Tuhan Maha Bercanda

18 mins read

Perjalanan Kopenhagen-Malmo inilah yang selalu membuat dada kami dagdigdug. Kereta akan melintasi jembatan yang menyeberangi selat Oresund yang berarti pula kami melintasi perbatasan negara.

 

Malam itu kereta penuh. Mungkin karena Jumat malam, akhir pekan. Saya berdiri tak kebagian tempat duduk. Istri saya duduk sambil memangku si kecil. Pemandangan? Selain gelap, tak ada juga yang bisa dilihat jika kereta penuh seperti Commuter Line Depok-Tanah Abang setiap subuh buta. Di stasiun pertama setelah melintasi selat, kereta berhenti lama. Lama sekali, bahkan, untuk ukuran perhentian stasiun. Perlahan-lahan kami tahu sebabnya. Petugas dengan beberapa anjing galaknya wara-wiri meminta paspor. Saya melihat satu lelaki digelandang keluar petugas. Saya pun mulai ketar-ketir, jangan-jangan sebentar lagi kami yang digelandang keluar. Seorang petugas perempuan kemudian menghampiri saya, berbicara dengan bahasa yang tidak saya mengerti, barangkali bahasa Swedia. Ia menodong paspor saya yang tertinggal itu.

 

Saya tentu saja sigap. Bukan hanya mengeluarkan ‘verblijfstitel’, tapi semua surat yang menerangkan bahwa kami akan pergi ke konferensi, bukan imigran gelap, apalagi teroris. Tetapi, ternyata itu tidak membuatnya puas. Kami berdebat cukup panjang. Saya membuka-buka lagi HP dengan semua data penunjang yang sudah saya siapkan. Tetapi, si petugas perempuan itu berkeras bahwa ‘verblijfstitel’ saya itu tidak laku. Saya juga berkeras bahwa ini sudah cukup menunjukkan identitas dari mana saya berasal. Di situlah saya menghayati sedalam-dalamnya peran petugas keamanan, hansip, satpam, dan sipir penjara. Selain anjing penjaga, mereka memang yang teriaknya paling lantang dan kadang tidak mau mengerti substansi. Bukan cuma anti-sogok, tapi kakunya bukan main. Mirip-mirip petugas PTSP yang bekerja sesuai ceklis. Syariatku adalah ceklis. Tidak lengkap? Pulang!

 

Maka, saya membuka-buka HP dan menunjukkan halaman web milik uni-eropa tentang bolehnya saya bepergian keliling Eropa hanya dengan ‘verblijfstitel’. Dia berkonsultasi dengan petugas lain, dan menyerah. Tapi, ada syaratnya: “Kali ini saya maafkan. Besok kamu harus bawa paspor.” Dan ia menghilang, persis seperti Mak Lampir yang kalah dari Kiai Jabad di drama Misteri Gunung Merapi setiap kali habis berkelahi. Kereta mulai berjalan pelan. Saat saya menghela nafas panjang, saya lihat sekeliling. Semua orang menatap saya. Mungkin sekaligus menggerutu karena saya membuat mereka terlambat sepuluh menit.

 

Sampailah kami di Malmo dan bertemu keluarga yang baik hati meskipun baru berkomunikasi lewat email dan whatsapp. Karena kami akan melintasi perbatasan selama tiga hari ke depan, besok paginya kami mencari kantor polisi terdekat yang sayangnya tak membantu sedikitpun meskipun hanya untuk membuat ‘surat keterangan ketinggalan’. Di sinilah saya merindukan Indonesia. ‘Surat Keterangan Hilang’ dari polisi cukup mengisi formulir, dicap, dan membayar ‘infaq’ ala kadarnya. Jadi! Kalau Anda beruntung, Anda masih bisa mendengar bunyi tek-tek-tek-tek-cekreeeeeek dari mesin tik jadul yang makin ke sini makin hilang dari peredaran. Akhirnya, satu-satunya jalan adalah meminta pertolongan dari KBRI. Meskipun kami di Swedia, jarak ke KBRI di Kopenhagen lebih manusiawi ketimbang ke Stockholm.

 

Jembatan yang melintasi selat Oresund dan sudah tak membuat kami berbinar-binar setiap kali melewatinya.

 

Tuhan Bercanda lagi di #3 dengan membuat saya mengingat kontak lama di KBRI Kopenhagen. Dulu, saya pernah meminta kontaknya untuk sekadar mencari info tumpangan rumah. Karena tidak bisa menumpang, saya nyaris melupakannya sebelum diingatkan Tuhan untuk melanjutkan niat silaturrahim itu.

 

Berbekal skill menulis surat sejak jadi sekretaris OSIS di SMP, saya membuatkan draft ke email pejabat KBRI itu untuk ditandatangani. Approved! “Sebelum jam 2 ya, karena kami saya mesti ada acara lagi,” katanya. Kami berangkat dengan modal GPS dan sambungan data roaming untuk mencari KBRI. Karena saya belum tahu bagaimana mengaktifkan paket data seluler yang hemat untuk dipakai di Eropa, internet di HP saya byar-pet. Mencari kantor kedutaan ternyata tak semudah bayangan kami. Akhirnya, saya mencoba mencari sinyal wifi gratisan, screenshot google map, dan berjalan sesuai apa yang saya yakini. Untunglah, dulu pernah ikut Pramnuka dengan pelajaran peta butanya. Urusan google map tanpa GPS dan internet tak ada apa-apanya. Alhamdulillah wisma kedutaan besar itu kami temukan di injury time, hampir peluit wasit berbunyi panjang.

 

Surat sudah siap diambil, tapi kami diajak duduk-duduk sebentar sambil mendengar cerita horor. Pertama, rombongan duta besar RI untuk Belanda juga pernah dicegat di perbatasan, dan salah satu anggota rombongan tidak diijinkan masuk ke Swedia karena perkara yang sama dengan kami. Ada penekanan: itu padahal satu rombongan dengan dubes loh… Saya menelan ludah dan garuk-garuk kepala. Kedua, ketiga, dan cerita-cerita selanjutnya tidak begitu saya dengar karena konsentrasi saya rusak. Tapi, semua berkisar tentang turis Indonesia yang diperas kriminil dan dicopet hingga uangnya habis dan menginap di KBRI. Saya nyengir saja sampai tak nafsu lagi meskipun ditawari makan Indomie yang harumnya menyeruak memanggil-manggil hidung saya dari dapur.

 

Saya memasukkan surat sakti itu ke dalam tas. Setiap kali kami naik kereta dari Kopenhagen ke Malmo, saya mengeluarkannya dari tas. Ya, hanya dari Kopenghagen ke Malmo. Hanya ke Swedia yang rese ada pemeriksaan, sedangkan menuju Denmark tak pernah ada pemeriksaan di perbatasan. Santai kayak di pantai.

 

Hari pertama konferensi, tidak ada pemeriksaan perbatasan.

 

Hari kedua, tidak ada pemeriksaan. Padahal, saya menunggu-nunggu si petugas perempuan itu datang lagi dan menanyakan paspor saya.

 

Hari ketiga, lagi-lagi tidak ada pemeriksaan di perbatasan.

 

Hampir saja kami bilang, “Hah, kalau tahu begini, buat apa repot-repot ke sana ke mari minta surat. Habis ongkos, hilang tenaga.

 

“Biarkan saja Tuhan yang atur” adalah tips paling mujarab untuk tetap bahagia

 

Tapi, saya lantas memilih tertawa geli sendirian. Saya hanya menduga mungkin Tuhan sedang tersenyum-senyum geli juga melihat kami sambil bercanda, “Kamu pikir sing ngatur uripmu kamu sendiri, Le?” Ini Canda Tuhan #4. Pamungkas.

 

Kami belajar banyak. Semuanya toh sudah diaturNya. Yang membedakan hanya nilai ikhtiarnya. Maka, saya tak sungkan menyebutNya MahaCanda.

 

Rotterdam, Maret 2017. Diperbarui April 2021.

 

[1] Maksudnya lafazh ijab qabul: qabiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa. Saya terima nikahnya dan kawinnya…

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan