Vaksin dan Hal-hal yang Belum Selesai (Bagian-1)

Ketika manusia mulai merasa lelah dengan segala kerangkeng sosial dan fisik yang dianggap memenjarakan naluri kemanusiaannya, pacuan menemukan vaksin yang dianggap cukup mujarab mulai menarik perhatian.

6 mins read
1
Source: https://www.pexels.com/@gustavo-fring

Barangkali, vaksin itulah yang menolong hasrat manusia untuk kembali bersosialisasi tanpa ketakutan lagi. Maka, harapan besar ditumpukkan di bahu para penemu vaksin—perusahaan-perusahaan besar multinasional dengan segunung modal teknologi dan finansial.

Indonesia bukan tak ikut berburu. Pemerintah dan BioFarma sudah menjalin kerjasama dengan salah satu produsen vaksin dari Tiongkok untuk melakukan ujicoba vaksin Sinovac kepada 1620 sukarelawan. Angka yang sebenarnya tidak begitu menakjubkan, baik secara relatif dibandingkan ujicoba di negara lain maupun secara proporsional terhadap populasi Indonesia. Brazil mengujicobakan vaksin yang sama pada 13.060 sukarelawan, sedangkan Turki mengujicobakannya pada 15.000 sukarelawan. Hampir sepuluh kali lipat dari yang diujicobakan di Indonesia. 

Sumber: Science (2020). https://www.sciencemag.org/news/2020/11/global-push-covid-19-vaccines-china-aims-win-friends-and-cut-deals

Namun, itu bukan masalah besar yang sesungguhnya. Masalah besar vaksin justru pada rencana detail implementasinya. Bagaimana prioritas disusun, rencana distribusi, pasokan logistik, sampai isu keadilan sosial yang mungkin saja menjadi permasalahan serius dalam beberapa bulan ke depan.

Pemerintah sudah memberikan ancang-ancang dengan mengumumkan bahwa akan ada 107 juta orang yang mendapat prioritas vaksinasi dan diproyeksikan akan dimulai pada pekan ketiga Januari 2021—setelah mendapat ijin penggunaan darurat dari BPOM. Ijin darurat itu mungkin saja lebih cepat dari perkiraan jika vaksin lain di luar Sinovac yang diujicobakan di Indonesia sudah mengeluarkan hasil analisis interimnya lebih cepat. 

Polemik Prioritas

Persoalannya muncul ketika daftar prioritas penerima vaksin diumumkan. Tiga kriteria utama, tidak lebih dan tidak kurang. Pertama, mereka harus berusia antara 18-59 tahun. Kedua, mereka tidak memiliki penyakit komorbid (penyakit ikutan yang tengah diderita, misalnya hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, dan sebagainya) dan tidak sedang hamil. Ketiga, mereka belum pernah terinfeksi COVID-19. Ketiga kriteria itu ditempelkan pada kelompok khusus: tenaga kesehatan, pekerja area publik (aparatur negara),tenaga pendidik, tokoh masyarakat, dan peserta JKN, terutama yang mendapat bantuan iuran.

Daftar prioritas ini berbeda, bahkan dapat dianggap berkebalikan, dengan daftar prioritas yang disusun oleh negara lain. Inggris, misalnya. Meskipun belum ada ketuk palu final, kelompok potensial prioritas penerima vaksin justru orang tua yang berusia 50 tahun ke atas dan mereka yang memiliki risiko tinggi mengalami gejala berat dan kematian jika terinfeksi. Di Amerika pun demikian. Setelah pekerja kesehatan, fase dua pemberian vaksin difokuskan pada mereka yang memiliki kondisi kesehatan tertentu yang membuat mereka berisiko tinggi mengalami gejala berat atau kematian jika terinfeksi. Baru kemudian, diikuit fase berikutnya pada pekerja sector publik (pegawai negara, pendidik). 

Salah satu alasan utama penyusunan prioritas yang berbeda ini adalah pertimbangan keamanan. Pemerintah beranggapan bahwa ujicoba vaksin Sinovac saat ini memang hanya pada usia 19-59 tahun sehingga belum ada bukti yang sahih bagaimana efeknya pada populasi di luar kelompok usia tersebut, termasuk orangtua, anak-anak, orang hamil, dan orang dengan penyakit penyerta. 

Mengapa negara lain berani menempatkan orangtua dan orang dengan risiko tinggi dalam daftar prioritas utama mereka? 

Dua studi vaksin ini, Pfizer dan Moderna, memang lebih progresif. Mereka juga mengikutsertakan lebih dari 7000 orang berusia lebih dari 65 tahun dan lebih dari 5000 orang di bawah 65 tahun dengan penyakit penyerta. Populasi yang tidak diikutsertakan dalam ujicoba Sinovac. 

Persoalannya juga terletak pada jenis vaksin. Vaksin Sinovac masih menggunakan metode tradisional, yaitu virus yang dimatikan atau di-inaktivasi. Meski kemungkinannya kecil untuk teraktivasi kembali di dalam tubuh penerima vaksin, kemungkinan yang kecil itu tidak dapat diabaikan, terutama pada kelompok dengan penyakit penyerta dan orang tua yang ketahanan tubuhnya dianggap lebih rendah dibandingkan orang dewasa sehat. Vaksin lain yang dikembangkan di Pfizer dan Moderna menggunakan metode yang lebih canggih dengan teknik RNA. Meski masih ada kemungkinan aktivasi, probabilitasnya jauh lebih kecil. 

Mengapa Indonesia tidak bekerjasama dengan perusahaan vaksin yang menggunakan teknologi modern tersebut dan malah bekerjasama mengujicobakan Sinovac?

Program vaksinasi ini dipercaya akan berlangsung dalam jangka panjang dan butuh kesinambungan produksi dan distribusi. Dua hal itu berada di luar jangkuan teknis produksi semata. Teknologi yang sanggup dikerjakan secara massal di Indonesia memang baru teknologi tradisional—dengan rekam jejak pengalaman yang ada selama puluhan tahun belakangan. Kemampuan teknis seperti ini menjadi dasar yang harus dipertimbangkan utama agar dalam beberapa waktu ke depan produksi dapat dilakukan secara mandiri tanpa kebergantungan pada produksi negara lain. 

Kedua, teknik RNA membutuhkan medium penyimpanan yang rumit dan hampir muskil disiapkan di Indonesia. Vaksin produksi Pfizer, misalnya, butuh ruang penyimpanan -800C, sedangkan vaksin Moderna butuh ruang penyimpanan antara -20C hingga -80C. Sesuatu yang mungkin saja diterapkan di kota-kota besar Indonesia, tetapi berpotensi menimbulkan disparitas yang lebar antara kelompok ekonomi dan daerah karena ketidaksanggupan infrastruktur untuk menanggung distribusi dan penyimpanannya. Tak perlu jauh ke pelosok. Layangkan pandangan ke daerah pedesaan di pesisir selatan pulau Jawa—yang pasokan listriknya masih sering padam. Di banyak sentra kesehatan, vaksin masih ditempatkan di kulkas biasa—kadang di pintu dalam kulkas, bahkan bergabung dengan Fanta dan Teh Kotak, yang membuat kualitas vaksin dapat tereduksi.

Lalu Buat apa vaksin jika hanya diberikan kepada mereka kelompok muda tak berisiko tinggi? Bukankah ini seperti menabur garam di lautan?

Baca tulisan BAGIAN-2 di sini.

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan