Penelitian Menuju Tuhan

6 mins read
1

Beberapa mahasiswa –untuk tidak menyebutnya terlalu banyak – seringkali risau jika dalam penelitian mereka tidak menemukan hubungan atau perbedaan yang bermakna antara variabel yang diteliti. Nilai signifikansinya (p) kurang dari 0,05, begitu sebut mereka dengan kisruh. Dosen pembimbingnya pun sama risaunya karena yang ada di kepala saat itu adalah semestinya hipotesis mereka terbukti, sesuai denganlandasan teori, menyokong kerangka dasar ilmiah yang sudah ada. Hanya sedikit yang saya temukan tetap bergembira meskipun hasil penelitiannya tidak sesuai dengan hasil studi lain yang mainstream.

Padahal, kita seharusnya memahami ilmu sebagai sesuatu yang baru yang diselami. Untuk itu, pemikiran harus dibuka seluas dan selebar mungkin dengan segala macam kemungkinannya: sesuai atau tidak sesuai dengan teori yang saat ini beredar kebanyakan. Maka, fakta apapun harus diterima. Tidak perlu ditertawakan, di-bully, atau dikritisi mati-matian. Justru yang paling penting dalam tradisi keilmuan adalah sikap terhadap fakta.

Cabai itu umumnya pedas. Jika suatu saat seorang anak SMP menemukan cabai yang pahit, jangan ditertawakan. Ia sedang menemukan fakta, dan fakta itu menjadi sebuah ilmu, teori, model yang baru ketika ia menemukan konsistensinya. Dicoba berkali-kali, ditemukan polanya. Maka, ajak ia mencari jalan yang valid untuk menyimpulkan mengapa cabai dapat terasa pahit dengan menguji seberapa konsisten dan pada kondisi apa saja cabai dapat terasa pahit. Ketika ia menemukan faktor tanah, cuaca, air, dan benih yang memengaruhi, maka pada itulah fakta tadi berubah menjadi pengetahuan baru.

Maka, jangan takut pada fakta yang baru. Orang pun boleh saja mengemukakan asumsi kebaruan sejarah tentang Majapahit dan Gaj Ahmada-nya, Borobudur dengan Nabi Sulaiman-nya, atau PKI dengan Soeharto-nya, misalnya. Jangan ditertawakan dan di-bully. Dalam tradisi ilmiah, asumsi itu harus dibawa ke meja teliti, lalu diuji: seberapa konsisten ia dengan temuan yang lain dan seberapa kuat data yang menyokongnya.

Kalau ada seorang anak bilang, listrik kedongdongnya bisa menerangi dunia, terima saja dulu dan bawa ke meja uji, ajak dia menghitung-hitung seberapa banyak pohon kedongdong yang dibutuhkan untuk menerangi seantero desa tempat tinggalnya, baru kemudian dipahami dan disimpulkan. Kalau ada dokter yang bilang fakta lain tentang kedondong bahwa kedondong bisa menyembuhkan typhus dan malaria, misalnya, ya silakan di bawa ke lorong fakta, namun jangan terburu-buru memasukkannya ke kotak kesimpulan, apalagi saran dan rekomendasi. Tidak pantas dia kemudian menjadikannya sebagai kebijakan publik, bahkan untuk public yang terbatas pada pasien-pasiennya yang manut-manut saja ketika diedukasi ‘bohong-bohongan’. Dia harus menjalani rangkaian proses terlebih dahulu, diuji metodenya, dites konteks dan variabel-variabel yang ada di sekelilingnya, dikaji kerunutan dan kesesuaiannya dengan pengetahuan lain yang telah ajeg, baru kemudian dia bisa membuka jalan menuju kesimpulan.

Kesimpulan itu semua pun bisa sangat lebar rentangnya. Diterima penuh, ¾, ½, dengan catatan beribu lembar, atau ditolak mentah-mentah. Semua bergantung kepada metode apa yang ia kerjakan. Tak boleh langsung lompat, apalagi nge-gelesor.

Maka, meneliti itu harus bersungguh-sungguh karena dengan begitu penelitian menjadi jalan menuju Tuhan dan khazanahnya yang sangat luas. Pengetahuan Tuhan itu semestinya menjadi daya tarik yang harus disingkap. Tuhan menyimpan qadha-nya yang selama ini kita tidak mampu memahaminya dengan penuh. Ketika menemukan sebuah teori atau model baru, anggaplah kita tengah menyingkap sebuah qadha baru, ketetapan Tuhan yang terformulasi dalam kerangka pikir manusia. Kita selama ini berteori bahwa anak yang rajin dan pintar akan lulus; itu sunnatullah, ketetapan. Tapi, toh ada variannya. Anak yang rajin dan pintar, tapi sakit-sakitan menjelang ujian, atau tak punya relasi yang baik dengan dosen pembimbingnya, atau teledor dan ceroboh, mungkin saja gagal. Di situlah kita menemukan algoritma qadha yang tidak kaku, fleksibel, dan menggairahkan.

Penelitian itu bukan guthak-gathuk mencocok-cocokkan temuan dengan teori. Kalau tidak sesuai hasilnya, diubah pemeriksaannya sampai sesuai dan signifikan. Kalau masih tidak signifikan, dicari-cari dan dipotong populasi dan analisisnya sampai sesuai dengan kehendak para penguji. Kalau masih tak sesuai juga dengan kebanyakan temuan di studi lain, variabelnya diubah-acak lagi sampai kongruen dengan temuan orang dan peneliti lain yang sudah mancer di jurnal terkemuka seluruh dunia. Padahal, ruang diskusi terbuka lebar untuk menganalisis sebanyak mungkin alasan. Dan dengan mengerti alasan, akar masalahnya, kita menemukan potensi fakta lain, pertanyaan penelitian lain, dan ruang teliti yang lebih luas. Dan dengan begitu kita menyadari: ilmu itu bukan hanya yang ada dan tertuang di jurnal, tapi ada di alam semesta yang memang disediakanNya untuk datang menujuNya.

Sebelum memulai perjalanan, jangan lupa untuk menyiapkan bekal: keterbukaan, kejujuran, keingintahuan, dan kerendahhatian di hadapan Tuhan. Selamat berlayar di khazanah Tuhan tak bertepi.

Rotterdam, Ramadhan 1438

Foto diambil dari: http://www.kompasiana.com/achmadpongsahidysaifullah/bersekolah-agar-jadi-peneliti-mengapa-jarang-diminati_57bbe2dd109373170cf75ff5

 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

1 Comment

  1. Ingat skripsiku dulu ttg implementasi ina DRG jamkesmas, slh satu hasil pnelitian di rmh skit tempt sy bekerja mnunjukkan.klo dokter yg melakukan tindakan operasi merasa tdk adil pmbayarannya krn mngalami pnurunan tarif dr tarif umum sdgkan dokter yg hanya mnuliskan resep sja mrasa tarifnya sgt memuaskan dibandingkan tarif sebelumnya. pengujiki mngatakan itu kesimpulan yg salah krn di rmh sakit tempt dia bkerja dokter timdakan mrasa puas krn jamkesmas dibayarkan tepat waktu, dia mngabaikan fakta bahwa tempat yg berbeda dan alasan yg berbeda tdk mungkin kesimpulannya sama

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan