Suatu ketika, Muhammad ﷺ menaiki mimbar untuk berkhutbah. Tertunduk wajahnya saat menaiki anak tangga satu persatu. Lama ia beranjak dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya. Sahabat yang duduk paling depan mendengar beliau mengucapkan “Amin” di setiap anak tangga yang dipijaknya. Tiga kali.
Semua tulisan dari aafuady
Beriman kepada Corona (2)
Jika kita yakin bahwa Corona adalah bagian qadha dan qadar-nya Allah, keimanan terhadapnya tidak membuat kita secara egois meneriakkan ‘pokoknya lockdown’, atau ‘PSBB harga mati’. Pada beberapa kelompok, PSBB adalah ‘kematian’ itu sendiri.
Beriman Kepada Corona (1)
Apa yang kita pahami tentang coronavirus barangkali baru seujungkuku pengetahuan coronavirus yang sebenarnya. Kita merasa telah berhasil sebagai manusia – makhluk paling super di muka bumi – ketika satu per satu epidemi kita tuntaskan dengan cepat. Kaum cerdik cendikia dan politisi dapat berbangga dengan itu semua; sedangkan kaum jelata cukup membanggakan mereka yang dengan kepandaian dan kecepatan gerak kebijakannya berhasil membuat napas proletar dapat bertahan lebih lama.
Kening Taat, Lidah Fitnah
Pada suatu subuh, Muadz menjadi imam shalat fajr di masjid. Seorang lelaki Arab menjadi makmum di belakang Muadz. Rakaat pertama Muadz terasa panjang. Lelaki Arab itu tampak kepayahan dan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan berdiri. Gelisah, barangkali. Namun, di rakaat kedua, ia tak lagi tahan. Ia mufaraqah. Berpisah dari rombongan. Keluar dari jamaah. Ia memutuskan shalat sendirian, tak lagi bermakmum kepada Muadz yang masih menjadi imam shalat di depan.
Koneksi Tanpa Putus
Wajah Khadijah nampak gusar. Ada pertanyaan yang membebat di kepalanya. Ada tanda tanya yang ingin segera ia temukan jawabannya. Ia duduk berdampingan dengan Muhammad ﷺ, mengobrol selayaknya suami istri yang bercengkerama di ruang keluarga – bersama beberapa sahabat yang mendengar percakapan mereka hingga hadits ini dapat diteruskan ke banyak orang.
Syariat Tegak, Syaithan Gembira
Suatu siang, seorang lelaki dibawa ke hadapan Muhammad ﷺ dalam sebuah rombongan. Madinah kala itu sudah berubah wajah setelah tiga ayat tentang khamr turun. Ada perubahan social yang drastis ketika akhirnya khamr dilarang (Baca kisahnya di “Fikih Sosial Madinah”). Hampir tak ada lagi orang-orang meminum khamr secara sadar. Mereka mulai meninggalkannya satu per satu, membuangnya dari etalase dagang mereka di pasar-pasar, melenyapkannya dari gudang penyimpanan di rumah-rumah mereka.
Mengajak Keluarga untuk Taat
Rekaman pemantik diskusi Ramadhan Pengajian Pemuda Muslim Eropa Rotterdam via Facebook Live (10 Mei 2020)
Bucin Allah
Muhammad ﷺ pergi berhaji lagi. Kali ini dengan perasaan yang bercampur aduk. Langkahnya hati-hati, bertabur pesan yang menyiratkan firasat kuat profetik bahwa sebentar lagi ia akan menjumpai Allah dalam rupa yang sesungguhNya. Barangkali itu akan menjadi perjalanan ziarah hajinya yang terakhir. Dalam geliat dadanya yang gemuruh, Muhammad ﷺ berpesan: khudzuu anniy manaasikakum. Perhatikan baik-baik bagaimana aku melaksanakan haji, menunaikannya dengan sempurna, dan jadikan semua itu patokan yang membuat umatku kelak mendapat panduan yang sahih atas praktik haji.
Menjemput Lailatul Qadr dari Rumah
Pemantik Diskusi tentang Lailatul Qadr
Sunnah Buruk
Suatu siang, ketika Muhammad ﷺ tengah duduk-duduk bersama para sahabatnya di sebuah majelis, serombongan orang datang dan meriung di sekitar Muhammad ﷺ. Mereka tak berpakaian dengan layak, bahkan para sahabat mengatakan bahwa serombongan orang itu bertelanjang. Tak bergamis seperti laiknya orang Arab yang tingal di Madinah. Pakaian mereka dari seperti bulu harimau – larik-larik panjang seperti tengah memakai baju kurung. Mereka berjalan tanpa alas kaki, bercelana di atas lutut sehingga sebagian aurat mereka terlihat.
Jejak Mahadigital
Para sahabat saat itu tengah berkumpul Bersama Muhammad ﷺ. Tiba-tiba saja, di tengah obrolan yang hangat itu, Muhammad ﷺ tersenyum sendirian sampai gigi serinya nampak jelas. Bukan kali itu saja Muhammad ﷺ tersenyum sendirian. Kadang ia juga menangis sendirian, kadang ia berbicara sendirian. Bukan karena gila atau waham, tetapi karena Jibril hadir dan memberi penerangan yang tak mampu disimak oleh orang lain meski jarak mereka tak sampai sedepa dari Muhammad ﷺ.
Allah Tersenyum
Pipi para sahabat hari itu basah penuh linangan air mata. Sedih membuncah, kekhawatiran mendekap. Baru kali itu mereka merasa hidup penuh beban yang mereka yakini tak akan mampu mereka tanggung sampai kapan pun. Ada ruang yang tak mampu mereka kendalikan di dalam diri mereka sendiri – yang jika itu harus dipertanggungjawabkan, maka binasalah mereka semua.