Re-thinking: Menertawai Setya Novanto

6 mins read

Saking bertubi-tubinya kita tertawa, kita lupa bercermin. Jangan-jangan, Setya Novanto itu kita. Luapan tertawa kita itu, jangan-jangan juga sekadar ventilasi dari rusuhnya hati kita untuk mengakui bahwa kita juga sebenarnya melakukan hal yang serupa dengannya…

setnov
Gambar diambil dari: http://kartun.inilah.com/read/detail/2392976/setya-novanto-sakti-apa-sakit

Kalau Tuhan punya hak dan alasan untuk mengugurkan sehelai daun saja dari pohonnya, pasti Tuhan juga punya hak dan alasan mengapa ada cerita Setya Novanto dengan segenap hiruk pikuk tiang listrik dan foto sakitnya yang fenomenal. Orang boleh saja tertawa dan menertawai, membuat deretan cerita komedi, sindiran, bahkan cibiran –yang semuanya berhak dengan hak paling dasar bagi seorang manusia dan warga negara melakukannya. Tapi, boleh jadi urusan tawa menertawai itu juga bukan sekadar lintas lewat. Tuhan berharap output yang lebih heboh dari urusan meme yang di-share jutaan orang.

Implikasi hukum, sudah jelas lintang rimbanya. Sudah ada tata aturannya, siapa yang berhak menindak, siapa yang valid memberi keterangan, siapa yang dijamin menyampaikan kesaksian. Wilayahnya sudah mapan, markanya sudah ajeg. Kalau masih keluar-keluar, maka wajib disentil lagi dan dijewer maksimal sampai ke urat-uratnya. Tapi, implikasi dari tertawa dan menertawai ini barangkali urusan privat yang menjadi publik sehingga tidak disadari ada tambatan-tambatan personal antara diri kita, Tuhan, dan Setya Novanto di ujung jalan akhirat nanti. Tambatan itu tak terikat dengan erat lagi, lepas, lowong, dan licin karena sebegitu meruahnya kita bertingkah di ruang publik.

Cermin

Saking bertubi-tubinya kita tertawa, kita lupa bercermin. Jangan-jangan, Setya Novanto itu kita. Luapan tertawa kita itu, jangan-jangan juga sekadar ventilasi dari rusuhnya hati kita untuk mengakui bahwa kita juga sebenarnya melakukan hal yang serupa dengannya: lari dari kejaran kewajiban, mencari-cari alasan, atau membuat skenario untuk menjustifikasi setiap keadaan antara kita dengan manusia lain dan Tuhan.

Kisah sepekan belakangan ini memang layak dibaca ulang untuk kepentingan personal. Melihat Setya Novanto di layar kaca juga menjadi ruang kembali kita untuk menghitung seberapa jauh sebenarnya kita tengah lari dari kewajiban-kewajiban kita, tuntutan-tuntutan yang semestinya kita patuhi, dan abainya kita pada larangan yang sudah jelas patokan-patokannya. Bahkan, urusan antar sesama manusia pun selalu punya ikatan vertikal karena setiap akad dan niatnya dicatat malaikat, efek samping dan dampaknya diperhitungkan, pelencengan dari kontraknya akan dimintakan pertanggungjawaban. Beruntunglah kita dengan posisi tak setinggi dan segemerlap Ketua DPR, tapi itu tidak melepaskan kita dari tanggung jawab sekecil apapun dari tuntutan atas ‘posisi kecil’ dan ‘peran seadanya’ kita di dunia.

Apalah lagi dengan Tuhan –yang berulang-ulang kali mengutas kalimat, ‘Bertakwalah kamu’ dan memanggil-manggil kita dalam perintahNya baik dengan sapaan halusNya, ‘Hai para manusia’, atau ‘Hai para penggenggam iman’. Kita kadang berbuat lancing. Tidak mendekat menyambut seruan untuk berbuat, bahkan mengambil jarak dan menjauh. Lari dari amar putusan Tuhan yang jauh lebih digdaya ketimbang hakim di pengadilan.

Pada kesempatan lain, kita mencuri-curi untuk melakukan perkara yang tidak direstuiNya untuk dilakukan. Kita mengamati dosa, menimbang-nimbangnya dengan apa yang bisa kita dapatkan dari dunia, bahkan kadang secara otomatis memenuhi hasrat tanpa berpikir ulang manfaat dunia-akhiratnya. Pada saat itu, boleh jadi Tuhan kita anggap tengah tertidur pulas meski berulang-ulang kita memahami pandanganNya tak berbatas lintas apapun. Kita mengkalkulasi, dosa ini kecil, tak sebesar dosa si anu dan si itu –meski kita mengerti benar bahwa kecintaan itu tak menegenal ruang kebencian untuk ditempati sebiji sawipun.

Dan, apa alasan-alasan yang sudah kita susun dari jengahnya kita menuruti perintah Tuhan? Kita menertawai Setya Novanto yang kita anggap dengan begitu yakin bahwa ia membuat skenario, tetapi lupa menertawai diri kita sendiri yang juga menyusun alasan panjang dan skenario bertuan-sendiri. Ajaran itu jalan hidup, kita mempersepsikannya sekadar sebagai tuntutan. Maka rasa berat itu selalu muncul, dan pintu-pintu alasan selalu menunggu seolah memanggil-manggil kita untuk membukanya, lantas masuk ke jeratannya. Dari susahnya bangkit memenuhi panggilan, beratnya hati menunaikan janji, penatnya kepala menjaga pikiran, sampai eratnya kantong kas dan tabungan dari mengulurkan bantuan.

Menertawai Diri Sendiri

Pada akhirnya, kita merasa pantas untuk menertawai diri sendiri meski tak ada larangan khusus, spesifik, dengan kalimat nahyi dan nafy dalam teks keagamaan untuk menertawai Setya Novanto. Kita boleh saja mengartikan tertawaan kita sebagai kritik, mempertajam kekuatan untuk menindak balik kezaliman, dan upaya sosial komunal untuk mengatasi ketidakadilan. Tapi, kita juga pantas untuk mengukurnya lagi: langkah apa yang kita jalankan selanjutnya untuk mempertegas alasan-alasan itu menjadi sebuah kenyataan. Kita juga boleh mencari-cari celah untuk bilang: ah, ini kan cuma guyon-guyonan pelipur lara dari penatnya hidup yang makin memelaratkan. Tapi, sebaik-baik guyon adalah yang kembali kepada diri sendiri. Tertawa dengan keras untuk membuka ruang yang lebih jelas di dalam hati sendiri, lalu masuk dan berintrospeksi.

Eh iya, Setya Novanto itu jangan-jangan kita.

Dan, ketika tawa kita sudah semakin rendah, penuh keprihatinan kepada diri sendiri, itu mungkin pertanda kita tengah membawa tertawa untuk kembali kepada relnya yang benar. Itu barangkali cukup untuk menghindarkan diri kita dari rasa sakti terhadap Tuhan.

Rotterdam, penghujung Shafar 1439

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan