//

Beriman Kepada Corona (1)

Apa yang kita pahami tentang coronavirus barangkali baru seujungkuku pengetahuan coronavirus yang sebenarnya. Kita merasa telah berhasil sebagai manusia – makhluk paling super di muka bumi – ketika satu per satu epidemi kita tuntaskan dengan cepat. Kaum cerdik cendikia dan politisi dapat berbangga dengan itu semua; sedangkan kaum jelata cukup membanggakan mereka yang dengan kepandaian dan kecepatan gerak kebijakannya berhasil membuat napas proletar dapat bertahan lebih lama.

8 mins read
1
Source: https://www.pexels.com/@markusspiske

Ketika novel coronavirus – virus jenis corona yang baru dan kemudian diberi nama Sars-Cov2 ini – menyebar di muka bumi, kita ternyata masih tergagap-gagap. Badan Kesehatan Dunia sempat maju mundur sebelum akhirnya menyatakan pandemi,[1] dan kini bertarung urat saraf dengan Donald Trump[2] untuk membuktikan bahwa maju mundurnya mereka kala itu memang bukan sebuah kesengajaan politik, bukan konspirasi global, bukan perbuatan makar untuk menggoyang-goyang kekuasaan dunia yang selama lebih dari satu abad berpusat di utara benua Amerika.

Kita menggugu Trump – meski dengan skala dan kecermatan yang berbeda. Kita mengolah-olah informasi, menunjuk hidung konspirasi sebagai akar masalah Corona.[3] Mula-mula Cina kita tuding tengah diazab Allah karena menyengsarakan komunitas muslim Ughyur. [4]Saat Cina benar-benar menderita, kita terbawa arus desas desus dengan menyebut ini ulah konspirasi Amerika. Ketika Amerika berganti menderita, kita mencari-cari ulang dalang di belakang ini semua: Cina,[5] Amerika, nasionalis, globalis,[6] bussinessman, atau siapalah yang kita tuding secara semrawut dengan data ala kadarnya.

Teori konspirasi itu sesungguhnya hanya menenggelamkan keimanan kita seolah kita lupa bahwa wamakaruu wamakarallah;[7] setiap sendi kehidupan di dunia ini memang tengah melakukan konspirasi, strategi, program-program intervensi mereka masing-masing. Keniscayaan itu sama niscayanya dengan kenyataan bahwa Allah juga tengah melangsungkan Mahadya KonspirasiNya. Bahwa ada indikasi konspirasi, beberapa kelompok terduga menyembunyikan informasi pengembangan virus, dan kelompok lain bermain-main dengan mengembangan vaksin antivirusnya, semua itu adalah kenyataan yang mesti kita terima sebagai dinamika global.

Kaum jelata semacam kita hanya perlu mengimani dengan penuh: wallahu khairul maakiriiin. Yang memiliki Mahahendaya di muka bumi ini hanyalah Allah. Sehingga kita percaya bahwa seberapapun mendekati kebenarannya teori konspirasi itu, ia tidak akan mencapai kesempurnaan konspirasi. Ada banyak variabel yang tidak dapat dikendalikan penuh manusia meski dengan teknik analisis paling canggih sekalipun. Ada ruang kosong pemodelan yang tak dapat disentuh oleh tangan dan pikiran manusia; dan hanya Allah yang dapat memasukinya. Dengan begitu, kita tak perlu pusing dengan segenap teori konspirasi yang mengular di media sosial, televisi, dan perdebatan-perdebatan.

Corona itu ada. Kita meyakininya. Tetapi, kita tak perlu mengimani corona secara membabi buta, menelan segala informasi tentangnya dari detik ke detik, lalu mencemaskannya secara berlebihan tanpa ada strategi apapun yang kita upayakan dengan maksimal untuk diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, bahkan negara dan dunia kita.

Jikapun kita meyakininya, corona ini semestinya kita imani dengan sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah bahwa ia bagian dari kehendak qadha dan qadar-nya Allah; khairihi wa syarrihi. Sisi buruknya sekaligus segala sisi baiknya. Jangan sampai tersuruk seperti beberapa orang Yahudi di Madinah ketika mereka menertawakan Muhammad bahwa Tuhannya terlalu cupu dengan menyampaikan permisalan seekor lalat, laba-laba, dan makhluk-makhluk kecil lainnya. Mereka – Yahudi Madinah itu – mengolok-olok, “Kalau Allah itu Mahatinggi, mengapa Ia membuat permisalan dengan makhluk kecil?“[8]

Kita memang tak mengolok-olok Allah secara verbal segamblang itu, tetapi kadang melangsungkan penolakan-penolakan yang sama sekali tidak mencerminkan faya’lamuuna annahul haqqu min rabbihim. Kita kehilangan kewarasan dengan menyingkirkan Allah dari ruang-ruang politik dan kebijakan. Kita menafikan sains dan mengabaikan bukti ilmiah padahal keduanya adalah anak tangga ketuhanan yang tak bisa dilepaskan sama sekali dari keimanan. Laa tanfudzuuna illa bisulthaan.[9] Bumi dan langit ini tidak dapat ditaklukkan kecuali dengan memahami data, menguasai sains dan pengetahuan sosial, dan menghimpun bukti ilmiah sebagai dasar langkah intervensi.

Jikapun kita yakin Corona adalah bagian dari kehendak Allah, keimanan kita kepada Corona juga harus didudukkan secara proporsional dalam perspektif yang komprehensif: ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan kesehatan. Kita sering menabrak-nabrakkan antara kepentingan kesehatan dan kepentingan ekonomi seolah keduanya harus selalu saling mengalahkan. Padahal, jika melihat tujuan (maqashid) keduanya secara tepat, tak ada alasan untuk membentur-benturkannya. Pengendalian epidemi penyakit dan penguatan layanan kesehatan dapat dipahami dengan mudah sebagai langkah menyelamatkan nyawa banyak manusia. Hifzh an nafs.

Pada sisi yang lain, penyelamatan ekonomi juga berupaya demikian. Yang dapat kita bayangkan dari bisnis yang berhenti dalam skala besar dan tempo yang lama adalah angka pengangguran yang meningkat – yang secara simultan berisiko meningkatkan pula gangguan mental, depresi, bahkan angka bunuh diri. Kita memang tak memiliki datanya saat ini, tetapi pengalaman resesi besar (great recession) di tahun 2008 mencatat angka mengejutkan. Dalam tempo singkat, angka bunuh diri di Amerika meningkat 3.8%, setara dengan kematian 1330 jiwa bunuh diri.[10]

Mereka yang kehilangan pekerjaan, dan terjebak dalam jurang kefakiran, juga memiliki risiko lebih besar untuk mencari pembenaran melakukan kekufuran di tengah keserbatidakpastian lapangan pekerjaan. Pada kondisi lockdown, PSBB, atau apapun namanya, demand mungkin tak begitu banyak mengalami penurunan. Tetapi, supplyjadi kendala utama. Produksi mampet. Jumlah pekerja terpaksa dikurangi. Persoalan ekonomi semacam ini harus secara serius ditempatkan sebagai variabel determinan dalam keputusan kita menghadapi problem coronavirus. Pada titik ini, upaya pengendalian ekonomi juga harus dimaknai dan, tentu saja, ditujukan sebagai langkah penyelamatan jiwa, bahkan agama. Hifzh ad diin.

BERSAMBUNG…

Tulisan selanjutnya: “Beriman kepada Corona (2)”

 

[1] Badan Kesehata Dunia (WHO) akhirnya mengumunkan Covid-19 sebagai pandemic pada 12 Maret 2020. http://www.euro.who.int/en/health-topics/health-emergencies/coronavirus-covid-19/news/news/2020/3/who-announces-covid-19-outbreak-a-pandemic

[2] Donal Trump, Presiden Amerika Serikat, menyalahkan Badan Kesehatan Dunia yang dianggapnya keliru dalam menangani Covid-19 dengan menyatakan telah memberikan saran yang buruk, Cina-sentris, dan menahan arus informasi yang sebenarnya. https://www.theguardian.com/world/2020/apr/08/world-health-organization-coronavirus-donald-trump

[3] Teori konspirasi kembali mengemuka setelah Dr Judy Mikovits melemparkan pernyataan yang menuduh Bill Gates dan Fauci sebagai biang keladi. https://www.theguardian.com/world/2020/may/14/coronavirus-viral-video-plandemic-judy-mikovits-conspiracy-theories

[4] Banyak unggahan media social di bulan Januari 2020 yang menarik simpulan bahwa Covid-19 adalah azab terhadap Cina karena menyiksa muslim Ughyur. https://www.medcom.id/telusur/cek-fakta/gNQ07yYK-virus-korona-sengaja-disebarkan-rezim-tiongkok-untuk-membasmi-umat-islam

[5] Amerika menuduh Cina mengembangkan virus SarsCov2 di laboratorium mereka dan mengaku memiliki bukti signifikan. https://www.aljazeera.com/news/2020/05/trump-threatens-action-china-covid-19-200503101120358.html

[6] https://www.nytimes.com/2020/04/17/technology/bill-gates-virus-conspiracy-theories.html

[7] Lihat QS Ali Imran: 54

[8] Lihat QS Al Baqaqrah: 16

[9] Lihat QS Ar Rahman: 33

[10] Reses ekonomi global yang terjadi di tahun 2008 memberikan dampak ekonomi signifikan terhadap kesehatan public di Amerika Serikat dan Eropa, salah satunya adalah tingginya angka bunuh diri. https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(12)61910-2/fulltext

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan