Re-definisi: Selamat, Menang, Mulia

6 mins read

Tak ada yang menyangka jika hari itu Muhammad Shallallahu ‘alayhi wasallam (Saw.) kembali ke kampung halamannya dengan kekuatan besar yang sulit ditandingi. Tidak ada ruang bagi peperangan, kecuali bila sangat terpaksa. Begitu petuah beliau saat melepas empat pasukan terpisah. Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu (ra.) memimpin pasukan masuk ke Mekkah dari utara, Khalid bin Walid ra. dari selatan, Sa’ad bin Ubadah ra. dari barat, dan Abu Ubaidah bin Jarrah ra. dari bagian atas, sejurus kaki gunung Hind. Muhammad Saw. yang dulu dihina, dicaci, dan diolok-olok bersama pendukungnya yang sedikit, kini datang dengan rombongan 10 ribu orang.

Muhammad Saw. berdiri di hulu kota Mekkah dan menghadap bukit Hind. Matanya menyapu seluruh pandang. Dilihatnya gua Hira, situs pertama Jibril menjumpainya dan menjadi tonggak utama perubahan hidupnya. Disapunya lagi pandangan ke pusat Mekkah, ke sentral Masjidil Haram, lalu air mata menitik dari sudut matanya. Haru tak tertahan.

Bukankah perjalanan telah usai, kemenangan telah dicapai, dan garis finish sudah terlewati? Inilah Fathu Mekkah itu –kemenangan besar tanpa pertumpahan darah.

Namun, tidak sama sekali. Kemenangan bukanlah apa yang dinikmati dalam perspektif dunia; bahwa semua tunduk patuh di bawah kekuasaan kita; bahwa semua kekayaan tertumpuk di gudang bendahara kita; bahwa semua musuh telah tertawan dalam sarikat politik kita.

Ini justru lembar baru perjalanan Islam. Dan, lembaran baru itu dibukanya dengan rekonsiliasi yang kokoh. Muhammad Saw. menuju Ka’bah, berthawaf, lalu berkhutbah sambil menyitir firman Allah, “Wahai manusia, kami ciptakan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengerti.

Rasulullah menegaskan tonggak nilai Islam yang meneghapus bersih nilai dan cara pandang lama orang-orang Arab. Kariim, kemuliaan, yang sejati bukanlah pribadi-pribadi yang diliputi perilaku sovinis. Kesukuan dan kebangsaan bukanlah cara Allah untuk menggiatkan mereka berlomba dan saling mengungguli. Tidak ada jalan yang dibenarkan Allah dan Muhammad untuk saling mendominasi, mengeksploitasi, dan menghancurleburkan satu sama lain. Pengalaman-pengalaman kultural yang berbeda antara satu dan yang lainnya tidak dibangun untuk saling mendengki dan menghina.

Spektrum pilihan politik kita tidak sepatutnya dibentuk dalam aura kemarahan. Perbedaan-perbedaan cara pandang beragama juga tidak semestinya dikembangkan dengan aroma keangkuhan; mengklaim surga sendiri dan melabeli yang lain sebagai penduduk neraka. Ketidaksepakatan kita dalam menempuh pilihan budaya, nilai kultur dan akulturasi, tidak selaiknya menjadi material sinis yang membangun tembok besar separator ‘aku benar’ dan ‘engkau salah’.

Rasulullah membuktikan dengan keputusan politiknya sendiri yang agung. Ia telah mendefinisi ulang konsep kemuliaan di tanah Arab –yang semula sovinis, menjadi begitu universal. Penuh kasih sayang, welas asih, dan tidak menonjolkan kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Rasulullah mengeluarkan amnesti publik kepada yang telah menyakitinya bertahun-tahun dengan syarat substantif. Asalkan engkau menempuh jalan dan nilai Islam yang sejati, engkau selamat.

Pernahkah kita belajar untuk dapat memaafkan dan mengampuni? Bukan dalam keterpurukan, tetapi dalam kemenangan-kemenangan yang kita raih. Hari ini, kita masih memupuk kebencian dan ketidak relaan setelah kompetisi-kompetisi politik yang kita jalani. Kemenangan ditingkahi sorakan angkuh. Kebaikan-kebaikan yang diraih setelahnya adalah klaim atas kebaikannya sendiri, tepukan di dada sendiri, kepalan tangan di langit sendiri, dan cibiran bagi mereka yang telah dibuatnya tersungkur. Kekalahan, di sisi lain, ditanggapi dengan balutan dendam dan benci. Matanya memicing mencari kesalahan kecil pemimpin baru yang dapat dieksploitasi untuk menjatuhkannya lagi; untuk membuktikan bahwa pilihan masa lalu adalah kesalahan dan kedunguan; dan untuk mencari jalan pernyataan baru bahwa kita dan pilihan kitalah adalah kebenaran –dan yang lain adalah kekeliruan.

Hari ini, kita bergerak menjauh dari teladan Rasulullah. Tak ada rangkulan dari mereka yang menempuh jalan berbeda dalam memahami agama dan syariat. Yang satu membentangkan hijab terhadap yang lain. Kita begitu fasih memamerkan kemampuan kita mempersekusi orang yang berlawanan jalan. Kita begitu lihai memberikan stempel sesat orang yang berlainan pendekatan dalam interpretasi teks. Kita begitu cantik menelurkan kebijakan, undang-undang, dan peraturan untuk menyatakan bahwa sekelompok orang berpaham radikal, dan oleh karenanya harus diberangus dan disisihkan dari pergaulan kemasyarakatan, akademik, dan kebudayaan.

Kita kehilangan kemampuan merefleksikan kemenangan-kemenangan kita dengan cara pandang dan perspektif Rasulullah. Kita menjadi buta di puncak –barangkali akibat kegelapan yang kita rawat sendiri dalam ruang-ruang perlawanan yang masih belum sepenuh jernih, belum seutuhnya mukhlis.

Kemenangan dan kekalahan di mata kita belum menembus batas pandang dunia. Padahal, mungkin saja, kemenangan dunia kita adalah kekalahan akhirat kita, jika kita tidak memiliki pemahaman dan penyikapan yang benar.

Bukankah kita begitu hafal larik-larik Allah, “Dan janganlah kamu mengira bahwa mereka yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi justru mereka hidup di sisi Tuhan dengan limpahan rizki”? Yang nampak ‘kalah’ di dunia, tidak berarti ‘kalah’ di sisi Allah. Mengapa pula kita tidak berani mendefinisikan ulang selamat-bencana, menang-kalah, dan mulia-hina di antara kita dalam kacamata kerendahan hati yang diajarkan Allah dan Rasulullah?

Rotterdam, 18 Ramadhan 1439

Gambar fitur diambil dari: https://www.youtube.com/watch?v=Kr_qMUnEZJk

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan