Tangan Kanan Ayah

5 mins read
2

Ayah dan Mami adalah antitesa satu sama lain dalam hal belanja. Ayah hampir tidak pernah menawar harga, sedangkan Mami adalah wanita paling lihai yang pernah saya lihat dalam hal tawar-menawar. Tapi, dari situ saya belajar banyak tentang dua hal. Dari Mami saya belajar efisiensi, dan saya belajar tentang kedermawanan dari Ayah.

img_20160619_054427

Sepulang studi saya dari Belanda, saya menemukan Ayah di rumah dengan kebiasaan barunya. Selesai shalat dhuha dan mengaji, Ayah duduk di ruang tamu sambil sesekali berjalan ke teras. Sekitar jam 10 pagi akan ada penjaja rujak dengan gerobaknya yang melintas di depan rumah. Tanpa dipanggil, ia akan berhenti tepat di tiang listrik. Sudah jadi kebiasaan Ayah, membeli buah untuk dirinya, dan terkadang untuk Birru. Saya hafal betul kebiasaan itu karena selama dua bulan cuti sebelum kembali bekerja, saya menemani Ayah dan Birru.

Bukan sekali itu saja Ayah punya kebiasaan dengan para penjaja dagangan. Beberapa bulan sekali akan datang penjaja buah yang lain –kali ini dengan dua keranjang yang dipanggul. Usianya renta. Kami  bilang, ‘Engkong-engkong’. Jualannya seringkali pisang, kadang dengan umbi-umbian, papaya dan semangka. Ayah selalu membelinya meskipun saya meyakini bahwa Ayah seringkali pula tidak membutuhkannya. Sama seperti setiap kali penjaja kerupuk udang yang penglihatannya buta lewat depan ruamh kami. Ayah akan memanggilnya dan membeli. Bukan satu-dua kantong, tapi berkantong-kantong.

Suatu hari, penjaja mangga lewat depan rumah kami. Saya tidak tahu benar apa yang terjadi, tetapi Ayah langsung menawarkan, “Mau mangga, Ded?” Banyak. Saya melirik Mami dan tahu persis apa yang yang akan ditanyakannya ke Ayah: harga. “Yah, Ayah mah nggak pernah pake nawar sih kalau beli-beli,” kata Mami sambil membuka bungkus plastik. Selalu saja begitu. Ayah, juga selalu begitu. Diam saja sambil akhirnya menenangkan. “Udah ah. Namanya juga nolong orang jualan…”

Ayah dan Mami adalah antitesa satu sama lain dalam hal belanja. Ayah hampir tidak pernah menawar harga, sedangkan Mami adalah wanita paling lihai yang pernah saya lihat dalam hal tawar-menawar. Tapi, dari situ saya belajar banyak tentang dua hal. Dari Mami saya belajar efisiensi, dan saya belajar tentang kedermawanan dari Ayah. Keduanya tanpa ceramah.

Ayah dan Mami hanya sempat berkisah menjelang pernikahan saya. Sambil bertanya seberapa seriuskah saya, Ayah menceritakan pernikahan mereka di usia yang sangat muda. Ayah tak punya apa-apa kala itu. Bahkan, sekali waktu ia harus berjalan kaki dari rumah ke Pasar Kebayoran Lama hanya untuk menjual baju bekasnya. Berapa yang bisa didapat dari menjual baju bekas yang seringkali pula tidak laku?

Apa yang saya lihat kemudian adalah pucuk dari pengalaman hidup Ayah sendiri. Ayah telah melintasi kesempitan-kesempitan yang membuatnya tak pernah segan untuk membantu. Ayah bisa menjamu, menyediakan teh, dan memberikan sangu untuk orang yang tak dikenalnya sekalipun –yang menguntit saya sepulang dari masjid dan saya curigai sebagai penipu. Dan, selalu saja begitu. “Udah ah. Namanya juga nolong orang…”

Belakangan saya sempat merasa kesal. Saya melihat Ayah lebih sering meminta orang lain untuk mengantarkannya atau membeli sesuatu. Saya sempat saja menggerutu. Ke Mami, ke istri saya. “Padahal ada Dedy, kenapa masih meminta tolong orang?” Saya tak tahu benar apakah saya cemburu atau ego saya terluka. Tetapi, Mami dan istri saya menenangkan. “Ayah memang begitu caranya…” Kalau Ayah ingin memberi uang kepada seseorang, Ayah akan memanggilnya untuk meminta tolong. Lalu, Ayah sisipkan uang lebih banyak dari ‘tarif’-nya. Kalau Ayah ingin memberi makanan ke seseorang, Ayah akan menanggilnya dan memintanya membelikan makanan. Satu porsi buat Ayah, satu porsi untuk dia. Seringkali juga dengan uang sisa pembelian.

Dan jangan tanyakan seberapa banyak yang Ayah berikan untuk anak-anaknya. Ayam goreng jatahnya yang dimasak Mami pun tak disentuhnya ketika makan malam. Ayah seringkali hanya mengambil tempe goreng, dengan kecap dan irisan tomat. Saya menyesal sekali. Ayah seringkali tidak memakannya karena mendengar saya berseru ke Mami selepas pulang ke rumah, “Wah ada ayam nih…” Yang Ayah lakukan di meja makan adalah selalu menggeser piring kecil berisi satu daging ayam itu ke arah saya. “Makan deh, Ded. Ayah sudah…” Padahal, saya tahu Ayah belum memakannya.

Tampak tangan kanannya yang mengeriput menjulur ke arah saya. Tangan kanan yang tak akan pernah saya lupa. Tangan kanan yang ingin saya cium lagi.

Rabiul Awal, 1438 H

[Ditulis setelah Ayah hadir dalam mimpi, datang ke wisuda doktor saya dengan tubuhnya yang masih gagah. Yang saya ingat, Ayah berucap, “Kalau jadi orang baik, apapun yang dikerjain bakalan jadi kebaikan.”]

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan