Yang paling lezat dari puasa adalah waktu berbuka. Kita menantikannya detik demi detik setiap menjelang maghrib, menghitung mundur hari-hari Ramadhan menjelang lebaran. Kita tersenyum-senyum sendiri ketika kelezatan itu memang dibenarkan sabda Rasul dalam dua kegembiraan mereka yang berpuasa: saat berbuka dan saat menemui Tuhannya. Kita selalu mematri yang pertama, kerap melupakan yang kedua.
Puasa itu –dalam substansi hakikinya –semestinya berlanjut, tak berhenti-henti sepanjang tahun dan sepanjang hayat. Puasa yang disebut Rasul untuk diucap-katakan: Innii shaa-im, aku tengah berpuasa. Aku tengah menahan diri dari segala hal yang dapat merusak hubunganku dengan Tuhan, yang dapat mengganggu asyik-masyuk-ku bercinta denganNya.
Di luar diri kita, terlalu banyak godaan, hambatan, dan ancaman. Ada yang seperti memanggil-manggil agar kita masuk dalam perangkapnya; perangkap setan dari kalangan jin dan manusia. Indera kita dirayu, kesenangan kita dibujuk. Halus, halus sekali. Bahkan, pada hal-hal yang kita anggap baik dan tak perlu disoalkan benar atau tidaknya. Kita yang telah ter-preokupasi pada pandangan dan keyakinan kita sendiri, lantas membenarkan yang tidak benar, mempersalahkan yang tidak salah. Masuk dan melingkar dalam majelis ghibah, tak lagi selektif memilah mana saja yang sesungguhnya fitnah.
Aib-aib kita adalah ruang potensial bagi yang lain untuk menguaknya, membeberkannya, menjualnya ke yang lain dengan harga murah, bahkan menusuknya untuk merendahkan kita. Jika ada yang memakimu –kata Rasul, menghardikmu, mencelamu, merendahkanmu, Rasul hanya mengingatkan satu hal untuk diucap: aku tengah berpuasa. Menahan dari pembalasan adalah juga menahan diri dari sekian banyak potensi keburukan lain. Apa yang akan keluar dari amarah dan kebencian? Apa yang akan terlontar dari sakit hati, iri, dan dendam? Pastilah bukan sesuatu yang disukaNya –yang Sayyidina Ali pun tak ingin menusukkan pedangnya ke leher musuh kala diterpa amarah.
Apa makna puasa, sejatinya? Menahan hingga berbuka, lantas kembali kepada rutinitas lama yang merusak kemistri kita dengan Tuhan? Ataukah kita bersepakat untuk terus berucap: innii shaa-im, sesungguhnya aku tengah berpuasa, bahkan ketika kita tidak tengah berpuasa. Puasa di luar waktu-waktu kita berpuasa. Karena begitulah sesungguhnya jalan mereka yang mencari kegembiraan berikutnya –kegembiraan saat menemuiNya.
Rotterdam, Ramadhan 1438