Gigi Seri Tukang Pidato

6 mins read
1

Saat Rasulullah Shallallahu álayhi wasallam (Saw.) bersama rombongan sahabatnya menuju Mekkah untuk umrah di tahun 6 H, orang-orang Quraisy menghadangnya. Tak cukup sekali dua kali, mereka mengirim utusan untuk melobi agar Rasulullah Saw. kembali ke Madinah. Perjalanan itu memang bukan untuk perang, tapi masuknya Rasulullah Saw. ke Mekkah berpotensi mengoyak keajegan Mekkah yang dirawat untuk terus membenci Rasulullah Saw. dan Islam. Maka, Muhammad Saw. harus dibatasi ruang geraknya, dijauhkan dari mimbar, disingkirkan dari daftar migran, dan diboikot segala aktivitasnya.

Jika hari ini kita diusir, diboikot, dilarang, dan disingkirkan dari berbagai mimbar, forum, podium, dan ruang eskpresi, pastikan bahwa pengusiran dan marjinalisasi itu disebabkan kebenaran yang kita bela, bukan kepentingan dunia belaka. Jalan damai Muhammad Saw. adalah menyikapi segala penolakan yang tampak birokratis itu dengan diplomasi yang agung. Bahkan, ketika seorang lelaki duduk di hadapannya mulai mendikte.

“Nama Rahman dan Rahim ini tidak aku kenal, tapi tulislah: Bismikallahuma,” katanya tegas saat Rasulullah Saw. menulis basmalah. “Tulislah, ini yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah,” katanya lagi, menolak dicantumkannya kata ‘Rasulullah’ dalam perjanjian besar itu –yang kemudian kita kenal dengan perjanjian Hudaibiyah. Muhammad Saw. melunak kepada lelaki di hadapannya: Suhail bin Amr. Ia tukang pidato paling ulung dan orator paling handal dalam mencaci dan mendiskreditkan Muhammad Saw. Maka, ketika ia diutus sebagai tukang lobi terakhir, orang-orang Quraisy bersukacita.

Nama Suhail si tukang pidato itu terus bergema di Mekkah dan Madinah. Di Mekkah, ia dipuja-puji dan terus menjadi corong utama perlawanan di mimbar-mimbar publik. Di Madinah, ia dibenci karena menjadi sebab tawanan muslim di Mekkah tak dapat kembali. Padahal, saat perang Badar, ia sempat menjadi tawanan perang sebelum dilepaskan lagi ke kaumnya.

Umar bin Khattab radhiyallahu ánhu (ra.) ingat betul permintaannya kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah, biarkan aku mencabut gigi seri Suhail bin Amr ini, agar ia tak dapat lagi berpidato mencela dirimu setelah ini.” Tapi, Rasulullah Saw. menolak permintaan Umar ra. “Aku tidak akan merusak tubuh seseorang,” jawab beliau. “Mudah-mudahan esok pendirian Suhail akan berubah menjadi seperti yang engkau sukai.”

Saat Fathu Mekkah, Suhail masih berdiri bersama orang-orang Quraisy –lengkap dengan gigi serinya yang tak pernah dicabut. Ia terpojok, melihat Islam menguasai setiap jengkal Mekkah. Muhammad Saw. dapat saja mencokok setiap orang yang dulu membencinya dan mengobarkan kedengkian kepadanya. Namun, beliau memilih opsi lain dengan menghadapi langsung orang-orang Quraisy dan bertanya, “Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”

Suhail si juru pidato maju. Lihai ia menjawab, “Kami yakin engkau akan berbuat baik karena engkau adalah saudara kami yang mulia, putra saudara kami yang mulia.” Rasulullah Saw. tersenyum, lalu dibebaskannya semua tawanan.

Tidakkah pemaafan kita lebih sedikit dari ujung kuku Rasulullah Saw.? Kita begitu mudah terbakar emosi dan mengoleksi dendam. Amarah kita mudah tertumpah ketika personalitas kita diserang, kelompok kita dikebiri, partai kita diremehkan, atau golongan kita dipinggirkan. Kita menafikan jalan teladan Rasulullah Saw. untuk meneguhkan diri dalam memilah mana yang harus dibela dan dimaafkan. Tidak ada ajakan yang bersambut, kecuali diiringi dengan kelembutan dan kasih sayang.

Suhail sadar; berliput campuran malu, tunduk, dan sesal. Ia menjadi bagian Ath Thulaqa –orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Mekkah karena ujaran Rasulullah Saw., “Pergilah kalian, karena kalian semua bebas.” Dalam sekejap, kebenciannya kepada Rasulullah Saw. berganti dengan kecintaan yang meluap-luap. Ia menjadi pribadi pemaaf, pemurah, mencintai shalat dan Qur’an, dan kerap menangis karena ketakutannya kepada Allah Taála.

Lantas, apa yang kita harapkan dari kebencian yang membalas kebencian, dari kata-kata kotor yang membalas kata-kata kotor, dari celaan yang membalas celaan –bahkan ketika kita merasa diri kita berada di puncak tertinggi kebenaran manusia?

Suatu saat, di hadapan Umar ra., Suhail berpidato lagi. Namun, kali ini pidatonya mengagumkan, penuh keimanan yang kokoh. Pidato yang membuat Umar tertawa panjang sendirian. Ia mengingat lagi pesan Rasul Saw. untuk tidak merontokkan gigi seri Suhail, “Mudah-mudahan esok pendirian Suhail berubah menjadi seperti yang engkau sukai.” Hari itu, perkataan Rasulullah Saw. terbukti sudah. Si tukang pidato menjelma sahabat utama karena kasih sayang da’wah Muhammad Saw.

Jika hari ini kita melihat tukang pidato, orator, stand up comedian, politisi, artis, atau public figure yang begitu membenci kebenaran Islam, tak perlulah kita cabut gigi serinya, juga kehormatannya dengan kekejian yang sama. Di bulan puasa, kita sisipkan doa agar Allah membalik yang keras menjadi lunak, mengubah yang benci menjadi cinta, mengembalikan yang limbung ke jalan yang lurus. Barangkali, itulah jalan da’wah kita yang paling lemah.

Rotterdam, 9 Ramadhan 1439

Foto fitur diambil dari: http://kevinzimmerman.org/become-a-motivational-speaker-why-all-authors-should/

 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan