datang menyapa saya, mengucapkan maaf karena terlambat. Pesawatnya di Amsterdam tidak disodori garbarata –pintu belalai yang menghubungkan pesawat dan gedung tunggu penumpang, sehingga waktunya molor hingga 15 menit. Dia tinggal di Swiss, dan setiap pekan datang ke Rotterdam untuk belajar cukur rambut. Luarr biasa! Itu semacam mengikuti dogma, “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Rotterdam.”
“I am doing research for my doctor,” katanya. Saya melongo. Ente dokter? “Something assessing the influence of milk on stomach,” lanjutnya sambil berusaha mengawamkan istilah kedokteran ke saya.
“Yes, I am a medical doctor. Gastroenterologist.” Weew. Kali ini saya ternganga. Kok sudah dokter spesialis justru belajar jadi tukang cukur? Di negara saya, tukang cukur itu tugasnya bertafakkur, kenapa dia kok punya nasib tak seindah jadi dokter. Di sini kok terbalik dokter kepingin jadi tukang cukur?
“I feel enough with my patients. I want to open my own barbershop. So, 50% I still practice for my patients, and the rest for my barber business.” Banyak yang berkelebat di kepala saya. Apa ini yang disebut dengan qona’ah; merasa cukup, feel enough? Atau memang jadi dokter di negara semacam Swiss itu gajinya ya biasa-biasa saja dengan beban kerja luar biasa? Atau, mungkin Swiss itu sedang menerapkan sistem semacam JKN dan BPJS Kesehatan yang banyak dikutuk seantero jagad itu –bahkan, lebih buruk?
Saya pun mencari data supaya terlihat seperti dosen beneran yang tidak suka hoax dan tukang tuduh. Biasalah ya, sebaran data tidak normal. Ada yang kayaaa, ada yang biasa-biasa saja. Kalau jadi dokter, miskin sih tidak. Kalau jadi residen tingkat awal, baru deh miskinnya dobel. Miskin harta dan fakir tenaga. Mediannya ternyata di CHF 120,952. Dengan sedikit utak-atik Google, gaji sebesar itu kira-kira Rp 1,6 M. Jika dibagi 12, maka sebulannya sekitar Rp 130 juta. Dipotong pajak yang minta ampun besarnya di negara supermakmur ini, maka yang dibawa pulang untuk anak-istri dan handai taulan sekitar Rp 90 juta. Jangan bayangkan nilai itu di Indonesia. Di Swiss yang semua harga terasa mahal, penghasilan segitu ya biasa saja. Di negara saya bahkan si tukang cukur saya bisa mendapat penghasilan lebih besar, apalagi kalau praktek pakai Bahasa Inggris. Dijamin pasiennya membludak, ber-mersi-mersi. Dan, ikutan pakai bahasa Inggris dong.
Tapi ya, enough is enough. Saya tidak berani bertanya lebih lanjut masalah duit-duitan ini. Tapi, dengan kalkulasi sederhana menghitung biaya bolak-balik Basel-Rotterdam yang memakan 200 Euro bolak balik, dua pekan sekali selama setahun, ditambah biasa sekolah 5500 Euro, tentu sudah diperhitungkan investasinya dengan pendapatan sekitar 40-50 CHF (sekitar Rp 650 ribu) per sekali cukur. Mungkin kesimpulannya: Membuka Usaha Cukur Rambut di Swiss lebih menguntungkan dan menyegarkan dibandingkan menjadi Dokter.
Ya, jadi dokter itu melelahkan memang. Bayangkan jika ketika datang ke klinik atau rumah sakit, pasien sudah mengantre hingga puluhan, bahkan ratusan. Jika pasien dapat bernasib harus mengantre sampai jam 11 malam, si dokter bukan hanya menunggu, tetapi juga mengobrol, berpikir, memeriksa, dan (jangan lupa) meninggalkan anak-istri-suami mereka di rumah tanpa mereka. Lelah. Dan, jauh lebih melelahkan ketika mereka harus berhadapan dengan antrean peserta BPJS Kesehatan. Teori ekonomi kesehatan di kepala saya bisa saja bilang, “Kita harus mulai upaya rationing.” Tapi, rationing di negara semacam Indonesia adalah berarti mengundang wartawan dan politisi untuk foto-foto keesokan harinya untuk bilang, “Kesehatan itu milik rakyat, bukan diindustrialisasi.” Rakyat digenggam tangannya supaya politisi bisa naik podium politik lebih tinggi. Begitupun saat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diluncurkan di masa-masa akhir sebuah kepresidenan. Janji politik mau tak mau ditunaikan tanpa peduli lagi seberapa besar fiscal space yang bersisa. Akhirnya, biaya kesehatan yang sesungguhnya meningkat harus dikerangkeng dengan cara yang paling mudah: menekan biaya sumber daya manusia dalam arti paling harfiah, bukan lagi human resources efficiency.
Begini flow-nya.
Kesehatan itu adalah hak warga negara –> harus disediakan –> duit negara sedang cekak, fiscal space mefeet –> tapi, tidak mungkin memotong benefit package¸itu melanggar hak asasi dan undang-undang yang terhormat dan tak boleh digugat –> yang harus ditekan adalah: biaya –> tarif InaCBGs di-‘revisi’ –> RS bingung karena masih bayar tenaga dengan fee-for-service, belum move on –> jasa per layanan ditekan –> gaji dokter tertekan –> protes ke BPJS dan Kemkes –> kafilah tetap berlalu….
Saya membuka-buka telepon seluler, mengecek betapa hangatnya pembicaraan tentang isu wajib kerja dokter spesialis. Negara sekali lagi gagap ketika mendapati sebaran dokter masih juga tidak merata. Sesuatu yang sesungguhnya sudah dibuat kajiannya bertahun-tahun lalu dan sudah semestinya menelurkan blue print yang lebih ajeg dan tidak sporadis. Saya hanya mengingat kutipan Einstein tentang doing the same thing over and over again, but expecting different result. Entah insanity ini akan bergerak ke kutub positif atau negatif.
Tapi, untunglah. Belum ada satupun kawan saya yang dokter memutuskan untuk jadi tukang cukur.
Rotterdam, Februari 2017
wow