/

Covid-19 Menjelang Ramadhan: Lockdown?

13 mins read

Pemerintah Indonesia terus berjibaku menekan penyebaran wabah Covid-19. Waktu terus melaju dan Ramadhan sudah menjelang di hadapan. Banyak pertanyaan besar yang berkelindan di tengah wabah yang mendera. Akankah ritual semasa Ramadhan memperburuk kondisi wabah? Mampukah pemerintah menyelesaikan persoalan wabah ini sebelum Ramadhan? Dan apakah Ramadhan dan lebaran tahun ini akan berbeda sama sekali dibandingkan yang biasa dilalui?

Semua pertanyaan itu penting untuk diantisipasi dari sekarang mengingat Ramadhan dan lebaran adalah kultur yang mendarah daging pada masyarakat Indonesia. Akan ada festival besar, kerumunan kegiatan ritual, perjamuan sosial bersama kerabat dan sahabat, dan diakhiri dengan arus mudik dan balik. Semuanya adalah kerumunan yang dalam kaidah epidemiologi penyakit infeksi justru harus dihindari.

Covid-19 sendiri adalah antitesa dari kegiatan ritual berkelompok. Ia dan Ramadhan seperti ancaman bermata dua. Di satu sisi, kegiatan ritual berkelompok di bulan Ramadhan menjadi medium potensial bagi penyebaran virus SARS-Cov2. Di sisi lain, menghambat kegiatan ritual demi mencegah wabah juga berpotensi dihadang penolakan, bahkan perpecahan pendapat yang lebih besar. Apalagi, himbauan untuk bekerja di rumah dan beribadah di rumah hingga saat ini masih kerap diabaikan.

Ada dua pilihan utama yang dapat diambil pemerintah. Pertama, lakukan kuncitara (lockdown) paripurna pada daerah episentrum wabah. Strategi ini membutuhkan bantuan dari tentara, kepolisian, dan sukarelawan. Layanan kesehatan ditambah secara ekstrim. Tenaga kesehatan diimpor dari daerah lain untuk memastikan mereka tidak kelelahan sambil mempersiapkan rumah singgah yang layak bagi tenaga kesehatan yang bekerja, apalagi jika pintu masuk dan keluar Jakarta ditutup. Tenaga kesehatan yang bekerja di Jakarta justru banyak yang tinggal di luar Jakarta dan berkomuter dari daerah satelit. Pastikan pula bahwa perlengkapan medis dan alat pelindung diri mencukupi untuk memastikan keamanan mereka. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menunjukkan kemajuan pesat dengan menyediakan wisma singgah bagi tenaga kesehatan, lengkap dengan kecukupan makan. Tapi, itu sebatas mereka yang bekerja di bawah naungan pemerintah provinsi, dan masih perlu terobosan untuk meluaskan objek kepada mereka yang bekerja di bawah naungan Kementerian Kesehatan dan swasta.

Namun demikian, strategi kuncitara paripurna ini tidak serta merta dapat berhasil. Cina, yang melakukan kuncitara secara tegas dan cenderung brutal, baru mampu menghentikan laju transmisi lokal dua bulan setelahnya. Italia, yang berharap mendapatkan hasil penekanan laju transmisi di akhir pekan kedua dan ketiga, justru memperlihatkan angka positif yang makin tinggi. Ini sama sekali tidak mudah. Beberapa asumsi modeling yang dilakukan secara independen oleh banyak ilmuwan Indonesia pun menunjukkan bahwa transmisi Covid-19 baru akan mencapai puncaknya di bulan Ramadhan. Seperti halnya saat menutup kota, membuka kota pun tidak dapat serta merta dilakukan secara mendadak, apalagi di masa Ramadhan.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menguncitara paripurna? Satu pekan, dua pekan? Tidak ada yang tahu. Perlu ada evaluasi berkesinambungan setiap saat untuk mengukur capaian dari target yang diharapkan. Efeknya yang paling niscaya adalah masyarakat tidak dapat menikmati bulan Ramadhan dan lebaran tahun ini sebagaimana mereka menikmatinya di tahun-tahun lampau.

Mungkinkah ini diambil? Reaksi penolakan adalah reaksi yang paling mungkin muncul.

Masyarakat memercayai bahwa Ramadhan adalah bulan kebaikan dengan limpahan berkat dan pahala. Bahkan, Ramadhan mungkin dianggap sebagai titik balik dalam menghadapi wabah ketika kondisi spiritual semestinya mengalami tren menanjak. Wabah ini, seberapapun hebatnya penjelasan ilmiah, tidak dapat lepas dari kehendak Tuhan, dan kepada Tuhan-lah permohonan dipanjatkan agar dengan kehendakNya pulalah wabah menghilang.

Tetapi, sejarah juga mencatat peristiwa ‘Black Death’ berabad silam. Ketika wabah cacar melanda sebagian dunia di abad ke-14, banyak orang di masa itu yang meyakini bahwa cara terbaik memukul balik wabah tersebut adalah dengan menyelenggarakan ritual bersama dan doa-doa massal. Ternyata, yang terjadi justru sebaliknya. Dari kerumunan sembahyang massal itu, infeksi malah menyebar semakin tak terkendali. Penyebabnya tidak lain adalah transmisi yang dipermudah oleh bentukan kerumunan yang diorganisir.

Teks lain dalam sejarah Islam juga mencatat hal serupa. Beragam fatwa yang muncul di hari-hari belakangan mengutipnya sebagai sandaran pendapat untuk tidak berkerumun dalam ibadah sementara waktu. Namun, tidak semua orang dan kelompok menyepakatinya. Lembaga keagamaan, terlepas dari upaya keras mereka menyebarluaskan fatwanya, seperti kehilangan otoritas atas masyarakat yang terlampau majemuk. Pemerintah pun tak menunjukkan hendaya yang lebih kuat dari sekadar memberikan ‘himbauan’, bukan perintah.

Melihat kondisi ini, pilihan untuk melakukan kuncitara paripurna – dalam istilah apapun ia disebut – nampaknya sulit diambil. Selain beban ekonomi yang akan mendera, beban sosial juga sulit dihindari. Kesadaran dan ketaatan masyarakat pun masih rendah. Bila Presiden tidak mampu memberikan arahan dan perintah yang tegas, sekadar menghimbau tanpa ada strategi kuat untuk mendisiplinkan masyarakat, dan tidak menunjukkan ke arah mana strategi jangka panjang akan dijalankan, kuncitara hanya akan menjadi slogan semu.

Selain itu, kuncitara dapat menjadi persoalan tersendiri jika tidak dilakukan secara komprehensif. Model prediksi yang selama ini dimunculkan seringkali hanya menampilkan satu puncak kurva ‘cantik’ dengan beragam asumsi skenarionya. Padahal, melakukan kuncitara juga berpotensi memunculkan kurva berikutnya, ‘the second outbreak wave’, yang mungkin sama beratnya atau bahkan lebih buruk. Mengapa demikian?

kurva
Gambar. Kurva prediksi beban epidemi dalam tiga scenario: (1) jika tidak ada intervensi apapun dari pemerintah, ditinjukkan garis merah, (2) jika intervensi dilakukan dalam strategi control maksimal tanpa kuncitara paripurna (full lockdown), ditunjukkan garis hijau, dan (3) jika intervensi kuncitara paripurna dilakukan, ditunjukkan garis biru. Gambar diadaptasi dari RIVM, The Netherlands (2020).

Garis merah pada gambar di atas menunjukkan beban epidemi jika tidak ada upaya apapun yang dilakukan pemerintah. Tentu ini bukan asumsi dasar yang digunakan saat ini karena pemerintah telah melakukan beberapa hal – untuk tidak menyebutkannya sedikit, tapi tidak adekuat pula. Garis biru adalah asumsi kurva jika dilakukan kuncitara paripurna.

Saat kuncitara paripurna dilakukan dan ruang gerak dibatasi secara ketat, laju penyebaran infeksi dapat ditekan secara maksimal di awal. Puncak kurva terhenti, menukik ke bawah. Namun, masih banyak orang yang belum terinfeksi dan berpotensi terinfeksi di kemudian hari ketika kuncitara telah dibuka. Ini dengan asumsi bahwa mereka yang tidak terinfeksi saat ini tidak mendapatkan antibodi protektif dan belum ada vaksin yang dapat menurunkan risiko infeksi. Tanpa mengetahui besaran masalah dan sebaran infeksi yang ada, dengan ketidakjelasan data, potensi ini sulit dikendalikan. Apalagi, jika kuncitara dilakukan secara fragmentatif di satu wilayah saja. Ketika kuncitara dibuka, ada aliran populasi yang masuk-keluar kembali yang memungkinkan potensi outbreak kedua muncul. Kurva biru berpotensi meningkat lagi, membuat puncak barunya.

Tentu simulasi kurva ini juga terlalu ‘cantik’ dengan asumsi yang ideal pada satu daerah yang dilakukan kuncitara. Dalam kondisi faktualnya, dengan strategi kuncitara yang fragmentatif dan perspektif nasional, kurva itu mungkin saja menanjak terus dan memanjang. Maka, penting sekali bagi pemerintah pusat untuk menilai apakah wilayah di Indonesia ini dapat dibagi menjadi beberapa ‘cluster’ (daerah) dan ‘supercluster’ (daerah dengan beban infeksi tinggi) sehingga prediksi dapat dibuat lebih tepat.

Apakah ada pilihan kedua? Bisa jadi.

Pilihan kedua itu adalah semi-kuncitara, dengan menyadari bahwa wabah ini memiliki konsekuensi jangka panjang. Wabah mungkin tidak akan selesai di akhir Mei, bahkan sangat mungkin memburuk di bulan Ramadhan. Pada masa itulah, semua sumberdaya layanan kesehatan, logistik, dan transportasi harus disiapkan. Mobilitas masyarakat akan tinggi menjelang lebaran, memudahkan transimisi antar provinsi dan persebaran penyakit ke seluruh wilayah.

Dengan skenario ini, wabah berpotensi memanjang hingga Agustus-Oktober, bahkan mungkin lebih daripada itu. Negara-negara di Eropa yang kini mejadi episentrum pandemic dunia mulai pesimis dengan memprediksi wabah dan mengatasi dampaknya membutuhkan waktu setidaknya enam bulan. Semua mulai memahami bahwa menghadapi pandemi ini bukanlah perang jangka pendek, tapi pertempuran maraton. Strategi harus dibuat dalam jangka panjang dan menyeluruh ke semua daerah, termasuk daerah yang sampai saat ini masih nihil kasus positif.

Apa yang harus dilakukan? Dua hal utama. Pertama, upaya untuk melandaikan kurva (flattening the curve) yang ditunjukkan garis hijau. Seluruh provinsi, kabupaten dan kota juga harus memulai strategi pengendalian transmisi infkesi di wilayahnya masing-masing, tetapiu tetap dalam komando pusat. Jangan dibiarkan pemerintah daerah bertindak masing-masing tanpa koordinasi karena hasilnya akan nihil. Kabupaten A boleh saja melakukan kuncitara yang dianggapnya paripurna. Tetapi, dengan mengabaikan bahwa Kabupaten B dan C di sebelahnya tidak melakukan strategi yang sama, atau setidaknya mendekati, kuncitara nyaris sia-sia. Ketika dibuka, potensi epidemi meningkat lagi sangat terbuka.

Pemerintah pusat harus membantu mengeluarkan panduan social distancing, mulai dari definisi tingkatan (rendah, sedang, tinggi), kriteria dan ambang batasnya (kapan dan mengapa), serta poin kunci penerapannya (siapa dan bagaimana). Jika satu daerah dianggap ‘merah’, seberapa jauh daerah di sekitarnya juga harus menerapkan tindakan yang sama. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah pun harus sinkron. Apa yang dianjurkan di tingkat pusat harus secara tegas dilanjutkan di tingkat daerah. Membatasi kegiatan ibadah juga harus secara konsisten diikuti dengan membatasi kegiatan di ruang publik. Jika tidak, upaya ini akan sia-sia.

Upaya kedua adalah menaikkan garis kapasitas layanan kesehatan (health system capacity). Petakan kapasitas kamar tidur, ruang ICU, ventilator, tenaga kesehatan, dan sistem kendali rujukan di setiap daerah, meskipun daerah tersebut masih minim kasus Covid-19. Alat pelindung diri bagi petugas kesehatan dipenuhi. Laboratorium dipersiapkan di beberapa provinsi tambahan. Pemetaan ini harus ditindaklanjuti secara sigap: kepada siapa permintaan bantuan harus disampaikan dan bagaimana cara memenuhinya.

Bukan hanya rumah sakit, layanan primer harus mulai diandalkan sebagai triage yang adekuat untuk memilah kasus Covid-19, tingkat keparahannya, dan tatalaksananya. Tidak semua kasus dan keluhan harus langsung datang ke rumah sakit, tetapi orang yang mengalami keluhan harus dapat mengakses layanan cepat dan tepat guna untuk difiltrasi apakah benar membutuhkan layanan terkait Covid-19 atau tidak. Ambulans disediakan dalam jumlah yang memadai dan terkoneksi antar rumah sakit dan pusat kendali di layanan primer.

Pemerintah harus menyadari dari sekarang bahwa kebutuhan logistik akan berat dalam beberapa bulan ke depan. Jika selama ini bulan Ramadhan dan lebaran menjadi periode kritis logistk dan melonjaknya harga, bukan tidak mungkin beban itu semakin berat pada tahun ini. Kebutuhan insentif untuk dunia usaha diperkirakan akan melonjak dari apa yang diperkirakan semula di awal. Pertumbuhan ekonomi akan melambat jauh lebih rendah dari yang semula diprediksi.

Dua pilihan skenario ini adalah keniscayaan, tanpa menutup kemungkinan skenario lain sebagai strategi anastomosis antara keduanya. Tapi, yang jelas harus dihadapi dan dipersiapkan oleh pemerintah bersama masyarakat adalah Ramadhan dan lebaran yang berbeda dan mungkin terasa ganjil. Komunikasi yang intensif dan terbuka adalah satu-satunya hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini. Masyarakat akkan menghadapi kelelahan yang panjang, dan itu harus diantisipasi dengan kepedulian pemerintah untuk tidak mengabaikan dan meremehkannya sekecil apapun.

*Ahmad Fuady

Pemerhati politik kesehatan

 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan