(Tulisan asli dimuat di KOMPAS, 30 Desember 2021)
Belum banyak bukti ilmiah yang dapat dikumpulkan untuk menyimpulkan seberapa ganas Omicron dibandingkan dengan varian-varian sebelumnya: Alpha, Beta, Gamma, dan Delta. Manusia bergegas mengambil ancang-ancangnya masing-masing. Namun, satu pertanyaan penting yang tersisa: akan seberapa lama lagi kita mempertahankan pandemi ini?
Pandemi ini bertahan tidak semata karena virus yang menyebar, tetapi karena manusia yang mempertahankannya. Asumsi ini barangkali keliru, tetapi tanda yang tersebar selama dua tahun terakhir menunjukkan arah tersebut. Kita tidak sedang berbicara tentang teori konspirasi. Kita berbicara tentang ketakutan manusia dalam spektrumnya masing-masing yang secara tidak sadar memperpanjang periode pandemi ini.
Eksperimen laboratorium mutakhir mengindikasikan bahwa dua kali injeksi vaksin Pfizer-BioNTech mungkin tidak cukup memberikan proteksi terhadap Omicron. Studi di laboratorium Afrika Selatan dan Jerman juga menunjukkan hal yang sama. Fakta ilmiah tersebut dapat kita terima meskipun terlalu imatur untuk disimpulkan.
Kita juga belum memahami sepenuhnya dari mana Omicron ini muncul.
Kita juga belum memahami sepenuhnya dari mana Omicron ini muncul. Ia jelas bukan berasal dari varian-varian sebelumnya. Tidak dari Alpha. Tidak dari Delta. Susunan genomiknya, kata para saintis, sangat aneh. Ia punya lajur sendiri yang mungkin berevolusi secara paralel. Bahkan, mungkin saja Omicron yang kita kenal hari ini berasal dari varian yang sudah berevolusi sendiri sejak pertengahan 2020.
Bukan di Afrika Selatan, melainkan tak ada yang tahu dari mana pastinya. Ia bermutasi di tempat gelap dan tak teridentifikasi mata pantau ilmiah manusia.
Ketidaktahuan
Kebingungan para saintis itu menegaskan tiga hal, yakni manusia terperangkap dalam banyak ketidaktahuan, ketidaktahuan itu menerbitkan ketakutan, dan ketakutan-ketakutan itu membangkitkan keserakahan.
Kita terkaget-kaget sejak virus baru ini menyebar meskipun para saintis, bahkan WHO, sudah menyusun poin-poin pembelajaran pascawabah Severe Acute Respiratory Disease (SARS) pada 2002. Kita sigap melawan virus dengan keganasan luar biasa, seperti SARS, tetapi kita kebingungan dalam melawan SARS-Cov2 yang menyebabkan flu yang lebih ringan.
Persoalannya barangkali bukan karena kita tidak tahu apa-apa. Kita memahami apa yang Dobzhansky, seorang biologis evolusi, tulis dalam esainya pada 1973. ”Tak ada satu pun dalam biologi yang masuk akal tanpa berada di jalur evolusi,” katanya. Pandemi ini hanya memberi catatan tebal untuk itu.
Kita juga belajar dan mengetahui banyak hal baru dari evolusi ini. Namun, kita menimbun masalah baru dengan memerangkap pengetahuan itu dalam sekatnya masing-masing.
Pengetahuan kita terfragmentasi satu sama lain. Pemahaman tentang virus di tingkat sel dan sistem imun manusia tidak cukup menahan laju penyebarannya tanpa strategi sosial yang komprehensif. Virus, nyatanya, tidak berevolusi bagi dirinya sendiri, tetapi juga mengubah perilaku sosial manusia.
Yang belum banyak kita tahu ternyata adalah bagaimana respons manusia dalam perjalanan evolusi sosialnya. Bagaimana norma-norma sosial baru terbentuk dan welas asih dalam skala besar terbangun atau justru memudar.
Kita mudah membayangkan manusia mengumpulkan bantuan bagi korban peristiwa alam, seperti erupsi gunung, gempa bumi, tsunami, atau banjir. Itu karena, kata Rousseau berabad-abad lalu, sifat manusia secara fundamental baik. Namun, pandemi ini menampakkan sifat manusia yang lain, baik dalam skala individu maupun kebijakan nasional dan global. Kita menjadi intoleran satu sama lain karena sikap kita terhadap sains yang bertolak belakang.
Sebagian menginginkan kuncitara, sebagian lain membencinya. Sebagian menginginkan tes PCR diselenggarakan secara masif, sebagian menyatakannya sebagai kemubaziran dan pemerasan.
Barangkali juga karena kita selama ini lebih sering menghadapi ancaman dengan strategi jangka pendek. Kita belum terlatih, dan berevolusi, untuk berpikir tentang pandemi jangka panjang. Ketika pandemi ini diprediksi belangsung panjang, kita masih skeptis, ”Besok pandemi selesai. Setelah Lebaran pandemi kelar. Sehabis musim dingin, kita kembali ke situasi normal.”
Kita tidak menyadari bahwa pandemi ini masih menyimpan data statistik global yang abstrak dan sulit diprediksi. Bukan karena virus yang hebat, melainkan karena manusia sendiri yang merawatnya di dalam ketakutan-ketakutan.
Ketakutan masa depan
Kita takut apa yang akan terjadi lagi esok hari setelah Omicron menyebar. Kita memilih menyelamatkan diri masing-masing. Persetan dengan empati dan kepedulian. Kita seperti tengah bertarung untuk kehidupan masa depan yang kita sendiri hanya dapat melihatnya secara samar. Dari ketakutan itu, kita memupuk keserakahan.
Ketimpangan ini nyata, dan hanya akan memperpanjang siklus pandemi yang tak berujung.
Negara-negara kaya mulai menyuntikkan vaksin dosis ketiganya, yang secara sadar menyebabkan ketimpangan yang makin lebar di tengah keterbatasan produksi vaksin. Sudah lebih dari separuh populasi di Amerika Serikat dan Kanada mendapatkan vaksinasi lengkap, dan hampir 20 persen sudah mendapatkan booster. Angka yang serupa terjadi di Eropa, meninggalkan negara-negara Afrika yang secara rata-rata hanya 10 persen penduduknya mendapat vaksinasi lengkap.
Ketimpangan ini nyata, dan hanya akan memperpanjang siklus pandemi yang tak berujung. Namun, para politisi—dan sebagian saintis—memilih mengabaikannya. The Economist, bahkan, berani menyatakan Omicron ”is not a punishment for vaccine inequity” dengan dalih sumir. Kita dibawa dalam skema berpikir yang individualis, nasionalis.
Ketakutan dan keserakahan ini hanya mendorong kita pada jalur pengetahuan yang kita inginkan, bukan yang kita butuhkan. Kita mencari bukti untuk membuat nyaman keyakinan kita sendiri terhadap pandemi ini dan mereduksi kecemasan individualistik kita.
Kita berjumpa pada pertanyaan-pertanyaan reflektif pada akhir tahun. Apakah kita menyuntikkan vaksin di lengan sebagai upaya altruistik kita menyelesaikan pandemi global ini, atau hanya demi dapat beraktivitas normal lagi, masuk kantor, pergi ke mal, dan pelesiran?
Apakah anak-anak didorong kembali ke sekolah karena kita menyadari kesenjangan antarkelompok sosial akibat pembelajaran jarak jauh, atau hanya karena kita lelah mengajari anak di rumah—dan karena itu kita mendorong agar anak-anak kita divaksin sesegera mungkin? Apakah kita berdebat di media sosial tentang bagaimana semestinya kita menyikap pandemi selama ini untuk mencari kebenaran, atau hanya untuk membusungkan ego dan keyakinan masing-masing?
Nyatanya, kita hanya bergerak dari satu ketidakpastian kepada kepastian lain yang semu. Kita membentuk kubu dalam skala dan level kebenarannnya masing-masing. Kita memilih membisingkan telinga kita dengan suara kita sendiri tanpa memberi ruang empati kepada suara orang lain.
Kita juga hanya mendapati ”solidaritas global” sebagai slogan semu. Manis di podium, pahit di jalanan.
SARS-Cov2 dan virus-virus lain yang selama ini kita coba berantas nyatanya hanya menjalankan peran spiritualnya: menyebar, bereplikasi, kemudian menyebar lagi. Seperti kita, virus membutuhkan daya hidup, dan dengan begitulah ia berusaha untuk tetap hidup.
Mungkin sampai abjad Yunani semua habis terpakai. Theta, Rho, Sigma, Psi. Kita merawatnya dalam fragmentasi pemahaman, ketakutan, dan keserakahan yang pada akhirnya membawa kita menemukan kenyataan bahwa musuh kita adalah kita sendiri.
Ahmad Fuady Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia