/

BERKAWAN DENGAN KEMISKINAN (?)

3 mins read

Margareth Chan, Direktur Jenderal WHO, mengutip gambar kartun ini dalam sebuah pidatonya yang dipublikasi ulang di The Milbank Quarterly (http://onlinelibrary.wiley.com/…/10.11…/1468-0009.12238/epdf). Tentu, kartun ini adalah sarkasme simpulan beragam bukti ilmiah yang menunjukkan adanya tren peningkatan insidens diabetes mellitus (DM) atau penyakit gula yang berkorelasi dengan meningkatnya kemampuan finansial masyarakat. Tiongkok salah satunya, kemudian Amerika dan Indonesia, yang menghadapi ancaman DM masa depan dengan semakin banyaknya anak-anak yang mengalami obesitas sejak dini.

Apakah benar obesitas makin marak karena masyarakat semakin kaya? Barangkali iya, mungkin juga tidak. Salah satu faktornya adalah semakin terjangkaunya makanan dan minuman berkalori tinggi di tengah anak-anak. Mereka bisa menggerek tangan orangtuanya ke gerai makanan cepat saji yang jaraknya berhimpit-himpitan. Beberapa dekade lalu, gerai makanan cepat saji adalah penanda kelas ekonomi masyarakat karena jumlahnya yang terbatas dan hanya dijangkau oleh menengah ke atas. Sekarang? Anda bisa beli satu paket murah full kalori hanya dengan uang di bawah 20 ribu. Bahkan, Anda bisa menikmatinya di rumah sakit: menjadi tempat membibit risiko untuk kembali lagi ke tempat itu bertahun-tahun kemudian sebagai pasien. Sick!

Tentu, bukan hanya makanannya, tetapi juga minumannya. Intensi mereka semakin bergairah ketika gerai-gerai tersebut menawarkan hadiah mainan dari film anak-anak terbaru, ditambah keyakinan sebagian orangtua tentang betapa bergengsinya jika ulangtahun anak-anaknya dirayakan di ruang gerai tersebut, lengkap dengan badut dan paket ekonomisnya.

Maka, salah satu rekomendasi WHO adalah meminta pemerintah menaikkan pajak setidaknya 20% dari harga semula. Ya, karena WHO mungkin belum pernah masuk gang-gang kecil di padatnya Jakarta dan Surabaya.

Tidak selamanya anak-anak yang obesitas semata karena minuman dari gerai-gerai yang terdaftar secara resmi. Justru banyak minuman berkalori tinggi yang dijual di warung-warung dengan harga murah, beberapa tidak terdaftar, dan terjangkau oleh hampir semua kelas. Siapa yang bertanggungjawab?

Dalam konteks epidemi global –dengan analisis statistik tertentu, kemiskinan adalah dua rupa wajah. Ia penyebab bagi banyaknya penyakit dan keparahan fisik dan finansial yang tak berujung. Ia juga adalah peredam dari kemunculan penyakit non-infeksi yang menjadi tren belakangan.

Tapi, tentulah bukan miskin atau tidak miskin yang jadi determinan utama. Serupa dengan keimanan, bukan lapang dan sempitnya rizki yang menjadi penanda. Keduanya adalah ujian; sedangkan syukur dan sabar adalah marka siapa saja yang berhasil menemui Tuhan dengan Cinta.

Kalau syukur dan sabar itu dianggap semata domain masjid dan mushalla, tak akan habis perkara buruk dunia ini. Syukur dan sabar itu juga harus keluar dalam kebijakan yang tidak melulu Anda timpakan kepada pemerintah, tetapi Anda praktikkan dalam skala paling kecil di rumah tangga Anda. Jaga makanan dan minuman anak-anak Anda dan pastikan mereka mendapat porsi terbaik dari kasih sayang Anda. Itu bagian dari sembah takwa. Menjaganya di dunia, merawatnya untuk akhirat.

Rotterdam, April 2017

 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan