Ibnu Umar Tak Tahu

5 mins read

Kita kerap berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama tahu, menjadi yang terluas ilmunya, dan menjadi yang tertinggi pencapaiannya. Namun, siapakah yang memahami dengan kesungguhannya bahwa ujung dari segala yang kita ketahui adalah ketidaktahuan itu sendiri? Lantas, mengapa kita berlomba-lomba pula untuk dapat dikenal sebagai penjawab semua soal, kunci dari segala jawaban, atau pemenang dari aneka perdebatan?

Siapa yang tak mengenal Abdullah bin Umar radhiyallahu ánhuma (ra), putra khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ánhu (ra.) yang telah duduk dan menguntit Rasulullah Shallallahu álayhi wasallam (Saw.) sejak usianya 13 tahun? Ia menyerap segala apa yang ia lihat dari Rasulullah Saw., meniru gerak-gerik Sang Nabi, bahkan untanya sekalipun. Jika unta tunggangan Rasulullah Saw. berputar dua kali dan menderum di satu tempat menjelang Mekkah, Ibnu Umar ra. pun –begitu ia dipanggil– mengajak untanya berputar dua kali, membuatnya menderum-derum, lantas turun dari untanya untuk shalat dua rakaat. Persis plek-plek seperti apa yang dilakukan Rasulullah Saw.

Bagi Ibnu Umar ra., ia adalah fans sejati Rasulullah Saw. Imitator ulung yang hafal bagaimana Rasul Saw. mengambil cawan untuk minum, ke arah mana Rasul Saw. berbaring, dan dengan apa Rasul Saw. ber-istinja. Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Rasul Saw., ikut memujinya, “Tak ada seorang pun yang mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat singgah beliau seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar.” Allah memberinya umur yang panjang sehingga memungkinkan kaum muslimin belajar dari orang ‘yang menghirup dari sumber pertama’.

Ilmunya luas, hafalannya kuat. Namun, itu tak membuatnya ringan hati menyampaikan hadits. Ia amat berhati-hati. Tak akan disampaikannya satu hadits bila ia tak mengingat seluruh kata-kata Rasulullah Saw. Ia jauh dari ceroboh –perilaku yang belakangan kita timbun seperti perangai. Kita begitu mudah menyampaikan sesuatu yang tak kita tahu substansi kebenarannya, tak yakin sanad informasinya, dan tak mengerti substansi dan konteksnya. Kita sering merasa gagah untuk menjawab segala pertanyaan, memformulasikan fatwa, dan bersilat lidah dengan pengetahuan yang masih setetes.

Suatu saat, Ibnu Umar ra. didatangi seseorang yang meminta fatwa kepadanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu tentang masalah yang engkau tanyakan itu.” Selepas si penanya pergi, Ibnu Umar ra. menggosok-gosokkan tangannya, lantas berujar gembira, “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya, maka ia menjawab tidak tahu.” Sorak seorang alim yang telah menyelami lautan ilmu tak bertepi, sorai lelaki yang begitu takut ada keliru dalam jawab dan fatwanya.

Hingga ketika Khalifah Utsman bin Affan ra. memintanya untuk menjadi hakim, Ibnu Umar ra. menolak. Bukan karena ia tak taat kepada khalifah. Ia hanya pernah mendengar tiga macam hakim. “Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia ada di dalam neraka. Kedua, hakim yang memberi putusan karena nafsu, maka ia juga ada dalam neraka. Ketiga, hakim yang berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka ia dalam keadaan seimbang: tidak berdosa, tidak pula menangguk pahala.” Ia memohon kepada khalifah agar melepaskannya dari tanggungjawab besar itu. Khalifah Utsman ra. menyepakatinya dengan syarat: jangan pernah Ibnu Umar mengungkapkan alasannya ke publik. Siapa lagi yang akan bersedia menjadi hakim bila orang yang paling lekat ingatannya kepada Rasulullah Saw. di masa itu menolak dengan alasan demikian?

Apa yang membuat kita begitu gembira jika dijadikan rujukan dari pertanyaan dan menjawabnya dengan gegap gempita –dan tak jarang pula diliputi kesombongan? Barangkali kita luput meneladani Ibnu Umar ra. yang ketika remajanya sudah dibayangi mimpi tentang surga. “Ke tempat mana saja yang aku ingin di surga, kain beludru itu akan menerbangkanku ke sana,” begitu ceritanya tentang mimpinya. Hafshah radhiyallahu ánha, kakaknya sekaligus istri Rasulullah Saw., meneruskan kisah mimpinya kepada Rasulullah. “Abdullah akan menjadi lelaki utama bila ia rajin shalat malam dan banyak melakukannya,” jawab Rasulullah Saw.

Ibnu Umar ra. telah mengambil jalan menuju maqaaman mahmuuda –tempat terpuji di sisi Allah, dengan berdirinya di gulita malam. Ia yang bermesra-mesra dengan Allah, yang menggali dan membantu menafsir saripati Kitabullah. Ia yang mengingatkan kita bahwa seorang alim adalah yang mengatakan ‘tak tahu’ ketika ia tak tahu dan berhati-hati dengan apa yang menggumpal di kepala dan ingatannya.

Rotterdam, 7 Ramadhan 1439

 

Foto fitur diambil dari: https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-sistem-manajemen-pengetahuan/3710

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan