Strategi Alternatif
Melihat pada kendala di bulan pertama, Indonesia perlu memikirkan strategi alternatif yang memungkinkan pelaksanaan vaksinasi lebih sistematis dan terukur, sekaligus menyadari realitas teknis yang ada di lapangan.
Pertama, sulit untuk melakukan pendataan terpusat dengan keterbatasan sistem informasi yang ada. Banyak keluhan yang muncul selama proses pendaftaran vaksinasi tenaga kesehatan, baik melalui pendaftaran berbasis aplikasi WhatsApp, email, dan website. Bukan hanya kegagalan registrasi, tenaga kesehatan dapat ditempatkan di lokasi vaksinasi yang sama sekali tidak berkaitan dengan lokasi pekerjaannya dan keterlambatan respons yang parah. Kegagalan sistem informasi ini menyebabkan frustrasi—yang jika di-scale-up ke populasi yang lebih luas berpotensi menyebabkan kekacauan.
Juru Bicara Vaksinasi COVID-19, Siti Nadia Tarmizi, menyampaikan perubahan strategi registrasi online ke manual. “Tidak ada lagi SMS blast,” katanya mengutip strategi awal yang meminta tenaga kesehatan untuk registrasi ulang vaksinasi. Pendataan kini dilakukan melalui sikronasi sistem PCare dan aplikasi PeduliLindungi, serta registrasi manual melalui Sistem Informasi SDM Kesehatan (SISDMK).
Proses pendataan manual sepertinya masih menjadi strategi yang paling reliabel untuk pelaksanaan vaksinasi kelompok tenaga layanan publik. Dengan sebaran aparatur sipil negara yang sangat luas, proses pendataan dan registrasi terpusat yang dipaksakan akan mempersulit implementasi. Kerumitan itu menjadi lebih parah jika tidak ada definisi yang jelas tentang tenaga layanan publik: siapa, di sektor apa, dan pada jenjang apa.
Data Badan Kepegawaian Negara menunjukkan bahwa ada 4,12 juta ASN di seluruh Indonesia yang didominasi ASN di tingkat daerah (77%) dan fungsional tertentu (51%). Ini mengindikasikan bahwa strategi vaksinasi tenaga publik lebih baik dijalankan secara lokal, alih-alih dilakukan terpusat. Dengan hampir 70% ASN fungsional merupakan guru, maka pendataan guru harus mulai dirapikan sejak dini dengan mengidentifikasi titik yang paling memungkinkan sebagai lokasi vaksinasi massal di tiap daerah. Selain itu, perlu juga pertimbangan mengenai inklusi kelompok guru honorer untuk memastikan keadilan. Namun, ini berimplikasi pada tambahan kebutuhan dosis vaksin, identifikasi sasaran, dan penyusunan kriteria inklusi yang lebih detail.
Kedua, perbaikan data target populasi umum. Data KPU dianggap oleh Menkes Budi Gunadi sebagai data yang paling valid dan akurat saat ini, dan dapat dipakai sebagai basis estimasi target vaksin. Namun, data KPU tidak dapat mengidentifikasi target dengan komorbiditas. Data tersebut mungkin dapat diambil dari database BPJS Kesehatan yang mencakup 80% populasi Indonesia saat ini. Namun, cakupan sebesar itu tidak serta merta mengindikasikan bahwa semua catatan kesehatan terekam dalam database dan belum adanya integrasi sistem kependudukan dengan database kesehatan. Situasi ini berimplikasi pada kebutuhan penyaringan data di lapangan yang harus tersistemasi dengan baik: siapa yang eligible, memiliki autoritas, dan kapan proses penyaringan komorbiditas dilakukan.
Ketiga, pembenahan kapasitas cold chain lokal. Meskipun Indonesia berpengalaman dalam distribusi vaksin, dan vaksin Sinovac kompatibel dengan sistem cold chain yang ada, vaksinasi COVID-19 tetap menjadi tantangan tersendiri karena jumlah yang lebih besar dan tenggat pemenuhan target yang sangat ketat. Situasi ini juga terkendala akibat stok vaksin non COVID-19 yang terhambat penyalurannya selama pandemi.
Keempat, bagaimana meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap vaksin. Data survey nasional menunjukkan bahwa 64,8% dari 112.888 responden bersedia divaksin. Proporsi populasi yang masih belum menentukan apakah menerima vaksin atau tidak sekitar 27,6%. Jika diproyeksikan pada populasi muda, itu berarti masih ada 52 juta populasi muda yang harus diyakinkan untuk dapat menerima vaksin. Angka yang besar dan menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah.
Data survey penerimaan vaksin itu tentu perlu diperbarui untuk menilai sejauh mana perubahan tingkat penerimaan setelah vaksin mendapatkan EUA dan sertfikasi halal dari MUI. Dua hal tersebut semestinya telah menghapus keraguan masyakarat terhadap keamanan, efektivitas dan kepercayaan keagamaan, yang berkontribusi terhadap 60% alasan penolakan terhadap vaksin.Setelah pemerintah memetakan kelompok penerimaan vaksin, hal krusial selanjutnya adalah bagaimana merumuskan strategi komunikasi yang lebih terfokus (targeted strategy) terhadap masing-masing kelompok tersebut.

Kampanye vaksin yang ada masih dominan pada bagaimana mengingatkan pentingnya vaksin, mendorong keterlibatan, dan memberikan insentif yang cocok pada kelompok yang masih ragu-ragu tapi memiliki kecederungan positif. Padahal, strategi komunikasi pada kelompok yang menolak berbeda dengan strategi komunikasi pada kelompok yang masih ragu-ragu. Jangan gunakan pendekatan penghakiman (judgment) terhadap mereka yang menolak dan perlunya membangun narasi yang memungkinkan perubahan opini tanpa mereka harus merasakan malu. Dengan begitu, salah satu pendekatan terhadap mereka yang menolak bukan sekadar kampanye umum, tetapi dirumuskan dalam story telling yang runut, melibatkan opinion leader pada kelompok tersebut, dan mengundang keterlibatan emosional. (Gambar 2)
Next: Herd Immunity: Rasional?