Ketika Muhammad Shallallahu álayhi wassallam (Saw.) memutuskan berpindah dari Mekkah ke Madinah, beliau tak sepenuhnya lepas dari masalah. Kekangan dan siksaan terhadap kaum muslimin di Mekkah memang terhindarkan. Quraisy tak mampu menjangkau mereka lagi.
MoreSore itu, sebuah rumah besar di Madinah riuh. Puluhan lelaki berkumpul mengelilinginya dengan penuh amarah. Sudah lebih dari empat puluh hari mereka di sana –sedangkan Asy Sa’bi mengira dua puluh hari –,
MoreDi Madinah tempo dulu, suku Auz dan Khazraj menggeluti hidup penuh benci dan perang. Mata mereka khianat satu sama lain. Satu kekeliruan kecil dapat mengobarkan perang berhari-hari dan pengusiran. Konstelasi sosialnya berantakan;
MoreJauh selepas Musa álayhissalaam (as.) wafat, sebuah kaum mengalami kekalahan beruntun, terusir dari negerinya, dan terpisah dari anak keturunannya. Duka derita itu tertumpah ruah di hadapan seorang nabi –As Saddi menyebutnya Syam’un as., sedangkan
MoreSaat Rasulullah Shallallahu álayhi wasallam (Saw.) bersama rombongan sahabatnya menuju Mekkah untuk umrah di tahun 6 H, orang-orang Quraisy menghadangnya. Tak cukup sekali dua kali, mereka mengirim utusan untuk melobi agar Rasulullah
MoreJika kita menelisik ulang posisi kita dalam pengelolaan dunia, label khairu ummah yang disematkan Allah di dada kita punya implikasi besar dalam tanggungjawab. Label ini bukan saja panggilan amanah mengisi peran kerasulan
MoreKita kerap berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama tahu, menjadi yang terluas ilmunya, dan menjadi yang tertinggi pencapaiannya. Namun, siapakah yang memahami dengan kesungguhannya bahwa ujung dari segala yang kita ketahui adalah ketidaktahuan
More