Dosa para politikus adalah memproduksi kebijakan yang serampangan. Dosa para saintis adalah mengklaim hasil penelitiannya – bahkan persona dirinya – secara berlebihan.
Lanjutkan membaca Obat COVID-19, Overclaim, dan Politik Kabar Baik
Dosa para politikus adalah memproduksi kebijakan yang serampangan. Dosa para saintis adalah mengklaim hasil penelitiannya – bahkan persona dirinya – secara berlebihan.
Lanjutkan membaca Obat COVID-19, Overclaim, dan Politik Kabar Baik
Pekan lalu, Lancet dan New English Journal Medicine (NEJM) – dua jurnal medis terkemuka – menarik kembali artikel yang telah dipublikasikan di platform jurnal mereka. Persoalannya sama, dua artikel yang diterbitkan dan ditulis oleh beberapa penulis yang sama ternyata dianggap memiliki kecacatan data karena tidak dapat dipertanggungjawabkan. Banyak saintis mempertanyakan kebenaran dan kejujuran data yang dianalisis oleh Surgisphere Corporation – perusahaan yang mengklaim sebagai perusahaan data dan memiliki database multinasional terkait COVID-19.
Suatu ketika, Muhammad ﷺ menaiki mimbar untuk berkhutbah. Tertunduk wajahnya saat menaiki anak tangga satu persatu. Lama ia beranjak dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya. Sahabat yang duduk paling depan mendengar beliau mengucapkan “Amin” di setiap anak tangga yang dipijaknya. Tiga kali.
Jika kita yakin bahwa Corona adalah bagian qadha dan qadar-nya Allah, keimanan terhadapnya tidak membuat kita secara egois meneriakkan ‘pokoknya lockdown’, atau ‘PSBB harga mati’. Pada beberapa kelompok, PSBB adalah ‘kematian’ itu sendiri.
Apa yang kita pahami tentang coronavirus barangkali baru seujungkuku pengetahuan coronavirus yang sebenarnya. Kita merasa telah berhasil sebagai manusia – makhluk paling super di muka bumi – ketika satu per satu epidemi kita tuntaskan dengan cepat. Kaum cerdik cendikia dan politisi dapat berbangga dengan itu semua; sedangkan kaum jelata cukup membanggakan mereka yang dengan kepandaian dan kecepatan gerak kebijakannya berhasil membuat napas proletar dapat bertahan lebih lama.
Pada suatu subuh, Muadz menjadi imam shalat fajr di masjid. Seorang lelaki Arab menjadi makmum di belakang Muadz. Rakaat pertama Muadz terasa panjang. Lelaki Arab itu tampak kepayahan dan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan berdiri. Gelisah, barangkali. Namun, di rakaat kedua, ia tak lagi tahan. Ia mufaraqah. Berpisah dari rombongan. Keluar dari jamaah. Ia memutuskan shalat sendirian, tak lagi bermakmum kepada Muadz yang masih menjadi imam shalat di depan.
Wajah Khadijah nampak gusar. Ada pertanyaan yang membebat di kepalanya. Ada tanda tanya yang ingin segera ia temukan jawabannya. Ia duduk berdampingan dengan Muhammad ﷺ, mengobrol selayaknya suami istri yang bercengkerama di ruang keluarga – bersama beberapa sahabat yang mendengar percakapan mereka hingga hadits ini dapat diteruskan ke banyak orang.
Suatu siang, seorang lelaki dibawa ke hadapan Muhammad ﷺ dalam sebuah rombongan. Madinah kala itu sudah berubah wajah setelah tiga ayat tentang khamr turun. Ada perubahan social yang drastis ketika akhirnya khamr dilarang (Baca kisahnya di “Fikih Sosial Madinah”). Hampir tak ada lagi orang-orang meminum khamr secara sadar. Mereka mulai meninggalkannya satu per satu, membuangnya dari etalase dagang mereka di pasar-pasar, melenyapkannya dari gudang penyimpanan di rumah-rumah mereka.
Rekaman pemantik diskusi Ramadhan Pengajian Pemuda Muslim Eropa Rotterdam via Facebook Live (10 Mei 2020)
Muhammad ﷺ pergi berhaji lagi. Kali ini dengan perasaan yang bercampur aduk. Langkahnya hati-hati, bertabur pesan yang menyiratkan firasat kuat profetik bahwa sebentar lagi ia akan menjumpai Allah dalam rupa yang sesungguhNya. Barangkali itu akan menjadi perjalanan ziarah hajinya yang terakhir. Dalam geliat dadanya yang gemuruh, Muhammad ﷺ berpesan: khudzuu anniy manaasikakum. Perhatikan baik-baik bagaimana aku melaksanakan haji, menunaikannya dengan sempurna, dan jadikan semua itu patokan yang membuat umatku kelak mendapat panduan yang sahih atas praktik haji.
Pemantik Diskusi tentang Lailatul Qadr
Suatu siang, ketika Muhammad ﷺ tengah duduk-duduk bersama para sahabatnya di sebuah majelis, serombongan orang datang dan meriung di sekitar Muhammad ﷺ. Mereka tak berpakaian dengan layak, bahkan para sahabat mengatakan bahwa serombongan orang itu bertelanjang. Tak bergamis seperti laiknya orang Arab yang tingal di Madinah. Pakaian mereka dari seperti bulu harimau – larik-larik panjang seperti tengah memakai baju kurung. Mereka berjalan tanpa alas kaki, bercelana di atas lutut sehingga sebagian aurat mereka terlihat.