Sore itu, sebuah rumah besar di Madinah riuh. Puluhan lelaki berkumpul mengelilinginya dengan penuh amarah. Sudah lebih dari empat puluh hari mereka di sana –sedangkan Asy Sa’bi mengira dua puluh hari –, mengepung rumah khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu (ra.) yang mereka tuntut untuk lengser dari posisi khalifah. Hari itu, mereka tak sekadar menuntut perpindahan kekuasaan. Kedengkian sudah mengubun-ubun, hingga pengepungan menetapkan target yang lebih tinggi: membunuh khalifah Utsman ra.
Tak ada yang dikhawatirkan Utsman ra. dari pengepungan berkepanjangan itu. Bahkan, ia telah meminta para sahabatnya untuk kembali pulang ke rumah masing-masing, “Aku bersumpah, agar mereka yang berkewajiban menaatiku untuk menahan diri dan kembali ke rumah masing-masing.” Perang dapat dicegah, tak ada pertumpahan darah sesama saudara seiman. Sebuah mimpi pun sudah mengabari kematian Utsman ra.: Rasulullah mendatanginya dan berujar, “Kembalilah, karena besok engkau akan berbuka bersama kami.”
Kita tak perlu mengkhawatirkan Utsman ra. dan menangisinya yang telah dijamin surga. Kita justru patut mengkhawatirkan diri kita yang barangkali tengah berada di barisan para pengepung dan pemberontak. Kita justru perlu mengkhawatirkan diri kita yang mungkin saja ikut mendobrak pintu dan jendela rumah Utsman ra., membakar rumahnya, dan menjarah harta dari Baitul Maal.
Hari ini kita kerap mengonsumsi apa yang para pemberontak itu lahap dengan durhaka. HOAX. Kabar palsu yang diyakini sepenuh hati, diafirmasi syahwat, dan disebarluaskan dengan polesan ‘kebenaran syariat’. Kabar bohong yang, bahkan, mendorong Abdullah bin Abu Bakar –putra khalifah Abu Bakar As Shiddiq – sempat menarik jenggot Utsman ra. menjelang ia terbunuh. Mereka yang mengepung bukanlah orang-orang kafir yang meninggalkan shalat. Mereka masih duduk mendengar khutbah Jum’at, mereka masih menghafal ayat-ayat Qur’an, dan mereka masih menghormati Ali bin Abi Thalib ra., Thalhah bin Ubaidillah ra., dan Zubair bin Awwam ra. yang masing-masing dibujuk untuk menjadi pengganti khalifah.
Namun, hawa nafsu dunia membuat mereka ditelikung hembusan hoax. Mereka mempercayai provokasi Abdullah bin Saba –seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, yang berkata, “Utsman telah merampas hak yang bukan miliknya.” Mereka berduyun-duyun menyerbu Madinah dengan semangat yang mereka pikir adalah bagian dari amar ma’ruf dan nahyi munkar.
Tidakkah kita sering terpukau dengan ajakan semacam itu? Meneriakkan takbir sambil meliputinya dengan caci maki, perkataan kotor, rasa dengki, dan aroma busuk permusuhan. Kita memegang aura kebenaran di satu tangan, tetapi melumurinya dengan kotoran kenistaan dari tangan yang lain.
Sekali penjelasan disampaikan, para pemberontak itu tetap berpaling. Saat mereka kembali pulang dan dijamin keselamatannya oleh Utsman ra., mereka lebih memilih mempercayai surat palsu dengan stempel palsu pula yang diterima di tengah perjalanan pulang. Surat itu berisi perintah Utsman untuk membunuh mereka, menyalib mereka, dan memotong tangan dan kaki mereka. Mereka naik pitam; menganggap Utsman ra. melanggar janji dan tengah bermaksiat. Surat palsu itu beredar dengan cepat, viral ke mana-mana, dibumbui caption dahsyat yang menggelorakan pemberontakan.
Tidakkah kita sering terpukau dengan berita semacam itu? Mempercayainya dengan sepenuh hati meski klarifikasi telah dibentangkan. Kita lebih memilih menyukai apa yang sesuai kehendak hati, memuaskan hasrat yang telah menancap di kepala, dan mengamini pendapat yang selaras dengan opini kelompok sendiri.
“Demi Allah, aku tidak menuliskannya (surat itu),” kata Utsman ra. mengklarifikasi. “Aku tidak mendiktekannya, tidak tahu menahu tentang surat itu, bahkan stempel itu adalah stempel palsu.” Ada yang memilih mempercayai Utsman ra., ada pula yang memilih mengingkari keterangannya. Mereka kembali ke Madinah, melancarkan kudeta, dan memulai pengepungan panjang yang berakhir duka dalam histori Islam.
Kita tidak tengah mengkhawatirkan dan mengasihani Utsman ra. yang telah dijamin surga. Kita semestinya mengkhawatirkan diri kita yang barangkali tengah bersikap dungu dan menenggelamkan diri dalam lautan kebohongan. Kita tak punya daya filtrasi dari serangan berita buruk yang sengaja disebar untuk memecah belah, tak punya kejernihan batin untuk memilah mana yang baik disampaikan untuk umat dan mana yang mesti dihentikan penyebarannya, juga tak punya ketajaman pandangan untuk memilih yang baik dari himpunan keburukan yang begitu banyak dipaparkan di dunia maya, medsos, ruang berbagi, dan forum obrolan.
Utsman bin Affan ra. terbunuh sudah di sore itu –menjemput takdir yang telah dikabari dalam mimpinya untuk bertemu kembali dengan Rasulullah, Abu Bakar As Shiddiq ra. dan Umar bin Khattab ra. pada hari Jumat yang mulia. Lelaki bernama al Mawtul Aswad –dalam riwayat Ibnu Katsir– telah mencekiknya hingga nafasnya tersengal. Saudan bin Hamran datang belakangan dengan hunusan pedang. Ia membabat jemari Nailah ra., istri Utsman ra., hingga jari-jarinya terputus, lantas menikam Utsman ra. di kamarnya sendiri. Seseorang yang lain pun berteriak memprovokasi, “Pergilah ke Baitul Maal! Jangan sampai kalian tertinggal.” Dan, terjadilah penjarahan pertama terhadap kas umat dengan kelaliman yang nyata.
Kita tidak menangisi Utsman ra.. Kita hanya perlu menangisi diri kita: andaikan berada dalam skenario masa itu, di barisan mana kita berdiri? Yang mempercayai kebenaran dari lisan khalifah yang terpercaya, atau yang terbakar hoax dari lisan para pemburu dunia.
Jika puasa adalah urusan tahan menahan diri, bukankah kita juga perlu menahan diri dari kesimpulan yang terburu-buru, keengganan mencari klarifikasi dan kebenaran, dan hasrat pembenaran terhadap syahwat yang mengokupasi kepala dan pandangan kita?
Rotterdam, 12 Ramadhan 1439
Gambar fitur diambil dari: http://www.ruesong.com/hoax-logo/