Pertaruhan Besar Indonesia: Strategi Vaksinasi COVID-19

Apakah vaksin benar-benar dapat menjadi senjata ampuh dan menyelamatkan manusia Indonesia? Sampai detik ini, belum ada yang tahu pasti jawabannya. 

19 mins read
Source: https://www.green-cooling-initiative.org/

Herd Immunity: Rasional?

Satu juta kasus COVID-19 terkonfirmasi tampak sebagai angka yang besar, namun masih kecil secara realtif terhadap total populasi Indonesia; 0,37%. Jika diasumsikan bahwa kebutuhan proteksi minimal 70% populasi untuk mencapai herd immunity, dengan laju sebaran infeksi (R0) 3 dan efikasi vaksin sebesar 65%, menargetkan mencapai herd immunity adalah ide yang hampir muskil secara teori. Dengan perhitungan tersebut, Indonesia butuh untuk melakukan vaksin ke nyaris seluruh populasi, bukan sekadar 181 juta orang.

Prioritas vaksin pada kelompok usia muda juga meninggalkan lubang potensi penularan yang masih besar kepada kelompok usia tua—kelompok yang paling rentan terhadap hospitalisasi dan kematian. Dengan keterbatasan kapasitas layanan kesehatan dan masih besarnya risiko infeksi pada populasi usia tua, layanan kesehatan dapat tetap kewalahan menanggung beban pasien COVID-19.

Dengan situasi dan kendala yang ada, Indonesia perlu memikirkan ulang strategi vaksinasi. Alih-alih berupaya untuk menyebarkan vaksin secara merata, vaksinasi pada bulan-bulan pertama perlu difokuskan pada daerah yang mengalami dampak pandemi paling besar dan memerhatikan kapasitas layanan kesehatan di masing-masing daerah. Dengan demikian, tujuan utama vaksinasi saat ini harus diletakkan secara rasional. Yang terutama bukan lagi bagaimana mencapai herd immunity, tetapi bagaimana seefisien mungkin menurunkan beban layanan kesehatan yang ada saat ini. 

Strategi ini penting dilakukan karena belum ada satu bukti pun yang menunjukkan seberapa lama proteksi yang diberikan melalui vaksinasi dapat bertahan. Beberapa laporan ilmiah menunjukkan bahwa pasien yang terinfeksi COVID-19 dapat membentuk sel B memori—sel imun yang dapat ‘mengingat’ protein virus dan memicu produksi antibodi ketika terpapar lagi oleh virus tersebut. Proteksi natural yang didapat dari infeksi tersebut dapat bertahan selama 8 bulan. 

Jika menggunakan asumsi tersebut, maka dibutuhkan implementasi vaksin yang jauh lebih progresif karena pemerintah harus mampu mencapai target imunisasi tersebut dalam periode proteksi imunitas vaksinnya. Jika implementasi scale up berlangsung lebih lama, herd immunity tidak akan tercapai. Misalnya, jika ternyata vaksin hanya memberikan proteksi temporer yang bertahan 10 bulan, padahal program vaksinasi baru berjalan 50% dari yang ditargetkan, maka strategi pencapaian herd immunity menjadi jauh lebih sulit. Akan ada double target vaksinasi: satu kelompok mendapatkan vaksin pertama dan kelompok lain mendapatkan vaksinasi tambahan—yang kita belum mengetahui apa dan bagaimana bentuknya. 

Jika herd immunity adalah ide gila yang nyaris muskil, pemerintah tidak semestinya menempatkan vaksin sebagai satu-satunya amunisi menghadapi pandemi. Indonesia membutuhkan intervensi non-farmasi (non-pharmaceutical intervention) yang harus tetap dijalankan secara beriringan, salah satunya dengan restriksi dan kendali mobilitas. Strategi ini, yang belakangan diubah namanya menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), hraus terus dievaluasi. Presiden Jokowi bahkan mengakui dalam sebuah pernyataannya pada 31 Januari bahwa, “…kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif.” Data mobilitas penduduk di pulau Jawa memang mengalami penurunan, tetapi tidak signifikan untuk menurunakn jumlah kasus COVID-19 terkonfirmasi, jumlah pasien yang dirawat, dan jumlah kematian.

Persoalannya terletak pada ketidaktegasan dan inkonsistensi. Kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi akibat restriksi mobilitas semestinya tidak menjadi hambatan implementasi restriksi mobilitas. Apa yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa tidak ada formula standar dalam menghadapi pandemi ini adalah benar belaka. “(Strategi) yang benar yang mana, tidak ada. Yang (melakukan straegi) lockdown pun juga (kasus COVID-nya meningkat secara) eksponensial,” katanya. Jika meletakkannya dalam kerangka pikir yang konruen, paralel dengan implementasi vaksin untuk menurunkan beban layanan kesehatan dan kematian, restriksi mobilitas perlu diperpanjang dengan implementasi yang lebih konsisten di lapangan. Melonggarkan restriksi dengan ekonomi yang terus melaju, tetapi berdarah-darah, juga bukan opsi yang bijak. 

Persoalan vaksinasi ini memang teramat kompleks. Isu ini di luar sekadar urusan kepastian negosiasi suplai vaksin, tetapi juga berhadapan dengan kecermatan targetting, kepatuhan implementasi, penerimaan masyarakat terhadap vaksin, dan konsistensi dengan strategi non-farmasi lainnya. Tanpa itu semua, kita akan terus berkubang dalam kolam penderitaan pandemi yang tak habis-habis.

Ahmad Fuady, MD, PhD.

Peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan saat ini sebagai guest researcher di Erasmus MC University Medical Center Rotterdam, Rotterdam, Belanda

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan