Maid: Di Mana Perempuan Berlindung?

8 mins read

 

 

Sepasang anak muda bertemu di kafe. Yang satu duduk di depan mikrofon sambil membaca cerita yang dikarangnya sendiri. Alex (diperankan Margaret Qualley), gadis itu, memang punya talenta menulis. Tetapi, dunia mana—apalagi di dalam kafe—yang hirau pada tulisan berkelas hari ini? Ia tidak menemukan pendengar yang baik malam itu, kecuali seorang lelaki dengan tampang yang manis, senyum yang menusuk hati, dan lirikan senyap yang menggoda. Lelaki itu, Sean (Nick Robinson), kelak menjadi pacarnya, membawanya tinggal di rumah trailer, dan menikmati hidup sepasang anak muda yang nampaknya akan bahagia.

 

Tetapi, siapa yang dapat membayangkan jika Alex harus melarikan diri dari trailer-nya di pekat malam? Ia mencari tempat bernaung ke sana kemari, dan akhirnya mendapati dirinya tersungkur ke liang yang dalam: dari penerima beasiswa kuliah Fine Arts di Montana menjadi tukang bersih-bersih rumah berupah minim?

 

Kisah Alex menjadi rentetan kritik serius terhadap kehidupan perempuan muda yang tinggal bersama lelaki yang tak ia kenal sepenuhnya. Cerita tentang perempuan yang lekas jatuh cinta kepada lelaki barangkali terdengar klise. Memang, tidak ada yang dapat menjamin siapapun untuk mengenal (calon) pasangannya dengan baik, meski dengan pacaran seribu tahun. Kelak, karakter pasangan hanya dapat diurai satu per satu ketika saling berbagi ranjang. Kapan ia akan teriak, mengeluh, menangis, bahkan mengorok dan terkentut-kentut. Yang indah selama masa perkenalan, pacaran, atau apapun itu namanya, hanya setipis kulit ketupat.

 

Sayangnya, tidak banyak yang mempersiapkan diri untuk memulai hidup bersama, termasuk dalam sebuah pernikahan. Menikah bukan sekadar pesta, rangkuman video masa kecil-pacaran-lamaran-menikah, pencarian gaun dan penghulu, atau periasan ruang dan persiapan tabungan demi rumah mewah idaman di pinggiran kota. Menikah adalah mula gerbang untuk melapangkan hati dan menerima satu sama lain—dan untuk itu, membutuhkan kesiapan mental yang berlapis-lapis untuk menahan gempa tektonik rumah tangga dalam skala kecil maupun besar.

 

 

Serial“Maid“ sepuluh episode ini dimulai dengan scene Alex yang kabur dari rumahnya. Amerika bukan tak punya perlindungan sosial. Mereka menyediakan rumah bagi orang-orang homeless. Mereka punya shelteruntuk perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga. Tetapi, persoalannya selalu saja birokratis administratif. Alex bukan homeless, ia punya rumah bersama boyfriend-nya. Alex, betapapun ia merasa mengalami kekerasan emosional rumah tangga (emotional domestic violence), ia tidak masuk dalam kategori penerima kekerasan rumah tangga. Tak ada jejas di tubuhnya. Tak ada laporan polisi. Tak ada bukti di atas kertas. Kekerasan emosional selalu mengambang di udara dan tidak terjamah hukum hanya karena mata dan kertas tidak dapat membuktikannya.

 

Ini kritik pertama dari “Maid” jelas tertuju pada realita hukum yang kaku. Kekerasan emosional, memang tercantum dalam definisi akademik kekerasan rumah tangga, tapi kerap diabaikan dalam praktiknya sehari-hari. Padahal, seperti kata Daniel, teman Alex di shelter, “Hari ini memang gelasnya tidak mengenai mukamu, tapi lain kali ia pasti akan mengenaimu. That’s how it works.“ Hari ini ia hanya menaikkan nada suaranya, besok ia akan benar-benar berteriak. Hari ini ia hanya membanting piring di dekat kakimu, besok ia akan melemparnya ke kepalamu. Kekerasan emosional dalam rumah tangga hanyalah bom waktu bagi kekerasan-kekerasan lainnya, dan karena itulah perempuan laik mendapatkan perlindungan yang tepat ketika teridentifikasi mengalaminya. Ini yang tidak dijalankan dalam realita hukum.

 

 

 

Perlindungan sosial, pada kritik kedua dari “Maid“, selalu saja birokratis dan kaku. Ini syaratnya, itu syaratnya. Bukan hanya satu, tetapi berlembar-lembar. Dan seringkali harus diselesaikan dalam tenggat waktu yang singkat. Impisibil, kata Tukul Arwana. Lebih tak masuk akal daripada tugas dosen paling kiler di mata kuliah paling menyebalkan (atau dosen memang hanya meniru laku negara dalam soal ini?) Bayangkan, jika Alex harus pergi meminta cap dan tanda tangan Pak RT, Pak RW, Kapolsek, dan Pak Lurah yang seringkali susah ditemui karena semua punya pekerjaan masing-masing. Legalisir sana-sini, dan meminta cap di buku nikah dari KUA tempat pernikahan berlangsung. Bayangkan jika kalian menikah di Purwokerto dan sekarang sudah bertungkuslumus kerja mati-matian di tengah-tengah tiang MRT Lebak Bulus. Gelo sekali, bukan?

 

 

Kritik ketiga, tentu saja, adalah soal upah murah yang tak terstandardisasi. Bagaimana Yolanda (Tracy Villar, bos Value Maid, perusahaan penyalur tukang bersih-bersih) mengeksploitasi Alex adalah realita yang tak dapat disangkal di negara tanpa proteksi sosial yang adekuat, termasuk Amerika. Pekerja seperti Alex, yang “butuh banget kerjaan berapapun dibayarnya“, tersebar di mana-mana. Ceruk populasinya besar dalam skalanya masing-masing. Buruh tani, buruh kebun, pekerja pabrik, tukang gali tambang ilegal, dan pekerja-pekerja kontrak waktu tertentu (PKWT). Para bos cukup bilang, “Kalau kamu nggak mau, yang lain banyak yang nunggu gantiin posisi kamu.” Hidup yang gila, apalagi ketika negara menutup mata untuk sekadar mendorong investor luar negeri dengan bekal ‘pekerja murah meriah’. Dengan UMR yang tak menanjak-nanjak sedangkan harga rumah meroket macam janji presiden, kehidupan macam ini hanya semacam sandwich bagi pekerja kelas rendah. Terhimpit antara dorongan kebutuhan dan keterpaksaan menerima nasib.

 

Tiga kritik utama itu ditemani kritik-kritik kecil lain yang menyembul di sepanjang serial, yang nyaris semuanya tentang perempuan. Apa yang dialami Alex adalah replikasi cerita dari ibunya, Paula Langley (Andie Mac Dowell), yang juga mengalami kekerasan rumah tangga. Tetapi, Alex beruntung memiliki resiliensi yang ia bangun sendiri dengan susah payah. Tidak seperti ibunya. Kesedihan masa tua ibunya adalah kombinasi ekspektasi terhadap laki-laki yang diharapkan akan membahagiakannya, pelarian dari trauma masa lampau, dan ketidakberanian untuk menghadapi kenyataan—yang semuanya berujung pada kekacauan hidupnya sendiri.

 

Tetapi, apakah kemiskinan mendadak Alex akan sembuh dengan kekayaan? Nampaknya, kekayaan memiliki sudut keterasingannya sendiri, seperti yang dialami Regina Anika Noni Rose). Hidup di vila mewah dengan lelaki berwibawa, tapi mengalami kekosongan batin yang perih. Suaminya memilih wanita lain yang lebih muda, sedangkan ia begitu ketakutan dengan memiliki anak yang merusak kenyamanan hidup solonya. Dia terpisah dari realita hidupnya sendiri, seperti juga sepasang suami istri yang tinggal terpisah dalam satu rumah: suami yang hanyut dengan impian wanita lain lewat majalah pornonya dan istri yang menyibukkan isi pikirannya dengan novel koboi tak berbaju. Kebahagiaan, nyatanya, tidak pernah dapat diukur dengan materi.

 

Tetapi, setiap kali kebahagiaan tercerabut dari satu atap rumah tangga, para perempuanlah yang paling berisiko hidup tak berperlindungan. Ia yang keluar rumah, ia yang terinjak, ia yang terombang-ambing dalam sistem yang maskulin. Maid, pada ujungnya, hanya bertanya kepada kita: ke mana para perempuan berlindung jika rumah tak lagi menyediakan sudut yang hangat baginya?

 

Lyon, Oktober 2021

 

 

Semua gambar diambil dari internet:

  • https://time.com/6101999/maid-review-netflix/
  • https://netflixlife.com/2021/10/04/maid-season-2-release-date-updates/
  • https://chicago.suntimes.com/movies-and-tv/2021/10/1/22700904/maid-review-netflix-series-margaret-qualley-andie-macdowell-nick-robinson
  • https://editorial.rottentomatoes.com/article/maid-stars-and-series-creator-on-motherhood-and-relationships/
  • https://www.imdb.com/title/tt11337908/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan