Berburu Profesor: Belajar Cas-Cis-Cus!

10 mins read

Sebelum saya bercerita tentang buru-memburu profesor, saya membuka-buka masa kecil saya di masa lalu. Saya mengingat-ingat, saya bukan anak kecil yang ambisius. Hidup berjalan apa adanya saja. Saya melihat Ayah dan mengira-ngira bahwa saya juga akan sepertinya di masa depan. Berdiri di depan kelas untuk mengajar atau di atas podium untuk berceramah. Tidak lebih.

Maka, ketika Ayah menyuruh saya ikut les bahasa Inggris dua kali sepekan di sore hari, saya tak berniat dengan sungguh-sungguh. Gurunya adalah K.H. Balya Isa (semoga Allah sembuhkan penyakitnya—mohon doa beliau tengah dirawat di rumah sakit ketika tulisan ini diketik) di sebuah taman kanak-kanak yang diubah menjadi tempat les bahasa Inggris setiap siang hingga sore. Bayangkan kami yang sudah kelas 5-6 SD harus duduk di bangku-bangku anak TK yang mungil. Dengkul kami yang belum ditutup sempurna karena anak-anak SD masa itu masih bercelana pendek harus mentok-mentok ke meja-meja mungil yang dengan mudah dapat tergeser dari tempatnya semula.

Tetapi, di situlah juga letak serunya. Kapan lagi bisa duduk di bangku TK? Dulu, saya tidak melewati fase TK, tetapi langsung masuk kelas tahdiri di madrasah ibtidaiyah. Meski halaman sekolah besar, tidak ada tempat bermain kanan-kanak yang asyik. Hanya ada satu perosotan—yang jika waktu istirahat tiba pastilah anak-anak dari beragam kelas berebutan sambil mengunyah cemilan mereka yang dibeli di depan dan belakang sekolah. Tidak ada mainan berputar. Tidak ada jungkat-jungkit. Tidak ada yang berwarna-warni.

Tahdiri itu dalam konsep inisialnya adalah attending, hadir. (Baca juga tulisan tentang Birru yang sekolah ‘Tahdiri’ di sini) Peran dari kelas itu adalah menghadirkan siswa agar mereka terpapar tentang apa itu ‘sekolah’, melihat aktivitas kakak-kakak kelasnya, sehingga mereka mengenal dan mempersiapkan diri. Maka, kelas persiapan bernama tahdiri itu memang semestinya berada di dalam sekolah dasar, tidak terpisah. Bukan seperti sekarang yang siswanya terpisah dalam satu TK sebelum masuk SD, dan masuk SD pun berebutan—tak kalah sesaknya dengan perburuan mencari kampus. Anak-anak sekarang—betapapun modern-nya orangtua mereka—seringkali kebingungan karena ada keterpisahan sistem pendidikan dari TK dan SD. Mereka juga semestinya tidak diberi tugas dan tidak dibebani persyaratan ujian masuk karena di kelas tahdiri itulah mereka belajar. Namun, konsep itu entah hilang ke mana. Raib. Makin modern manusia Indonesia, masuk sekolah SD pun semakin kompleks karena anak-anak itu sudah terlebih dahulu harus bisa ini-itu, sudah mampu membaca ono-unu, sudah jago berhitung satu-satu-dua-dua.

Saya menyadari bahwa saya memang tak pernah bersemangat belajar bahasa Inggris. Lebih senang menghabiskan waktu bermain sepakbola, kelereng, petak umpet, atau tendang kaleng—permainan semacam petak umpet, tetapi penjaganya harus merawat kaleng-kaleng yang ditumpuk agar tidak ditendang pemain lain yang bertugas bersembunyi.

 

Permainan tendang kaleng. Foto dari: https://id.pinterest.com/pin/615374736566345421/

 

Suatu sore saya pulang ke rumah dengan kaki terpincang. Mami—ibu saya—melihat jam dinding. “Nggak les?” Lalu, dilihatnya kaki yang saya ayun terpincang-pincang. “Hmm, makanya kalau disuruh les, pergi les.” Kualat. Memang, jangan sekali-kali berupaya menentang anjuran orangtua. Kisah Malin Kundang itu diciptakan bukan sekadar menjadi cerita menjelang tidur yang kemudian dilupakan dan ditertawakan oleh orang modern, tetapi menjadi pengingat betapa bahayanya melupakan nasihat, apalagi personalita orang tua. Untung hanya kaki saya yang pincang, bukan dikutuk menjadi batu atau patung. Betapa sialnya jika menjadi batu dan patung, saya tak akan jadi simbol apa-apa. Tidak akan jadi tempat pariwisata atau diletakkan di jalan-jalan protokol. Siapa saya? Untuk menjadi yang simbol besar yang diabadikan manusia, pilihannya hanya dua: menjadi sebaik-baiknya orang yang disebut para manusia sebagai ‘pahlawan‘ atau menjadi seburuk-buruknya orang yang dijadikan bahan pelajaran bagi umat manusia. Saya hanya remahan rengginang di antara kedua itu. Lagipula, Malin Kundang itu setidaknya kaya. Hartanya banyak. Sehingga kalaupun ia sombong, masih ada tempatnya. Lah saya, anak kecil yang bahasa Inggris saja belum becus dan lebih doyan main sepakbola. Itu pun lebih sering kalah ketimbang menang.

Tuhan bisa saja membiarkan kedurhakaan tak berbalas hari itu juga. Di-pending. Kapan-kapan saja. Di-pur. Diulur. Tetapi, kali itu saya dipilihNya untuk mendapat bayaran kontan. Kaki saya yang pincang itu bayaran tunai tanpa kredit atas ketidakpatuhan saya pada arahan orangtua. Saya meringis sendiri sambil menyimpan memori yang tak pernah berani saya ungkapkan kepada orangtua bahwa saya memang bersembunyi ketika jam les tiba, lalu memilih melanjutkan main bola sampai sore. Dasar anak kecil!

Keputusan masa kecil saya itu kemudian saya sesali nyaris seumur hidup. Bahasa Inggris saya kacau, tak bagus-bagus. Di kertas ujian, nilai saya boleh saja tinggi. Tetapi, saya mati kutu jika harus mendengar lagu berbahasa Inggris, menonton film tanpa terjemahan, sesi listening (mendengar), apalagi debat bahasa Inggris. Saya melipir ke pinggir laut. Pasang bendera putih sebelum bertarung. Melihat kawan-kawan ber-cas-cis-cus ala Anak Jaksel, saya juga minggir. Bahkan, sampai sekarang, saya masih sering ditertawai istri sendiri karena pronounciation yang ngawur.

Walhasil, sampai saya dewasa dan lulus kuliah, saya nyaris tak pernah terlihat mempraktikkan bahasa Inggris saya di rumah. Maka, ketika saya pertama kali mendapatkan beasiswa kursus musim panas ke Belanda selepas kuliah saya selesai, yang pertama berdebar-debar dadanya adalah orangtua saya sendiri. Ayah: yang dulu menyuruh saya les bahasa Inggris. Ayah tak pernah melihat saya berbicara bahasa asing. Tidak Inggris, tidak pula Arab, apalagi Belanda. Ayah pula yang sempat jatuh sakit memikirkan saya—anak lelaki bungsunya yang keras kepala—pergi naik pesawat sendirian untuk pertama kalinya. Jauh pula.

Sebelum kepergian saya ke Belanda itu, demi meyakinkan bahwa saya memang akan baik-baik saja, saya mendaftar kursus bahasa Inggris. Setiap Sabtu di sebuah kelas di tengah-tengah Salemba. Isinya adalah anak-anak muda yang belajar kepada dua guru perempuan sambil membuka-buka diktat tebal yang berisi panduan menggunakan grammar dan soal-soal. Tujuan utamanya: lulus tes TOEFL. Setidaknya, itu yang dibutuhkan untuk melamar beasiswa dan pergi belajar keluar negeri. Tak ada banyak percakapan berbhasa Inggris. Kami—seperti sekolah di masa-masa SD hingga SMP—adalah manusia yang diproduksi untuk menjawab soal ujian. Sial. Dan karena riwayat proses produksi itulah, di ujung kursus yang berbulan-bulan itu, saya pergi mengikuti tes TOEFL dan mendapatkan hasil berguru.

 

Perbandingan TOEFL paper based dan TOEFL IBT dan IELTS (yang ada ujian speaking dan writing-nya). Tebak saja kira-kira yang saya maksud ‘cihuy’ itu berapa skornya 🙂

 

TOEFL jaman dahulu hanya paper-based. Tidak ada speaking. Tidak ada writing. Padahal, keduanya penting sekali. Bukan sekadar untuk mendapatkan beasiswa. Bahasa Inggris—dengan semua varian skill-nya—penting untuk kehidupan umat manusia hari ini. Reading-nya untuk memahami bacaan di internet dan tidak minder jika gebetan ternyata suka baca-baca berita dari Vox, BBC, atau Guardian. Listening-nya membantu kita ikut asyik mendengar lagu Barat, bisa ikut Smule dan tidak hanya memilih track dangdutan koplo, sok-sokan nonton tayangan Netflix tanpa subtitle bahasa Indonesia, atau ikutan misuh-misuh ketika menyimak YouTube para gamer luar negeri yang entah kenapa mesti berisik seolah komentator sepakbola padahal yang dimainkannya cuma Minecraft!

Upaya meyakinkan orangtua dengan lembar nilai TOEFL yang cihuy agaknya berhasil. Tidak bisa itu wajar dan manusiawi. Yang penting kerja keras dan ingat mati, Bro! Tetapi, hasil yang cihuy itu tidak menguatkan keyakinan di dalam diri saya sendiri yang masih sebenarnya masih bingung bagaimana berbincang dengan orang lain nanti di luar negeri sana.

Saya sudah berusaha meyakinkan Ayah bahwa semua akan baik-baik saja. Saya bercerita apa yang akan saya lakukan di Belanda kala itu. “Tiga minggu di Rotterdam. Kursus,” kata saya. “Tiga minggu lagi ke Nijmegen. Menyusun proposal dan mencari profesor.” Ya, saya mencari profesor untuk pertama kalinya kali itu. Start yang getir dalam perjalanan panjang enam tahun berburu profesor.

Bagaimana Berburu Profesor?

Bersambung di cerita berikutnya ya!

 

Gambar fitur diambil dari: http://www.macpherson-institute.de/MLISolutions/learn-english-at-home/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan