Shaf Sosial Terberai

4 mins read

Di Madinah tempo dulu, suku Auz dan Khazraj menggeluti hidup penuh benci dan perang. Mata mereka khianat satu sama lain. Satu kekeliruan kecil dapat mengobarkan perang berhari-hari dan pengusiran. Konstelasi sosialnya berantakan; terpecah tiga kubu yang saling menahan bara permusuhan: Yahudi Madinah, Auz, dan Khazraj. Namun, tidak pada malam itu – di pertengahan malam hari tasyrik. Selepas ritual haji, pemimpin-pemimpin Khazraj keluar dari kemah di sekitaran Mekkah dengan bersembunyi, menaiki bukit Aqabah, dan menunggu dua lelaki yang membawa kabar baik bagi mereka: Muhammad bin Abdullah Shallalahu álayhi wasallam (Saw.) dan Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu anhu (ra.).

Sebuah perjanjian akan diteken. Pakta integritas akan disepakati. Ini bukan lagi sekadar menyebarkan Islam, tapi bagaimana kekuatan dapat saling melindungi, bukan mencerai berai. “Saya meminta ikrar bahwa Tuan-Tuan akan membela saya seperti membela istri dan anak-anak Tuan-Tuan sendiri,” tegas Rasulullah Saw. membuka penawaran.

Negosiasi berjalan tak begitu sulit. “Akan kami terima, sekalipun harta kami habis, bangsawan kami terbunuh. Tapi, apa yang akan kami peroleh jika kami menepati semua ini?” Saat Rasulullah Saw. menjawab satu kata, “Surga,” mereka segera mengulurkan tangan, berikrar sepenuh hati. “Kami berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapapun atas jalan Allah ini.”

Di perjalanan pulang, tiba-tiba terdengar suara keras melengking, “Muhammad dan orang-orang yang pindah kepercayaan itu sudah berkumpul dan akan memerangi kalian!” Ia mata-mata yang berniat menabur benih peperangan di tengah Quraisy. Ia spion yang membuat orang-orang Khazraj meminta izin, “Kalau sekiranya Tuan (Rasulullah) sudi, penduduk Mina itu akan kami habisi dengan pedang kami.”

Tapi, Muhammad Saw. bukanlah pemarah yang mudah naik pitam. “Kami tidak diperintahkan untuk itu,” jawabnya, meski ayat-ayat tentang perang telah bertebaran.

Ketika Muhammad Saw. memasuki Madinah selepas hijrah, kekuatan Auz dan Khazraj telah bersatu. Jika beliau menginginkan, Yahudi dapat mudah dipukul mundur keluar Madinah. Namun, politik Muhammad Saw. bukan kisah tentang kerajaan, kekuasaan, harta benda, atau keuntungan perdagangan. Politik Muhammad Saw. mengusung kemuliaan di atas politik manusia hari ini –yang mendukung persekongkolan demi keuntungan kecil dunia di masa yang pendek. Rasulullah Saw. memilih membuka keran toleransi, meneguhkan kebebasan beragama bagi siapa saja yang berada di Madinah: muslim, Yahudi, atau Kristen. Muhammad Saw. menjamin pula kebebasan berpendapat, tanpa breidel, tanpa kriminalisasi, tanpa ketakutan disatroni polisi di malam hari.

Untuk kedamaian itu pula, Muhammad Saw. melancarkan strategi politik masyhurnya: mempersaudarakan, mengikat kekerabatan. Dengan begitu, Muhammad Saw. meminimalisir ruang gerak orang-orang munafik yang berupaya menebar lagi permusuhan yang merusak. Muhammad Saw. merapatkan shaf sosial.

Jika kebenaran saja yang menjadi pijakannya, Rasulullah Saw. dapat dengan mudah memenangkan dan menguasai Madinah. Namun, kebenaran tak lantas menjadi pembenaran untuk menyerang. Ada struktur sosial yang dipahaminya dengan teliti –keterampilan yang pelan-pelan terkikis di tengah-tengah kita belakangan hari ini.

Kita menduga kebenaran telah terjamah oleh tangan kita sehingga dipertontonkan tanpa memahami konteks sosial yang ada. Kita meluruskan shaf menjelang shalat berjamaah, tapi memberaikan shaf sosial di tengah masyarakat. Kita kehilangan keberanian untuk bersikap adil dan kerap bersembunyi di balik alasan-alasan yang kita yakini sejalan dengan teks keagamaan. Kita lupa untuk menjalin persaudaraan lagi yang lebih erat, menabur benci dan kekhianatan satu sama lain –yang dengannya perselisihan dapat dengan mudah diselipkan untuk saling bermusuhan.

Shaf sosial kita terberai. Perjanjian damai dan toleransi kita tercabik-cabik. Jika puasa ini tidak mampu membenahinya sekali lagi, aroma kemunafikan akan terus menggerogoti shaf sosial kita yang longgar. Bukankah tak ada kejayaan yang bermula dari amarah dan kebencian yang dipelihara?

Rotterdam, 11 Ramadhan 1439

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan