/

Kisruh Kelas Rumah Sakit

11 mins read
1

Setelah beberapa bulan beredar isu ‘pemanasan’ mengenai dihilangkannya kelas Rumah Sakit (RS), akhirnya Permenkes No 3 Tahun 2020 mengenai Klasifikasi dan Perizinan RS resmi ditandatangani pada 16 Januari 2020. Keluarnya Permenkes ini cukup mengejutkan karena belum sampai satu tahun lalu, pada Juli 2019, terjadi kekisruhan besar mengenai banyaknya RS yang mengalami penurunan kelas setelah pengkajian (review). Lewat surat HK.04.01/I/2963/2019 tentang Rekomendasi Penyesuaian Kelas RS Hasil Reviu Kelas RS, sebanyak 615 dari 2.170 RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dianggap tidak sesuai klasifikasi dan harus turun kelas. Bukan hanya RS meradang, beberapa bupati dan gubernur ikut melayangkan protes.

Apakah dua kejadian ini berkaitan?

Tidak ada informasi yang jelas untuk membuktikan keduanya berkaitan. Tetapi ada benang merah yang dapat diasumsikan antara keduanya, yaitu kebingungan untuk mengatur pembayaran layanan kesehatan RS di tengah himpitan defisit dana jaminan kesehatan. Alih-alih mengobati akar permasalahan kurangnya asupan dana, Kementerian Kesehatan dan RS sibuk mengutak-atik urusan teknis yang secara fragmentatif berdampak minimal.

Mengapa minimal? Mari kita lihat apa perubahan yang ditawarkan pada Permenkes ini secara cermat.

Perubahan utama – dan menjadi isu panas di khalayak umum – adalah perubahan metoda klasifikasi RS yang kini hanya berdasarkan jumlah tempat tidur. Sesungguhnya, tidak ada yang keliru dengan klasifikasi semacam ini karena tidak ada patokan spesifik mengenai bagaimana mengklasifikasi RS. Sebagian negara mengklasifikasinya berdasarkan fungsionalitas (umum-khusus), sebagian lain mengklasifiksinya berdasarkan ukuran (besar-sedang-kecil berdasarkan jumlah tempat tidur), regional (kota/kabupaten-provinsi-nasional), atau keterkaitan dengan pendidikan (akademik-pendidikan-umum). Silakan untuk memilih klasifikasi berdasarkan kriteria yang mana saja, termasuk jika Permenkes mutakhir ini memilih klasifikasi berdasarkan jumlah tempat tidur.

Permasalahannya adalah klasifikasi RS yang selama ini diterapkan di Indonesia berkaitan dengan sistem rujukan layanan kesehatan. Secara sederhana – dan naif, selama ini kasus medis dirujuk berjenjang dari RS kelas D ke C, ke B, lalu ke A. Dengan dibongkarnya klasifikasi lama dan hanya ada klasifikasi RS berdasarkan tempat tidur, apakah sistem rujukan ikut berubah? Jika iya, apa dasar dalam merujuk pasien dari satu pelayanan kesehatan ke pelayanan kesehatan lain?

Belum ada dokumen resmi yang keluar meski ‘konsep’ perubahan sistem rujukan ini juga telah beredar secara informal melalui pesan dan video berantai. Sistem rujukan itu konon – dan kelak – dinamakan rujukan berbasis kompetensi. Begitupun dengan sistem pembayaran yang juga – konon dan kelak – berubah menjadi sistem pembayaran ‘single price’.

Ada beberapa latar belakang yang memicu perubahan tiga hal utama ini.

Pertama, ada indikasi bahwa selama ini kasus medis pasien lebih banyak menumpuk di kelas C dan D. Sistem rujukan dilakukan secara terbatas – dalam bahasa BPJS Kesehatan disebut ‘Rujukan terkunci’ (istilah yang tak dikenal dalam peraturan sistem kesehatan Indonesia). PCare yang digunakan di pelayanan kesehatan tingkat pertama (FKTP) tidak dapat langsung merujuk pasien ke RS kelas B meskipun kebutuhan medis pasien memang hanya bisa ditangani di RS kelas B, bukan C atau D.

Dengan begitu, pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan subspesialis harus melewati jalan panjang dan berliku. Bukan ‘window shopping’, tapi terpaksa melalui rujukan tak berguna, diperiksa sana-sini, untuk kemudian dirujuk ke RS kelas berikutnya. Selain berdampak pada keterlambatan (delay) penanganan kasus medis, pasien dan keluarganya juga harus mengeluarkan uang lebih banyak yang seharusnya tak perlu mereka keluarkan. Bayangkan pula jika RS kelas B yang dituju sebenarnya hanya sepelemparan batu dari rumahnya, tetapi pasien harus memutar jauh ke RS kelas D dan C yang jauhnya sepuluh kali lipat.

Kedua, pada kenyataannya, kelas RS tidak menggambarkan kompetensi RS yang sebenarnya. Permenkes 56 Tahun 2014 hanya memberikan kriteria jumlah tenaga kesehatan minimal yang harus ada, tapi tidak ada kepastian mengenai jenis layanan subspesialis apa di dalamnya. Misalnya, RS kelas B harus memiliki minimal delapan dari 13 dokter spesialis ‘lain’, dan dipersilakan memilih apa delapan jenis layanan spesialis tersebut. Akibatnya, variasinya sangat lebar. Pasien yang membutuhkan layanan urologi, misalnya, tidak mendapatkanya jika RS kelas B tempat ia dirujuk ternyata hanya menyediakan layanan spesialis ‘lain’ berupa spesialis mata, THT, saraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, dan bedah syaraf. Sudah jauh dirujuk, ternyata tidak ada layanannya!

Ketiga, dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 16 provinsi yang memiliki minimal satu rumah sakit kelas A. Dua provinsi, yaitu Sulawesi Barat dan Papua Barat, bahkan tidak sakit memiliki RS kelas B. (Baca buku saya “Arsitektur Jaminan Kesehatan Indonesia”). Pemenuhan dokter spesialis tertentu, atau bahkan subspesialis, terkendala oleh aturan klasifikasi lama. Akibatnya, mandek!

rs tipe
Gambar 1. Jumlah dan sebaran RS di seluruh provinsi Indonesia. Sumber: Fuady A, Arsitektur Jaminan Kesehatan Indonesia, 2019.

Jadi, apakah munculnya Permenkes baru ini harus kita sambut dengan suka cita? Karena memerdekakan belenggu klasifikasi?

Nanti dulu. Kita telaah lagi.

Jika yang dimaksudkan perubahan klasifikasi RS ini untuk memudahkan rujukan, apakah tepat? Yang terjadi selama ini adalah sistem rujukan berjenjang yang diamanahkan Permenkes No 01 Tahun 2012 dilakukan secara rigid dan naif tanpa fleksibilitas. Sistem rujukan berdasarkan nilai manfaat (value-based referral) semestinya diberlakukan untuk membongkar kejumudan sistem rujukan berjenjang. Dalam ‘value based referral’ ini, rujukan tetap dilakukan secara berjenjang, namun memungkinkan potong jalur (trespassing) sesuai kebutuhan medis dan lintas regio jika terdapat layanan yang sama dan lebih dekat meskipun pada RS yang berbeda kelas. Tujuannya adalah responsivitas sistem.

Begitupun, selama ini tidak ada keterkaitan antara klasifikasi RS dengan sistem rujukan. Pada Permenkes mengenai klasifikasi, istilah yang digunakan adalah KELAS – yang dalam praktik kesehariannya juga disebut TIPE. Pada Permenkes mengenai rujukan, istilah yang digunakan adalah pelayanan kesehatan TINGKAT. Tidak ada jembatan istilah praktis antara kedua Permenkes ini. Apakah Kelas A serta merta adalah pelayanan kesehatan tingkat tersier? Ataukah pelayanan kesehatan tingkat tersier dapat dilakukan di RS kelas A, B, C, dan D sekaligus?

Kan, runyam. Pelik.

Sistem rujukan layanan kesehatan di dunia manapun menganut pola piramida. Jumlah kasus medis umum – secara empirik – pun lebih banyak. Semakin spesifik kasus medis, jumlahnya semakin sedikit. Dalam pola pembayaran pun, kasus spesifik mendapat bayaran lebih besar dibandingkan kasus umum (ingat KASUS-nya, bukan KELAS RS-nya). Dengan diubahnya klasifikasi RS, kita tidak memiliki lagi acuan tentang pelayanan kesehatan umum-spesifik ini.

rujukan
Gambar 2. Konsep rujukan dan pembayaran. Sumber: Sistem Rujukan Terintegrasi (Sisrute), Kemenkes, 2019

Baiklah, kita berprasangka baik bahwa BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan tengah menyiapkan Sistem Rujukan Terintegrasi (Sisrute). Dalam dokumen Sisrute pun, pola rujukan masih menganut piramida dari primer ke tersier (lihat Gambar 2). Integrasi ini menuntut lebih banyak hal, termasuk kesiapan semua RS untuk membuka data ketersediaan layanan, bahkan secara real time untuk tempat tidur dan menggunakan rekam medis elektronik.

Kemenkes diyakini mampu membangun sistem sebesar ini. Namun, persoalan Kemenkes dan BPJS Kesehatan sejak lama adalah ketidakmampuannya untuk bisa menciptakan sistem yang kompatibel digunakan oleh seluruh RS dan klinik serta memaksa mereka mengatur sistem informasinya agar kompatibel dengan kebutuhan publik dan nasional. Berapa banyak sistem informasi yang dibangun oleh Kemenkes, tetapi fragmentatif; tidak terkoneksi satu sama lain. Masing-masing pelayanan kesehatan punya platform sistem informasi yang dibangga-banggakannya sendiri, Jangan dengan swasta, sesama RS pemerintah saja pun mungkin berbeda-beda; antara RS milik Kemenkes dan Pemda, antara Pemda A dan Pemda Z.

Jika saat ini akan dilakukan sistem rujukan, data pasien harus dapat terkirim secara aman dari Puskesmas atau klinik ke RS Pemerintah atau Swasta, atau antar RS. Bayangkan jika Permenkes klasifikasi RS ini berlaku, tetapi sistem informasi sebesar ini belum siap, akan seberapa kacau lagi sistem rujukan kesehatan di negara tercinta ini?

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, ada disparitas besar dalam ketersediaan RS kelas A dan B, terutama di daerah Timur Indonesia. Tapi, apakah kebijakan ini akan memperbaiki kondisi disparitas yang ada? Apakah Permenkes ini mendorong layanan kesehatan yang tadinya hanya boleh di RS kelas A atau B menjadi tersedia di daerah yang hanya memiliki RS kelas C dan D? Atau, ini hanya akan mendorong persebaran layanan kesehatan ‘canggih’, spesialistik dan subspesialitik di RS kecil dan tetap akan terkonsentrasi di daerah urban?

Sementara ini, potensi yang terakhir lebih dominan. RS kecil bermunculan dengan jumlah spesialis dan subspesialis yang gemuk – dan kerap terkonsentrasi di daerah urban atau suburban yang memiliki modal besar dan pangsa pasar besar. Jika ini yang benar terjadi, layanan kesehatan berbalik sekadar pasar bisnis bagi pemodal, bukan lagi bertujuan meningkatkan kesehatan populasi. Selamat tinggal sistem kesehatan yang kuat!

Tapi… perubahan klasifikasi RS ini juga akan mendorong keadilan sistem pembayaran jasa medis ke RS. Tidak ada lagi perbedaan kelas A, B, C, dan D. Benarkah? Tunggu tulisan selanjutnya ya…

di bawah langit Rotterdam yang sendu, akhir Januari 2020

Gambar fitur diambil dari: https://mukisi.com/2397/menkes-reviu-kelas-rs-rs-syariah-juga-bisa-turun-kelas/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan