//

Beriman kepada Corona (2)

Jika kita yakin bahwa Corona adalah bagian qadha dan qadar-nya Allah, keimanan terhadapnya tidak membuat kita secara egois meneriakkan 'pokoknya lockdown', atau 'PSBB harga mati'. Pada beberapa kelompok, PSBB adalah 'kematian' itu sendiri.

9 mins read
1
Source: https://www.pexels.com/@cottonbro

Yang perlu dilakukan adalah mencari titik tawazun, keseimbangan. Bukan saling menafikan, tetapi meletakkan kepentingan kesehatan dan ekonomi secara proporsional agar masyarakat tidak terjengkang dalam satu lubang yang justru menyengsarakan banyak pihak.

Kita tak perlu berdamai dengan Corona. Corona bukan manusia yang tangannya dapat kita jabat, yang pikirannya dapat kita terka, yang tandatangannya dapat kita minta dibubuhkan di atas materai. Mengatakannya sebagai ‘perdamaian’ adalah kekusutan logika untuk menyembunyikan hasrat penyerahan diri dan ketaklukan. Sama seperti tak perlu pula menyebutnya sebagai new normal. Pertama, normal untuk siapa? Kedua, apakah memang selama ini kita hidup normal? Bisa jadi kita hanya berpindah dari abnormalitas satu ke abnormalitas lainnya. Ketiga, apakah kita begitu terburu-buru menyebutnya sebagai ‘new’ karena tak sanggup lagi bertarung mati-matian menghadapinya? Menyerah, takluk.

Terminologi-terminologi sophisticated itu tak ada maknanya jika tidak disertai dengan langkah nyata yang strategis.

Kita butuh cara pandang baru. Keluar dari kejumudan, statisnya cara berpikir yang itu-itu saja. Kita melihat kurva setiap hari, menunggu pengumuman di televisi untuk mendengar berapa lagi kasus positif yang ditemukan. Menginformasikan hal yang itu-itu saja tanpa ada terobosan baru dan inovasi olahan data yang kita kumpulkan. Kita yang mendengar pun ikutan gamang tingkat dewa. Di satu sisi, kita repot-repot berteriak bahwa kita tak lagi percaya data pemerintah. Tetapi, di sisi lain, kita diam-diam menikmatinya dan menuntutnya tetap dipublikasikan.

Sudah saatnya kita memperbaiki data dan kepakaran. Di belahan dunia lain, orang sudah membincangkan effective reproduction rate (Rt)[1] untuk dijadikan dasar terus atau tidaknya lockdown diberlakukan. Sebelumnya, Angela Merkel, Kanselir Jerman, dapat dengan lincah menjelaskan situasi Jerman menggunakan pendekatan reproduction number, dan apa dampaknya jika lockdown diangkat atau diteruskan, serta berapa lama prediksinya hingga penduduknya benar-benar aman beraktivitas kembali seperti sedia kala.

Namun, Rt itu juga bukan segala-galanya. Apakah bila ditekan hingga Rt=1, atau lebih rendah dari itu, berarti kondisi aman dan terkendali? Tidak juga. Bayangkan bila angka kepositifan perhari saat ini 500, dan Rt=1, maka setiap hari tetap ada 500 orang teridentikasi kasus positif. Di mana mereka yang positif? Seberapa banyak dari mereka yang butuh ruang rawat inap, bahkan isolasi dan ICU? Rt itu mengindikasikan dua hal. Pertama, keberhasilan containment, menekan penyebaran lewat strategi distancing atau lock down. Atau, kedua, indikasi bahwa infeksi akan segera mencapai titik jenuh karena orang-orang sudah banyak yang terinfeksi.

Maka, kita butuh variabel lain untuk dapat mengelaborasinya: jumlah admisi ke rumah sakit, kesiapan sumber daya kesehatan, dan responsivitas sistem. Beban yang harus ditanggung oleh layanan kesehatan inilah yang perlu menjadi perhatian utama. Ketika beban tersebut katastrofik, tak mampu ditanggung, maka akan terjadi hambatan akses yang berisiko meningkatkan angka kematian. Banyak pasien yang meninggal karena tidak dapat mengakses layanan kesehatan yang adekuat dan tidak mendapatkan perawatan yang tepat.[2]

Membuka lockdown, PSBB, atau apapun namanya, juga bukan seperti membuka ruko di cluster yang baru dibangun. Asal jadi. Tetapi, pilah berdasarkan kelompok yang risikonya paling besar hingga paling kecil. Jika anak-anak secara ilmiah terbukti memiliki risiko paling rendah bergejala berat meski telah terinfeksi – dan risiko menularkan yang juga rendah, mereka dapat menjadi kelompok yang paling awal mendapatkan kesempatan dibuka dari kerangkeng lockdown. Sekolah dapat dimulai, tetapi harus ada aturan ketat yang membuat mereka masuk secara bergilir agar sekolah tidak penuh. Hari ini kelas X, besok kelas C. Mengembalikan mereka ke aktivitas nyaris seperti sediakala akan baik bagi  kesehatan mentalnya. Mereka harus di-treat secara berbeda dibandingkan orang dewasa agar tidak tumbuh menjadi generasi coronial[3] karena mentaknya terdampak signifikan akibat kebijakan anticorona yang panjang dan tidak jelas.

Ekonomi perlu dibuka. Tetapi, siapa yang harus diutamakan? Pasar dan ekonomi riil atau perusahan besar dengan beban utang mahabesar – yang jika dibiarkan akan bangkrut dan memberi penderitaan besar pada negara? Prinsipnya jelas bahwa kemanusiaan harus dikedepankan. Sektor riil perlu didukung dengan tetap menjaga protokol kesehatan yang jelas: jarak social dan fisik yang dijaga, potensi penularan yang direduksi seminim mungkin. Semuanya harus dilakukan secara logis dan konsisten. Jangan sampai jalur penerbangan dibuka untuk mereka yang berbisnis skala besar, tetapi bus dan kereta – yang dipakai pedagang skala kecil – tak diperkenankan untuk melintas. Menjadi kegusaran yang luar biasa pula ketika pintu mal kembali dibuka, tetapi aktivitas perdagangan perdagangan kecil yang tak bermodal besar masih dikunci rapat-rapat. Konsistensi ini yang akan menjadi bukti ke mana keberpihakan pemerintah dilabuhkan.

Petinggi negara dan masyarakat juga harus memahami benar bahwa belum ada strategi pamungkas yang benar-benar jitu menangani corona. Semua orang, segala negara, tengah menuntut ilmu kepada corona. Menjadi murid ternyata memang tidak harus selalu duduk di bangku sekolah, apalagi sekadar kursus dan les tambahan di media digital yang diberi sangu oleh uang rakyat. Belajar yang paling utama saat ini adalah melakukan trial and error.

Pandemi ini dipercaya akan berlangsung panjang. Coronavirus yang satu ini punya nafas panjang. Berharap coronaakan lenyap dalam beberapa bulan ke depan mungkin akan sekadar jadi angan kosong.

Kita menganggap sinis setiap kali kata herd immunity dilontarkan seolah herd immunity adalah setan yang harus dimusnahkan. Padahal, herd immunity adalah sebuah keniscayaan. Pada satu titik jauh di depan nanti, ia akan tercapai, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Bukan soal terma atau istilahnya yang penting, tetapi bagaimana cara kita mencapainya dengan tepat dan bijaksana sehingga herd immunity bukan diletakkan sebagai tujuan, tetapi efek dari strategi yang diimplementasikan.

Kita tidak lagi dapat menaruh harapan besar sekadar pada model prediksi sederhana, flattening the curve, dan sejenisnya. Kehidupan nyata lebih dinamik ketimbang kurva di layar komputer. Upaya lockdown atau PSBB di satu sisi mungkin akan memberikan dampak menahan laju sebaran infeksi. Tetapi di sisi lain, ia meninggalkan celah besar bagi kejadian infeksi dan outbreak di kemudian hari karena masih banyaknya orang yang belum terinfeksi. Dengan geografi negara kita yang terhampar demikian besar, akan selalu ada potensi outbreak dan kedatangan gelombang (wave) berikutnya. Satu, dua, tiga, atau berkali-kali. Siapa yang tahu?

Coronavirus jenis ini akan terus berkeliaran dan menimbulkan kepositivan pada mereka yang belum pernah terinfeksi. Sampai mencapai titik jenuhnya. Lockdown, PSBB, atau apapun namanya bukanlah obat, tetapi harus dipahami dengan baik sebagai upaya strategis untuk menahan laju penyebaran virus agar beban layanan kesehatan tidak melewati batas katastrofik dan menimbulkan derita kematian yang tidak dapat dikontrol.

BERSAMBUNG…

Tulisan sebelumnya: “Beriman kepada Corona (1)”

Tulisan selanjutnya: “Beriman kepada Corona (3)”

 

[1] Effective reproduction rate (Rt) adalah rerata penyebaran virus yang disebabkan oleh satu kasus positif. Angka ini berbeda dengan basic reproduction number (R0) karena menggunakan penyesuaian statistik, lebih real time, dan dinamis atau berubah setiap saat. Saat ini Kevin Systrom dan Mike Krieger sudah meluncurkan situs Rt untuk wilayah Amerika Serikat: rt.live.

[2] https://nltimes.nl/2020/04/25/hundreds-possible-covid-19-deaths-outside-hospital-gps-report,

[3] Istilah generasi Coronial dipopulerkan oleh ahli demografi dari UC Barkeley, Edmund Fitzgerald, untuk menandakan bayi yang lahir di akhir 2020 hingga awal 2021. Karakeristik mereka diprediksi akan banyak mengakses home-schooling karena kwkhawatiran orangtuanya untuk mengirim anak-anak ke sekolah dan beraktivitas social skala besar. https://www.berkeleyside.com/2020/04/01/uc-berkeley-demographers-predict-coronial-generation-will-be-next-population-surge

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan