/

Kuncitara dan Kecemasan Global

14 mins read
1

“Semua nampak rumit, dan terlalu dini hingga saat ini untuk memprediksi sebesar apa perseteruan antara kuncitara untuk menyelamatkan nyawa dan membuka diri untuk menyelamatkan ekonomi akan terus berlangsung.”

 

Di awal tahun 2020, tidak ada yang menyangka bahwa dunia akan semenderita hari ini. Manusia masih merasa begitu aman untuk bepergian ke mana mereka suka, mengunggah foto dan video di tempat wisata eksotis, melangsungkan rapat dan pertemuan skala besar, juga melintas kota, pulau, bahkan benua. Konektivitas dunia seakan tak menemui hambatan apapun. Bandara supermegah dan supermodern menjadi lambang supremasi sebuah negara dalam percaturan koneksi dan bisnis dunia. Bandara Daxing di China, Istanbul di Turki, dan proyek Laut Merah di Saudi adalah tonggak baru yang menyempurnakan globalisasi.

Deglobalisasi

Tetapi, kemegahan globalisasi dengan kemewahan interkonektivitas itu runtuh seketika justru oleh makhluk superkecil tak kasat mata. Ia berpindah dengan cepat dari satu inang ke inang lain sambil membuatnya jatuh sakit. Di akhir dekade pertama abad ke-21, pemerintah Cina mengumumkan kasus ‘pneumonia tanpa sebab yang jelas’ di daerah pasar seafood Wuhan – sebuah kota industri dengan 11 juta penduduk. Pasar itu kemudian ditutup tepat pada hari pertama dekade kedua abad ke-21.

Polisi memasang garis pembatas dan pekerja medis memakai baju pelindung lengkap untuk mengambil sampel dari permukaan pasar dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. Sontak pesan-pesan penuh kecemasan mebelukar di tengah kota yang padat hingga akhirnya delapan hari kemudian para ilmuwan Cina mendeklarasikan munculnya virus baru dari keluarga coronavirus di tengah kehidupan manusia – melengkapi dua virus corona sebelumnya yang mematikan, SARS dan MERS.

Wuhan bukan hanya menjadi daerah pertama yang paling menderita akibat virus ini, tetapi juga menjadi pintu keluar virus yang menumpang hilir mudik manusia ke nyaris seluruh negara di dunia. Globalisasi ternyata menemukan mata pisau keduanya yang dimanfaatkan Sars-Cov2, nama yang disematkan pada virus superkecil itu, untuk menyebar. Tak butuh waktu berbulan-bulan. Pada hari kesembilan, Sars-Cov2 sudah ditemukan di Thailand, negara yang lokasinya tak begitu jauh dari Cina. Di pekan keempat Januari, Sars-Cov2 sudah teridentifikasi di dataran Eropa. Kesibukan lalu lintas manusia, kepadatan tempat wisata, dan koneksi fisik yang erat antar manusia membuat virus dengan cepat berpindah, menyebar, dan membuat kekacauan baru dalam kehidupan umat manusia.

Arus dunia mendadak berbalik. Globalisasi yang diadigungkan manusia ditarik surut ke belakang. Hiperkonektivitas yang dibanggakan mulai dibatasi, bahkan dikungkung dalam ketakutan untuk berkontak. Arus penerbangan mendadak berkurang hingga tak lebih dari separuh angka penerbangan setahun lalu di bulan yang sama. Tempat-tempat wisata ditutup. Agenda pertemuan skala besar dibatalkan. Pesta olahraga ditunda. Ketakutan menyelimuti satu per satu negara yang kemudian memilih mengunci diri mereka – mulai dari pintu masuk wilayah negara, provinsi, kota, hingga rumah-rumah penduduknya. Pertumbuhan ekonomi melandai, stagnan, bahkan menukik turun. Virus kecil itu benar-benar memantik sumbu deglobalisasi tanpa strategi apapun, kecuali dengan menyebar dan menyebar.

Kuncitara

Pada titik inilah semua orang akan mengenang dalam sejarah tentang satu kata mujarab: lockdown, dengan rentang variasi praktiknya yang begitu lebar. Terminologi lockdown awalnya dipakai sebagai perintah mengunci pintu ketika ada aksi penembakan. Orang diminta masuk ke rumah atau gedung dan mengunci pintu mereka agar selamat dari amukan peluru. Tetapi, lockdown kini dikenal luas sebagai bagian dari wabah virus corona. Cina dikenal sebagai negara pertama yang menerapkan complete lockdown: restriksi superketat yang mewajibkan manusia tetap berada di dalam rumah dan melarang aktivitas non-esensial apapun di luar rumah. Amerika Serikat menggunakan terminologi aslinya, shelter-in-place order, untuk memerintahkan warganya berdiam di rumah dan membatasi diri di ruang terbuka karena potensi bencana atau wabah.

Pada kondisi wabah Covid-19, nama penyakit yang kemudian disepakati oleh Badan Kesehatan Dunia, kedua istilah ini memang saling bertukaran dipakai, tanpa marka pembeda yang jelas, bahkan dilengkapi dengan istilah lain, seperti partial lockdown, intelligent lockdown, stay-at-home order, dan pembatasan sosial berskala besar. Apapun istilah yang dipilih oleh para pejabat negara, semua merujuk pada satu akar bahwa manusia tengah dituntun untuk mengunci diri. Kuncitara. Sesuatu yang terasa asing dan melanggar kodratnya sendiri sebagai spesies sosial yang gemar berinteraksi secara fisik.

Pada 23 Januari 2020, jalur masuk dan keluar Provinsi Hubei di Cina ditutup sebagai respons kunci menghambat penyebaran Covid-19. Rumah-rumah dikunci dalam makna yang paling harfiah. Jalanan sepi. Toko-toko tutup, kecuali mereka yang menjual bahan makanan pokok dan obat-obatan. Pemerintah memegang kendali khusus, membekali warganya dengan perangkat lunak di telepon seluler mereka untuk memantau penyebaran infeksi virus dan segera menanganinya jika dibutuhkan.

Saat Hubei menutup diri, bahkan dengan kuncitara yang cenderung brutal, negara lain belum mengambil langkah yang serupa. Korea Selatan dan Jepang sebagai negara tetangga memang mulai bersiap dengan angka kasus yang mulai meningkat. Tetapi, Eropa dan Amerika masih merasa digjaya dan yakin bahwa Covid-19 tak akan menyebar jauh ke dataran mereka. Epidemi dianggap akan berakhir seperti SARS di tahun 2002 dan MERS di tahun 2012. Tapi siapa yang menyangka bahwa satu bulan setelahnya, merekalah yang paling menderita. Kematian demi kematian menjadi berita lumrah setiap pagi di Italia dan Spanyol. Langkah kuncitara bukan strategi yang dipersiapkan secara matang, tetapi lebih sebagai upaya superdefensif dalam kekalutan dan kepanikan. Dalam waktu singkat, episentrum penyebaran Covid-19 bergeser dari Cina ke Eropa, lalu berpindah ke Amerika. Seberapapun pongahnya, Amerika akhirnya mengambil jalan yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya: kuncitara.

Sampai kapan?

Bumi seperti tengah berpuasa. Langit cerah dengan emisi karbon yang merendah. Laut dan sungai seperti menemukan nenek moyangnya kembali: jernih dan tenang. Tetapi, tidak demikian dengan ekonomi. Kuncitara bukanlah pelumas pertumbuhan ekonomi, tetapi musuh yang paling nyata bagi ekonomi di tengah wabah. Dalam satu bulan, Amerika mencatat rekor 3,3 juta pengangguran – angka tertinggi setelah Perang Dunia II. Ekonomi Eropa kolaps dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mentok di angka 1%, bahkan mungkin lebih rendah.

Pertanyaan besar yang mendesak dijawab oleh semua negara adalah kapan mereka dapat melepas warganya kembali menjadi ‘manusia bebas’ dan bekerja untuk mendongkrak ekonomi yang ambruk?

Cina membutuhkan waktu 24 hari untuk menahan laju penyebaran infeksi agar penambahan kasus baru tidak terus meningkat. Tiga pekan yang melelahkan itu berhasil membuat kurva laju penyebaran kasus baru Covid-19 melandai – flattened curve. Untuk benar-benar menutup penyebaran kasus infeksi lokal antar warga yang tinggal, Cina membutuhkan waktu dua kali lipatnya – 49 hari. Itu pun dengan situasi kuncitara paripurna yang ketat dan muskil dilakukan oleh pemerintah negara manapun selain Cina.

Italia dan Spanyol menginisiasi kuncitara penuh selama dua pekan pertama, namun gagal mencapai hasil yang diharapkan sehingga diperpanjang dan dievaluasi secara sinambung. Jerman memulai kuncitara parsialnya selama tiga pekan untuk dievaluasi lagi setelahnya. Swedia memilih pembatasan sosial yang longgar hingga angka kematian yang terus melonjak setiap hari membuat mereka mengetatkan pengawasan. Di tengah kekacauan wabah di Amerika, Bill Gates menyuarakan kuncitara yang perlu diberlakukan selama sepuluh pekan.

James Stock, peneliti di Harvard University mengungkapkan kecemasan yang tak dapat disembunyikan. “Jika kamu melakukan kuncitara selama dua bulan atau lebih yang memang benar kita butuhkan, itu akan menjadi sebuah kesalahan mahal yang tidak dapat dipercaya,” katanya. Tapi jika kuncitara dibuka dua bulan terlalu cepat, itu pun juga dapat menjadi kesalahan mahal yang tidak tebayangkan.

Eichenbaum, Rebelo dan Trabant (2020) mencoba mensimulasikan kuncitara dan dampak makroekenomi yang menjadi akibatnya. Kuncitara, dalam prediksi model mereka, masih masuk akal berlangsung selama satu tahun sambil menunggu vaksin diproduksi dan siap disebarluaskan. Ekonomi memang akan menyusut sekitar 22%, menggerogoti dana sekitar 4,2 triliun US Dollar untuk satu negara sebesar Amerika. Sebaliknya, melepas manusia tanpa menguncitara akan memungkinkan pertumbuhan ekonomi stabil di angka 7%, tetapi berarti pula membiarkan 500 ribu jiwa meninggal sebagai konsekuensinya. Mana yang akan dipilih? Nyawa tidak dapat dijemput kembali setelah kematian, meski secara ekonomi dapat divaluasi.

Tapi, apakah benar memaksa kuncitara berlangsung dalam jangka panjang akan menyelamatkan hidup manusia lebih banyak?

Ketika resesi besar (Great Recession) ekonomi melanda dunia di tahun 2008, angka pengangguran di Amerika meningkat pesat dari 5.8% menjadi 9.6%. Dalam tempo itu pula, angka bunuh diri di Amerika meningkat 3.8% , setara dengan kematian 1330 jiwa bunuh diri. Angka kematian yang tinggi akibat bunuh diri juga terjadi ketika Uni Soviet runtuh yang diikuti dengan penderitaan ekonomi dan keruntuhan tatanan sosial. Tetapi, ekonom lain juga punya pendapat berbeda. Meski angka bunuh diri meningkat, resesi ekonomi juga ternyata berdampak positif pada angka kematian akibat penyebab lain. Lalu lalang manusia menyurut, baik di darat, laut, dan udara – yang kemudian menurunkan insidens kecelakaan lalu lintas dan angka kematiannya. Kecerahan langit berbanding terbalik dengan panjatan ekonomi. Semakin melambat laju ekonomi, polusi ikut tereduksi, sedangkan langit berubah menjadi lebih cerah dan bersih. Angka kematian yang terkait polusi, dengan demikian, ikut menurun.

Kecemasan global

Semua nampak rumit, dan terlalu dini hingga saat ini untuk memprediksi sebesar apa perseteruan antara kuncitara untuk menyelamatkan nyawa dan membuka diri untuk menyelamatkan ekonomi akan terus berlangsung. Keduanya seolah dipertentangkan, beradu kekuatan dan argumen untuk memilih hanya salah satu dari keduanya.

Sampai kapan kecemasan itu akan berlangsung? Tidak ada yang tahu pasti. Kecemasan itu mengular begitu cepat dari satu rumah ke rumah lain, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain. Dan tidak ada yang dapat memastikan apakah langkah kuncitara yang mereka ambil akan berhasil. Tak ada pedoman. Semua tengah belajar dalam kecemasan yang kian hari kian menggunung.

Ketika pemerintah Cina mulai perlahan membuka kuncitara, membebaskan warganya keluar dan berbelanja, memanaskan tungku-tungku pabrik, dan membuka bandara, kecemasan tidak begitu saja pudar. Pandemi infeksi hampir muskil datang dalam satu gelombang, bahkan lebih mungkin hadir dalam dua, tiga, atau lebih dari tiga gelombang. Pasalnya, manusia yang belum terinfeksi virus memiliki peluang terinfeksi di kemudian hari dan menyebarkannya lagi ke manusia lain yang juga belum terinfeksi. Selama belum ada vaksinasi yang dapat mencegahnya, kemungkinan wabah gelombang berikutnya terjadi tidak dapat ditutup rapat-rapat.

Kecemasan ternyata tak berhenti dengan kuncitara. Ketika kunci dibuka, transmisi antar warga lokal masih mungkin terjadi. Ketika bandara, pelabuhan, dan jalan tol dibuka, siapa yang dapat memastikan bahwa tak ada virus yang menumpang di saluran nafas manusia yang masuk ke daerah mereka, menyebar penyakit dan kepanikan lagi – yang pada akhirnya memberikan penderitaan ekonomi yang lebih besar?

Inilah kecemasan global. Abad ke-21 akan dikenang dalam sejarah umat manusia sebagai periode gelombang resesi di dua dekade pertamanya. Kecemasan akut ini akan terus bergulir dan berpotensi kronik dan memanjang.

Yang dibutuhkan dalam setiap kecemasan adalah keberanian untuk membuat keputusan. Tidak ada yang dapat memastikan kapan puncak wabah terjadi: hari ini, besok, pekan depan, atau bulan yang akan datang? Berbagai modeling matematika dapat membantu memprediksinya, tetapi tidak ada yang pernah tahu rupa masa depan yang sesungguhnya.

Kuncitara, seberapapun mampunya ia menahan laju sebaran infeksi, kelak akan dibuka oleh desakan ekonomi. Di sinilah para ilmuwan perlu didengar oleh para politisi untuk secara cermat mencari jalan keluar dari kecemasan tanpa harus melakukan trade-off ekstrim antara kematian warga dan merosotnya ekonomi. Di sinilah wujud kepemimpinan global diuji untuk dengan hati yang lapang saling membantu menyelesaikan persoalan dunia, bukan untuk menutup diri dan sekadar menyelamatkan dirinya sendiri.

 

Rotterdam, April 2020

Ahmad Fuady

Pembelajar politik kesehatan

Gambar fitur diambil dari: https://www.omroepbrabant.nl/nieuws/3180447/Dit-is-waarom-landen-in-lockdown-gaan-in-strijd-tegen-het-coronavirus

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

1 Comment

  1. traditional vaccination is not the only way, that is another way with natural path from Allah guidance, probiotics and their’s metabolites will stop the virus spread. Allah said that every ill has a cure. May be probiotics metabolite vaccination is the answer. AllahuAkbar.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan