Tuhan Maha Bercanda

18 mins read

Tapi, saya lantas memilih tertawa geli sendirian. Saya hanya menduga mungkin Tuhan sedang tersenyum-senyum geli juga melihat kami sambil bercanda, “Kamu pikir sing ngatur uripmu kamu sendiri, Le?” Ini Canda Tuhan #4. Pamungkas.

 

Sepanjang jalan pulang Schipol-Rotterdam hari ini, saya tersenyum-senyum sendiri mengenang betapa Tuhan begitu adidaya terhadap manusia. Saya mengingat perjalanan kami—saya, istri, dan anak lelaki pertama kami—menuju Denmark, di bulan November 2016. Suhu merambat turun kala itu. Saya baru memulai perjalanan studi baru dengan membawa bekal setumpuk data yang siap diolah dan diteliti. Kaki kami belum genap dua bulan menginjak tanah Belanda.

 

Beruntung bahwa istri saya adalah wanita yang gigih. Pergi menemani suami ke Belanda dan meninggalkan kesibukannya yang padat di Jakarta—bahkan lebih sibuk dari suaminya sendiri—adalah pengorbanan besar. Ia tak patah semangat. Atas izin Allah, ia mendapatkan fellowship dari European Society of Medical Oncology (ESMO) setelah serangkaian proses yang panjang: terhitung sejak April hingga November 2016. Soal proses itu, nanti saya akan ceritakan di bagian lain.

 

Kepergian kami ke Kopenhagen, Denmark tidak lain untuk menghadiri konferensi ESMO yang di dalamnya terselip acara penganugerahan fellowship bagi istri saya. Bukan acara saya sama sekali. Saya, sejak mendaku diri sebagai suaminya, sejak bilang qobiltu-qobiltu[1] di akad nikah, adalah bodyguard-nya. Saya tentu tak tega membiarkannya pergi sendirian ke negeri yang sama sekali asing baginya. Bagaimana kalau nanti ia tersesat? Bagaimana kalau nanti ia diculik? Maka, jauh-jauh hari sebelum kami sampai di Belanda pun, saya memang merencanakan mendampinginya berangkat jika ia memang benar-benar mendapatkan fellowship itu. Lelaki kecil anak pertama kali tentulah dibawa serta meski baru saja ia mulai masuk sekolah. Beruntung bahwa ia masih kelas 1—setara TK A di Indonesia—yang tak begitu ketat urusan izin dan absensi.

 

Saya mencari-cari tiket pesawat murah—kebiasaan yang mulai kami rutinkan sejak menjadi anak sekolahan. Uang beasiswa tentu tidak semegah bayangan orang-orang di luar sana. Apalagi, jika membawa serta anak-istri ke negeri orang. Ikat oinggang harus diperketat. Jangan bayangkan cicilan rumah dan Pajero: jauh! Untuk akomodasi, demi menghemat biaya bertiga, saya mencari-cari kenalan yang berkenan pintunya dapat dibuka dan kami tumpangi selama konferensi. Di Denmark, kami mengontak wisma kedutaan besar, tetapi hasilnya tak cukup baik. Colek kanan colek kiri, tak ada yang juga membawa kabar gembira.

 

Beruntunglah **##, penyalur beasiswa terkemuka di Indonesia itu (tak usahlah saya sebut namanya supaya Anda googling sendiri), memiliki mailing list yang berisi ribuan penerima beasiswanya dan membuat kami tersambung satu sama lain di seantero dunia, kecuali kutub utara dan selatan, gurun Sahara, gurun Gobi, dan puncak Himalaya. Dulu, saya berpikir untuk apa mailing list di jaman kiwari ketika semua sudah semakin canggih dan cepat berkomunikasi dengan perangkat di luar email. Namun, beruntung juga ada mailing list semacam itu. Meski kebanyakan isinya adalah iklan dan permohonan bantuan mengunduh artikel dan buku, sekali-sekali ia berguna juga untuk mencari tumpangan hidup. Sekali tanya, “Hallooo, ada yang tinggal di Anuuu?”, maka ada saja yang berbaik hati merespons, “Yaa, saya di Anuuu…” Walaupun, tentu saja, ada juga yang diam-diam sembunyi karena sudah menduga bahwa orang yang bertanya lokasi adalah mereka yang sedang mencari tempat tumpangan hidup. Untunglah, satu-satunya yang menjawab tantangan dari saya itu merespons dengan baik, memberikan nomor istrinya yang—ini saya sebut Candaan Tuhan #1, ternyata kakak kelas istri saya. Ndilalah, kata orang Jawa, meskipun tentu saya paham ini pasti kerjaan Tuhan, bukan kebetulan.

 

Ini kegiatan yang diikuti istri saya. ESMO Conference, Copenhagen 2016.

 

Maka, berangkatlah kami di sebuah sore yang sejuk-sejuk udara Kaliurang dari apartemen mungil di pinggiran Rotterdam menuju bandara di Schiphol, Amsterdam. Sedang asyik-asyiknya berbincang di kereta, saya baru tersadar sesuatu yang tak ada di tas saya. Paspor kami bertiga tertinggal di laci kamar! Jeng, jeng!!

 

Ealah, padahal kereta sudah berjalan jauh sekali dari Rotterdam. Sepuluh menit lagi, kereta sudah sampai di Schiphol. Tak mungkin balik badan dan mengambil kereta balik. Maka, sibuklah saya menelpon kawan yang tinggal satu apartemen dengan kami untuk mencari paspor yang tertinggal ini. Dengan kepanikan, tentu saja. Saya memintanya membawakan paspor yang tertinggal itu ke bandara sambil menjanjikannya hal-hal yang manisnya luar biasa supaya kawan saya itu tergoda untuk mengasihani kami. Tetapi, semua rencana tidak berjalan dengan lancar. Langkah kaki kami lebih cepat sampai ke depan counter check-in daripada kayuhan sepeda kawan saya itu menuju stasiun kereta terdekat. Kami berkalkulasi tanpa membuka kalkulator. Jika kami menunggu kawan yang membawa paspor, tak akan terkejar. Terlalu tipis dan riskan. Maka, saya beranikan diri untuk berdebat di counter. Tentu, bukan debat politisi yang asal goblek. Setidaknya, saya googling dulu sebelum berdebat supaya tak tampak bodoh-bodoh sekali.

 

Saya membuka dompet. Di sana bersemayam ‘verblijfstitel’ dengan manis, kartu identitas serupa eKTP. Setelah mencari-cari data dan fakta untuk berdebat, saya sampai pada keyakinan bahwa kartu identitas kami itu cukup untuk membuat kami aman berkeliling Eropa, kecuali Inggris yang kadung emosi tak sudi bersanding lagi dengan yang lain dan memilih bercerai dengan Uni Eropa. Talak tiga. Kartu identitas kami itu juga sudah dilengkapi data dan barcode. Jadi seharusnya beda dengan e-KTP yang masih saja membuat petugas PTSP bertanya bertubi-tubi, “Sampeyan tinggal di mana?, kerjanya apa?, tanggal lahirnya kapan?, ini anak Sampeyan?”. Pedih, padahal mestinya petugas kelurahan tinggal intip di komputer. eKTP dan petugas kelurahan, kecamatan, dan kepolisian itu semestinya harus mampu mengalahkan agen kartu kredit bank yang sigap bertanya, “Benar dengan Bapak Ahmad Fuady di 085280xxxxx, tinggal di jalan Cendana samping rumah Pak Harto yang lama, saat ini Bapak terdaftar sebagai tukang ngeridit di bank kami yang mandiri berkat nabung-nya Bapak, dan Bapak pasti suka nonton bola ya, ya kaaan?” Tapi, ya sudahlah. Negeri saya yang satu itu memang mungkin perlu di-rukyah massal agar hal-hal sederhana bisa tetap dikelola dengan sederhana dan bukan malah dipersulit.

 

Benar saja. Setelah argumentasi saya lancarkan dengan cukup meyakinkan, mbak-mbak pelayan check-in itu pun bersedia berkonsultasi dengan atasannya. Hasilnya, kami diperkenankan bepergian ke Denmark hanya dengan ‘verblijfstitel’ itu. Ya, meskipun si mbak masih saja nampak ragu dan terus menawarkan untuk menunggu kawan saya sampai hingga detik terakhir sebelum dipanggil. Tetapi, kami tak ragu. Niat sudah bulat. Badai dan petir pun akan kami terjang. Jadwal terbang sudah semakin mepet. Saya pun menelepon balik kawan saya dan membatalkan permintaan saya yang tadi membuatnya terengah-engah mengayuh sepeda.

 

Berjalanlah kami campur berlari. Beuh… Kami lupa bahwa ada pemeriksaan keamanan dengan tetek bengek buka ikat pinggang, jas, dan mengeluarkan laptop yang seringkali membuat natrean mengulkar panjang. Kali itu, antrean bukan hanya panjang mengular seperti ular naga, tetapi seperti antrean sembako di operasi pasar. Maka, Candaan Tuhan #2 muncul. Stroller berisi anak lelaki kami yang saya dorong-dorong itu dilirik salah satu petugas. Kami diberi akses langsung tanpa antrean. Semua orang melirik kami. Mungkin mereka langsung berpikir betapa enaknya punya anak kecil ke bandara sambil mendorong-dorong stroller daripada menjadi orang dewasa yang betisnya dipakai berd CandaaNya itu membuat kami berhemat 15-20 menit dan sampai di Gate tepat sebelum dibuka. Dan saat Gate dibuka, sengaja saya maju dengan stroller dan berharap Candaan Tuhan #2 masih berlaku. Dan, benar. Masuklah duluan kami tanpa antre panjang.

 

Contoh ‘verblijfstitel’ atau kartu identitas yang bentuknya sama di seluruh Eropa.

 

Mendarat di Kopenhagen, setengah jalan sudah terlampaui. Tidak ada masalah dengan petugas di sana yang dengan mudahnya memberikan akses tanpa meminta paspor. Cukup senyum. Dari bandara, kami harus menumpang kereta menuju Malmo, Swedia yang diperkirakan sekitar 30 menit lamanya. Loh kok, Malmo? Ya, Malmo. Istri yang kakak kelas istri saya itu tinggal di Malmo bersama keluarganya. Meski berbeda negara, Malmo dan Kopenhagen hanya berjarak setengah jam dengan kereta. Tidak jauh. Ongkos keretanya pun lebih murah jika dibandingkan dengan penginapan di Kopenhagen.

 

Apa yang terjadi setelah fase hijrah ke Kopenhagen?

(Go to Page 2)

 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan