Kelas Standar JKN Setengah Hati

11 mins read
2

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh demi mengakses layanan di rumah sakit. Sedangkan sebagian yang lain memilih menjadi peserta asuransi swasta atau mengeluarkan uang sendiri demi kenyamanan meskipun perusahaan atau institusinya sudah mendaftarkan mereka sebagai peserta JKN. Di sinilah kita mengkritik konsep keadilan dan kesamarataan. Kita tidak punya memori kolektif keadilan yang sama dengan masyarakat Eropa Barat.

Ahmad Fuady—dokter, peneliti, tukang komentar

 

Sejak Januari 2022, Pemerintah mulai mengujicobakan kelas standar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara bertahap. Dalam kebijakan baru ini, tidak akan ada lagi sekat kelas 1, 2, dan 3. Apakah kebijakan ini akan memperbaiki layanan kesehatan bagi masyarakat atau justru menyebabkan kesenjangan baru?

Kebijakan kelas standar ini bermula dari tinjauan historis terhadap Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) 2004 yang menegaskan bahwa “kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar”. Secara konseptual, tidak ada—atau sedikit sekali—perbedaan perlakuan medis yang diberikan kepada siapapun untuk kasus medis yang sama. Dalam lima tahun terakhir, biaya rawat inap terbesar dikeluarkan untuk operasi pembedahan sectio caesarea ringan: 18.1 triliun rupiah di tahun 2017 dan meningkat menjadi 24,8 triliun rupiah di tahun 2020. Apakah prosedur pembedahan sectio ceaserea berbeda anatar perempuan CEO perusahaan besar dengan pedagang kelontong? Jika iya, pelayanan yang berbeda itu harus digugat.

Pengeluaran Dana Jaminan Sosial untuk Rawat Inap (2017-2020)
Pengeluaran Dana Jaminan Sosial untuk Rawat Inap (2017-2020)

Perbedaannya hanya terletak pada fasilitas dan kenyamanan (amenities) yang diterima (Lihat Kriteria Kelas Standar). Perbedaan itu pun lebih banyak dilakukan di ruang rawat. Jarang sekali perbedaan amenities diberlakukan di rawat jalan.

Kriteria Kelas Standar JKN (Catatan: gambar tahun 2021, dapat berubah) Sumber: CNBC Indonesia

Di tahun 2020, biaya terbesar rawat jalan dikeluarkan untuk penyakit kronis kecil lainnya (61,9 triliun rupiah), dialisis (34,4 triliun) dan prosedur ultrasound ginekologis (3,9 triliun). Perbedaan yang muncul lebih banyak terkait dengan antrean. Perbedaan itu pun muncul jika sakit membedakan jalur antrian dan kliniknya.

Pengeluaran Dana Jaminan Sosial untuk Rawat Jalan (2020)

Konsep kelas standar ini nampak ideal untuk memastikan keadilan (fairness) akses layanan kesehatan. Tetapi, apakah kontekstual dengan gambaran pengeluaran yang ada dan konsep keadilan yang diyakini masyarakat selama ini selalu berarti kesemarataan hak, terutama kenyamanan, antar golongan?

 

Kritik Keadilan

Kita dapat membayangkan konsep kesamarataan itu di beberapa negara Eropa Barat, seperti Jerman, Belanda, atau Perancis. Nyaris tidak ada perbedaan perlakuan layanan medis publik dan kenyamanannya, baik kepada direktur perusahaan maupun petugas kebersihan. Dan, tidak ada yang mengeluhkan kesamarataan itu dengan merasa berhak mendapatkan fasilitas perawatan publik yang lebih nyaman.

Kesan kesamarataan a la Eropa Barat itu sulit ditemukan di masyarakat Asia. Singapura, seberapapun majunya sistem kesehatan dan sokongan pemerintahnya, masih memecah asuransi dalam tiga skema besarnya: Medisave, Medishield, dan Medifund. Dua skema pertama berpola market-oriented, sedangkan Medifund diperuntukkan bagi mereka yang secara finansial tidak mampu menjangkau dua skema tersebut. Begitupun Thailand yang setidaknya juga memiliki tiga skema: asuransi pegawai negeri dan asuransi sosial yang separuh pesertanya berasal dari kuartil terkaya, dan asuransi universal yang sebagian besar pesertanya adalah keluarga miskin-menengah. Tiap skema memberikan kenyamanan layanan yang berbeda. Tetapi, kultur Asia—tanpa bermaksud simplifikasi—dapat menerima itu sebagai bagian dari konsep keadilannya. Seseorang dengan asuransi Medifund atau asuransi universal dapat menerima bila dirinya dirawat di ruangan dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan mereka yang lebih kaya.

Ini pula yang terjadi di Indonesia berpuluh-puluh tahun. Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh demi mengakses layanan di rumah sakit. Inilah golongan ‘nrimo’, yang dalam segala kesulitannya masih berterima kasih karena layanan kesehatan disediakan gratis. Sedangkan sebagian yang lain memilih menjadi peserta asuransi swasta atau mengeluarkan uang sendiri demi kenyamanan meskipun perusahaan atau institusinya sudah mendaftarkan mereka sebagai peserta JKN.

Di sinilah kita mengkritik konsep keadilan dan kesamarataan. Kita tidak punya memori kolektif keadilan yang sama dengan masyarakat Eropa Barat. Otto von Bismarck, Bapak asuransi kesehatan sosial, membangun asuransi sosial di masyarakat Jerman akhir abad ke-19 sebagai bentuk reformasi kesejahteraan dan meningkatkan taraf hidup para pekerja proletar. Sedangkan, reformasi sistem kesehatan kita beranjak dari pijakan yang berbeda.

Klasifikasi kelas rumah sakit secara historis diduga berakar dari ‘kasta’ pada jaman kolonial Belanda. Kelas 1 merujuk pada orang asli Belanda atau para amtenaar. Kelas 2 merujuk pada orang-orang kaya keturunan Cina dan priyayi lokal. Sedangkan Kelas 3, kelas terendah, adalah tempat bagi rakyat jelata.

‘Kasta’ ini terus lestari di alam bawah sadar masyarakat kita. Asuransi kesehatan pertama di awal 60-an diperuntukkan bagi PNS dengan pemeringkatan berdasarkan pangkat, dan ikut mendorong tingginya animo masyarakat menjadi PNS. Asuransi berkembang dengan berdirinya Askes (1968), Jamsostek (1992), Asabri dan Taspen, yang semuanya berada dalam jalur formal. Perhatian kepada masyarakat miskin dan sektor informal baru benar-benar terbangun setelah krisis moneter 1998. (Baca sejarah ini di Buku Arsitektur Jaminan Kesehatan Indonesia)

Sejarah reformasi kesehatan Indonesia

Kualitas Minor

Kita juga tidak kunjung berani mendefinisikan makna standar dalam regulasi teknis penjelas UU SJSN karena secara sosiokultural kita menolaknya sendiri. Ketika Askes dilebur ke BPJS Kesehatan, mayoritas peserta Askes terdahulu berkeluh kesah. Ketika perusahaan wajib mendaftarkan karyawannya sebagai peserta JKN, kelas menengah-atas lebih memilih double protection dengan menjadi peserta asuransi swasta.

Lalu, apa yang dapat ditawarkan oleh “kelas standar JKN“?

Konsep keadilan yang diusung pengelola negara dalam makna ‘standar‘ ini berbeda dengan pemahaman keadilan masyarakat, terutama mereka yang bukan berada di kuintil ekonomi bawah. Justru di sinilah letak persoalannya. Mereka yang tidak teridentifikasi sebagai rumah tangga miskin dan tidak menerima upah formal harus mendaftarkan diri di jalur mandiri. Padahal, 54 persen peserta kelompok ini non-aktif di akhir tahun 2021, meningkat dari yang sebelumnya 44 persen di awal tahun. Dengan kesulitan ekonomi akibat pandemi, dan rencana restukturisasi iuran, seberapa besar ketertarikan mereka mendaftar lagi sebagai peserta aktif?

Dari perspektif peserta, ‘standar‘ cenderung bermakna minor ketimbang mayor. Ia dianggap menarik kualitas ke marka yang lebih rendah. Apalagi, ditambah rencana kebijakan paket manfaat sesuai Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK). Meski keduanya—dari perspektif pengelola dana jaminan kesehatan—berintensi positif sebagai langkah efisiensi, kata ‘standar‘ dan ‘dasar‘ dapat menjadi bumerang jika tidak dikomunikasikan secara tepat.

Pada akhirnya, JKN dapat diidentifikasi masyarakat sebagai program kualitas minor. Apalagi, ketika kelas standar masih menyediakan opsi ‘naik kelas‘ bagi yang menginginkan kenyamanan tambahan. Pemerintah mungkin menganggap ini sebagai langkah kompromi. Tetapi, alih-alih memperkuat JKN, kebijakan kelas standar setengah hati ini justru dapat mengerdilkan JKN. Hak perawatan medis terbatas, sedangkan komersialisasi merimbun. Korban utamanya bukan defisit dana jaminan sosial, tetapi masyarakat Indonesia sendiri.

Potensi kegagalan pasar Kelas Rawat Inap Standar

 

Unlocking

Kita membutuhkan dorongan dan keberpihakan yang lebih kuat lagi dari pemerintah untuk membongkar kejumudan sistem. Penerapan kelas standar yang dapat diterima oleh semua lapis masyarakat mensyaratkan kualitas layanan kesehatan yang unggul sehingga makna ‘standar’ semestinya ditarik ke marka yang lebih tinggi. Tidak perlu lagi ada ruang kemungkinan naik kelas karena, dengan begitu, ada paksaan sistemik untuk memperbaiki kualitas. Fasilitas kesehatan harus dipacu untuk berkompetisi dalam kerangka dan jalur yang sama dan setara. Langkah ini tentu membutuhkan masa transisi yang terarah, tetapi bukan fleksibilitas yang hanya akan mengulur tempo reformasi dan membuatnya semakin kompleks di masa depan.

Pemerintah juga harus segera memperbaiki skema dan besaran tarif bayaran kepada fasilitas kesehatan. Unit costsfasilitas kesehatan mengalami inflasi tahunan, tetapi tarif bayaran kapitasi dan InaCBGs stagnan selama delapan tahun.

Implikasinya, kita membutuhkan dana yang lebih besar selain efisiensi. Pemerintah dapat berkilah telah mengucurkan lebih dari 48 triliun rupiah per tahun. Tetapi, nyatanya itu tidak cukup. Menjalankan moda asuransi kesehatan tunggal terbesar di dunia ini memang membutuhkan pengorbanan anggaran. Proteksi kesehatan masyarakat tidak boleh lagi dianggap sebagai anggaran konsumtif belaka, namun investasi jangka panjang pembangunan manusia Indonesia. Negara bertugas memastikan pendanaan yang kuat, termasuk dengan pemanfaatan cukai rokok dan barang tidak sehat (unhealthy food taxes) lainnya. Dengan begitu, masyarakat tidak terjerembab pada beban finansial katastrofik yang mencekik dan lingkaran setan kemiskinan karena sakit.

Tata kelola layanan kesehatan juga harus diperbaiki mulai dari layanan kesehatan tingkat primer. Puskesmas harus diperkuat bukan sekadar dengan melakukan akreditasi, tetapi dengan pemerataan kesediaan fasilitas kesehatan di seluruh penjuru Indonesia, pemenuhan tenaga kesehatan di dalamnya, dan distribusi peserta JKN per fasilitas yang merata.

Kelas standar JKN hanya persoalan hilir dari sistem kesehatan yang kita perlu benahi secara holistik. Kebijakan kelas standar ini, dengan segala kerumitan teknisnya, tidak akan menyelesaikan persoalan jika masih dilakukan setengah hati. Kita membutuhkan komitmen penuh dan bulat dari pemerintah untuk memastikan setiap orang mendapatkan hak layanan kesehatan yang dibutuhkan. Karena hanya dengan itulah, kita dapat menghindari penderitaan yang menyakitkan di masa depan.

Gambar fitur diambil dari CNBC Indonesia dan Mata Banua.

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

2 Comments

  1. Salam kenal dok, saya termasuk pembaca baru tulisan dokter. Terima kasih sudah menulis terkait kebijakan kesehatan dok, banyak insighat yang saya dapat, semoga dilain kesempatan bisa diskusi dengan dokter secara langsung

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan