Mustahiq Hidayah

6 mins read

Hari itu, orang-orang berkumpul di rumah Abu Thalib. Lelaki berusia delapan puluh tiga tahun itu tengah terbujur lemah tak berdaya. Ujung usianya telah nampak di hadapan. Pelindung Muhammad shallalahu ‘alayhi wasallam (Saw.) akan pergi, orang yang dihormati di tengah Mekkah akan berangkat menuju Tuhannya. Di ujung hayatnya itulah, dua kutub saling berebut pengaruh.

Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah ibnul Mughirah sudah lebih dulu berdiri di sisi ranjang Abu Thalib. “Keadaan saat ini, seperti yang kau tahu sendiri, sudah amat mencemaskan,” kata mereka. “Kau juga tahu kondisi hubungan kami dengan keponakanmu itu. Panggillah dia ke sini.” Mereka mengambil ancang-ancang untuk memanfaatkan peluang terakhir yang ada di wajah Abu Thalib sebelum wafat. Bargaining apapun akan dijalankan asalkan Muhammad Saw. tidak mengganggu stabilitas keyakinan orang-orang Mekkah dan mengusik mereka dengan ajaran tauhidnya.

Muhammad Saw. yang ditunggu-tunggu itupun akhirnya datang ke tengah kerumunan. Dilihatnya Abu Jahal sedang merayu Abu Thalib, “Sepatah kata saja kuminta, agar mereka semua merajai semua orang Arab dan bukan orang Arab.” Asalkan mereka –Muhammad dan pengikutnya– berhenti  menyebarkan tauhid. Namun, Muhammad datang dengan rayuan yang sama sekali berbeda dengan mereka. Kasih sayangnya makin memuncak. “Wahai Paman, ucapkanlah ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’, kalimat yang dengannya kelak aku akan membelamu di hadapan Allah!” Bagi Muhammad, paman sekaligus pelindung utama gerakan da’wahnya menjadi obyek utama, mad’u super-prioritas, ketika menjelang ajalnya.

Mendengar Muhammad merayu Abu Thalib, Abu Jahal maju dan berkata, “Hai Abu Thalib, apakah kamu tidak suka dengan agama Abdul Muthallib.” Tarik-menarik pengaruh dua kubu itu kian ketat. Argumen berlepasan seperti anak panah. Namun, Abu Thalib telah memutuskan untuk memilih jalannya sendiri. Ia bersetia kepada agamanya dan agama nenek moyangnya. Tauhid tertolak di batinnya.

Siapa yang kesedihannya lebih dalam daripada Muhammad? Orang yang mengasihinya, yang merawatnya hingga dewasa, dan yang membelanya mati-matian dari kezaliman justru memilih untuk tak ikut serta dalam barisan yang dibelanya. Tak ada ucapan Laa ilaaha illallah hingga tutup usianya. Muhammad Saw., dalam rasa kasih sayangnya yang mendalam, pun berdoa agar Allah tetap memasukkannya ke dalam golongan yang bersama Muhammad di jalan Allah. “Demi Allah, sungguh aku akan memohonkan ampun untukmu (kepada Allah) selama aku tidak dilarang melakukannya untukmu,” bisiknya.

Muhammad Saw. memang telah menjadi pembawa pelita hidayah dalam keremangan zaman. Tapi, ia tak berhendaya sedikitpun untuk membuat segalanya pasti: siapa yang terpilih dan siapa yang terpental. Tidak ada kuasa sedikitpun dari setiap jalan da’wah untuk memastikan kepada siapa hidayah dan petunjuk itu masuk ke relung sanubari. Allah yang memiliki veto untuk yahdiy man yasyaa-u, memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Bahkan, juga tidak kepada yang dikehendaki Muhammad Saw sekalipun ia mencintai dan mengasihinya sepenuh hati.

Maka, di manakah hidayah itu mengular berkelindan? Kita tak pernah tahu bentuk dan rupanya, tetapi kita dapat menghidu dan menerka arahnya. Kita punya kemampuan dan ruang kehendak untuk datang menghampirinya, untuk menjadi golongan mustahiq hidayah –orang-orang yang berhak menerima hidayah Allah. Ada yang seperti Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu (ra.). Ia mengerek dirinya untuk masuk dalam mustahiq hidayah dengan berlapang dada, menuruti perkataan adiknya untuk membersihkan diri sebelum mebaca ayat Qur’an. Kecil, tapi kunci. Ada yang memerlukan kesempatan sebesar Khalid bin Walid ra. ketika menelisik kekuatan pasukan Islam menjelang Fathu Mekkah. Ada yang menunggu keterpojokan semacam Abu Sufyan saat mendapati dirinya kecil di tengah lautan pasukan Islam yang masuk Mekkah.

Hidayah itu tidak serta merta datang menghampiri. Hidayah itu diupayakan, dengan sekecil apapun usaha untuk menujunya. Hidayah itu diperjuangkan, bahkan ketika kita telah mendapatkanya dan untuk agar ia terus lestari di dalam sanubari.Tugas kita adalah menyejajarkan diri agar kriteria elgibilitas hidayah Allah selalu terpenuhi.

Siapakah kita, bila berhak sombong tak membutuhkan petunjuk apapun dalam hidup? Kita mungkin tak pernah sadar ketersesatan-ketersesatan kita sendiri. Allah yang mengajari kita untuk tujuh belas kali dalam sehari meminta Ihdinash shiraatal mustaqim; Tunjukilah kami jalanMu yang lurus? Saking seringnya kita tersesat, limbung di tengah jalan, hilang arah di persimpangan, Rasulullah Saw. menuntun kita untuk merawat doa, Yaa muqallibal quluub tasbbit quluubanaa ‘alaa diinika, Yaa musharrifal quluub sharrif quluubanaa ‘alaa thaa’atika. Hati kita berbolak-balik setiap saat. Tujuan hidup kita membias setiap waktu. Tidak ada yang mampu menjamin lurus dan benarnya hidup kita, kecuali kita selalu berupaya berada dalam lingkar mustahiq hidayah. Jadikan kami hamparan tanah yang Engkau limpahi cahaya hidayah tanpa hijab!

Namun, mengapa kita membangun hijab-hijab sendiri, merusak tatanan algoritma hidayah, dan memblokade potensi hidayah yang Allah limpahkan, dengan menanamkan keburukan, mempertunjukkan kemaksiatan, menampilkan pembelotan atas perintah Allah, dan menempuh jalan yang remang dan gelap? Bukankah satu kemaksiatan akan menimbulkan noda hitam di dalam hati? Ketika ia menumpuk satu demi satu, ia menjadi tembok kokoh yang menahan laju cahaya.

Para mustahiq hidayah itu adalah mereka yang serius berdoa dan meminta, Rabbanaa laa tuzigh quluubana ba’da iz hadaytanaa wahablanaa min ladunka rahmatan innaka antal wahhaab. Engkau sudah memberiku arah jalan mana yang harus kutempuh, jangan biarkan hatiku bercondong kembali ke arah yang lain. Jangan biarkan ia membias ke jurusan yang bukan jurusanMu.

Rotterdam, 25 Ramadhan 1439

Gambar fitur diambil dari: https://www.tonton.com.my/tvShow?titleId=57749198221573be12004201

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan