/

Sepenuh Pasrah

4 mins read

Seruan Muhammad kepada kaumnya untuk masuk Islam berujung pada penyingkirannya dari Makkah, baik secara halus maupun terang-terangan. Tepat pada malam beliau berangkat pergi bersama Abu Bakar, segerombolan orang dari Quraisy sudah siap membunuhnya. Tapi, apalah daya, skenario Allah lebih mujarab. Muhammad dan Abu Bakar pergi melintas padang pasir, berzigzag agar tak terekam jejaknya, sedangkan para calon pembunuh Rasul itu kecele karena hanya mendapati Ali bin Abi Thalib di dalam rumah Muhammad. [1]

Muhammad dan kaum muslim adalah korban intoleransi agama dan keyakinan. Mereka dipaksa keluar dari Mekkah karena berlainan cara pandang dalam hidup dan ritualitas. Ajarannya sebenarnya bukan sesuatu yang sama sekali baru karena masih ada penganut Yahudi dan Nasrani –dua agama samawi sebelumnya. Islam sendiri, diyakini oleh para pakar, sebagai entitas murni dari ajaran Allah, apapun bentuk dan namanya sebelum risalah Muhammad. Ketika sampai di Madinah pun, menurut Ibn Ishaq[2], masyarakat Yahudi yang berdiam di sana kerap menertawai dan mengejek mereka yang datang ke masjid.

Bukan tak mengerti tentang chauvinisme, bahkan Allah menjelaskan: Yahudi dan Nasrani sama bebalnya tentang ide surga yang mereka klaim untuk dinikmati sendirian saja bersama kaumnya.[3] Bukan pula tak memahami kesalahan mereka yang menyimpang dari ide Islam yang murni, tetapi Muhammad tidak menyukai perselisihan sektarian dan mengajarkan kita untuk memahami bahwa setiap komunal memiliki kepercayaan masing-masing. Alih-alih menjadi eksklusif, Allah menuntun beliau untuk memopulerkan istilah ‘millah Ibrahim’ dan ‘agama yang hanif’[4] sebelum masuk pada marka yang jelas dengan terminologi Islam.

Pengalaman kaum muslim terusir dari Mekkah menguatkan intensi sebaliknya: untuk tidak bersikap eksklusif yang dapat merusak potensi da’wah. Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani yang mengklaim surga, kehidupan di Madinah mengajarkan kita tentang perlunya fokus pada penyerahan diri kepada Allah. Inna shalati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi rabbil ‘alamin. Aku berserah diri sepenuhnya, memberikan seluruh shalat, ibadah, hidup dan matiku kepada Allah. Karena dengan begitu, kita diajarkan untuk menggerus ego dan kesombongan untuk memonopoli kebenaran. Tidak ada da’wah dalam praktik persekusi, sebagaimana tidak ada kesaliman, kepasrahan diri, dalam keangkuhan.

Kita menjadi memahami makna Islam. Di luar perangkat dan tata syariatnya, pada mula dan inti ajarannya ia adalah ketundukan yang penuh kepada Allah. Islam menolak chauvinisme yang diumbar di ruang publik, yang hanya akan menajamkan eksklusivitas dan perpecahan –baik antar agama maupun antar kelompok dalam agama. Maka, tak pernah ada ajaran membubarkan pengajian, mengusir ustadz dari podium, meneror orang untuk mengakui kesalahan, menyulut kebencian dengan fitnah yang dibuat-buat, meski kita seringkali menyandarkan itu ‘demi kebaikan agama’. Kita tak melihat Muhammad –seperti juga nabi dan rasul yang lain – kecuali  menyebut dirinya sebagai “tidak lain hanyalah pemberi peringatan” dan “pembawa kabar gembira”.[5]

Lebih dari itu, kita mengambil jatah keangkuhan dari Allah –yang tak layak diambil.[6] Dan selama itu terjadi, kita belum mampu sepenuhnya pasrah kepadaNya. Belum masuk “fis silmi kaaffah”.

 

Rotterdam, Ramadhan 1438

[1] Baca sejarah hijrah dalam “Sejarah Hidup Muhammad” karya M Husain Haikal

[2] Tercatat dalam bukunya, Sirah Rasulullah, yang dikutip ulang di buku ‘Muhammad – Prophet of Our Life’ karya Karen Arsmtrong.

[3] Lihat QS Al Baqarah 111-113

[4] Lihat QS Al Baqarah 135

[5] Lihat QS Al Baqarah 119, Qaf 45, QS Hud 2

[6] Dalam hadits Qudsi disebutkan, “Keagungan adalah pakaianKu, kesombongan adalah selendangKu, barangsiapa yang mencabutnya dariKu salah satu dari keduanya, maka Aku akan mengazabnya.”   Hadits Qudsi ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dinyatakan shahih oleh Al Albani.

Foto diambil dari: https://huseinmuhammad.net/islam-kepasrahan-keselamatan-dan-kedamaian/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan