/

Kursi Goyang Sang Kiai

10 mins read

Sudah sedari dulu, Kiai memang tak pernah berniat menjadi presiden. Apalagi setelah muncul pilpres, pilkada, pilkawe, dan pilkate. “Saya ndak punya tenaga,” katanya suatu waktu.

Biar saja kepemimpinan itu datang karena memang ia tiba bersama kerelaan orang-orang yang dipimpinnya. Bukan dicari-cari, direbut-rebut, dan dikejar-kejar sampai dahi penuh peluh, kelopak mata menggelambir, serta fitnah dan kecamuk benci bertebaran. Kiai lebih senang mengajar santrinya mengaji meski beberapa waktu lalu disodori kereta kencana lewat sebuah ‘muktamar’ supaya bisa maju jadi presiden.

“Keretanya kan ndak kuat juga. Ndak lewat threshold.” Kiai selalu saja tertawa, selalu berkelakar. Sebelum jadi pemimpin, orang harus mencari kursi. Jumlahnya dihitung supaya bisa mencalonkan pemimpinnya. Kalau hitung-hitungannya tidak keliru, mudah-mudahan peruntungannya baik. Tinggal tambah amunisi survey dan gelar iklan di mana-mana, kursi kepemimpinan tak muskil untuk diraih. Mirip reality show. Yang image-nya baik, lumbung suaranya akan dipenuhi sms. Yang popularitasnya menjulang, dia yang dicontreng. Contreng sana, contreng sini. Siapa peduli visi dan misi? Hanya rakyat kota yang membuka mata dan telinga. Selebihnya, angguk-angguk geleng-geleng.

Tapi, kisah ini tak lagi melulu bicara contrang-contreng.

Kisruh di Negeri Sukun justru bermula dari kursi goyang yang tertinggal di tengah lapangan. Entah tepatnya ditinggal, tertinggal, atau memang dibuang. Kalau ditinggal, mengapa di tengah lapangan? Kalau tertinggal, siapa yang lewat lapangan? Kalau dibuang, si empunya kursi mungkin tengah mabuk sampai tak tahu beda antara lapangan dan tempat pembuangan sampah. Kemabukan yang merajalela sampai menginfeksi orang di senatero jagad negeri untuk tak mampu memahami subyek, obyek, dan lokasi yang tepat. Masyarakat sembarangan.

Tetapi, polah orang-orang Negeri Sukun lebih tak dapat diterka. Mereka hidup dalam alam mistis sehingga spekulasi yang berkembang pun sepenuhnya mistis. Ini kursi dari ‘langit’, kata mereka. Kursi untuk sang kiai –orang yang paling dicintai di seluruh pelosok negeri. Untuk yang mistis seperti itu; selalu saja inkracht, keputusan akhir, tak dapat digugat.

Kursi goyang pun dibawa ke pondok kecil sang kiai. Dari lapangan, jalan menanjak ke arah pondok kiai sekitar 300 meter. Tidak begitu jauh. Hanya sedikit berbelok ke barat, setelah itu lurus mendaki. Jarun yang memimpin rombongan tiba-tiba tersadar di tengah perjalanan.

“Ah, mengapa kiai ndak kita panggil saja ke lapangan? Ini toh juga belum tentu dari ‘langit’ buat Kiai. Siapa tahu memang ada yang ketinggalan?”

Jarun meraih kembali kesadarannya yang tadi masuk terjungkir dalam maya mistik.

Rombongan berhenti. Limbung. Pemimpinnya ragu, yang dipimpin jadi ikut ragu. Repot, memang, jika berjalan dalam satu rombongan. Pemimpin bukan hanya butuh media social yang di-like dan di-follow jutaan orang, tetapi harus punya visi. Tak cukup hanya punya pengikut. Salah arah, satu rombongan malah terperosok ke jurang. Salah belok, semua ikut tersesat. Salah melangkah, tak ada jalan lagi keluar dari perangkap.

Tetapi, untungnya ini bukan soal besar. Jarun mampu meyakinkan meski beberapa orang di belakang sempat menggerutu. Tak lama berdebat, suara pun akhirnya membulat. Jarun mengambil langkah pasti, menjadi orang pertama yang pergi ke pondok kecil untuk memanggil Kiai Badrun.

“Siapa ikut saya?”

Dua orang mengacungkan tangan, selebihnya memilih duduk menepi di bawah pohon.

Seratus meter jarak tersisa, Sang Kiai yang dicari ternyata berjalan berlawanan arah. Entah sudah punya firasat atau memang kiai yang satu ini punya kemampuan sekelas wali. Tahu tanpa harus diberitahu. Paham tanpa harus diberipaham. Semua menyangka: ada sesuatu yang tak dapat dijangkau mata manusia biasa pada dirinya.

“Allah memang Mahasayang…”

“Ada apa, toh, Run?” Kiai mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

“Dan Kiai ini memang keturunan wali. Hebat.”

“Ada apa?” Alisnya masih tinggi, tak juga turun.

Ndak perlu saya beritahu, Kiai pasti sudah tahu apa yang mau saya sampaikan.”

Sampean ini ngomong apa. Ngawur saja. Saya ndak tahu apa-apa.”

“Ah, Kiai ndak tahu kalau ada kursi goyang yang ditinggal di lapangan?”

Ndak tahu.”

Ndak tahu kalau orang-orang sekarang sedang menunggu Kiai di tengah jalan?”

Ndak tahu. Memangnya ada apa?”

“Oalah… Jadi, Kiai sebenarnya mau ke mana?”

“Ke tempat Mak-mu. Jemput Hindun sebelum pergi ke tempat Kiai Makmun.”

Jarun merengut. Kiai yang disebut-sebutnya mirip wali itu ternyata bukan wali sungguhan. Lagipula, siapa yang punya pengetahuan tentang wali sejatinya? Tidak ada yang tahu, kecuali mereka juga wali. Dan, yang benar-benar wali itu hanya yang tak pernah khawatir dan bersedih hati terhadap nasib dan takdir yang menimpa diri mereka, bukan yang seringkali kisruh dan mencemooh.

“Lantas kursi goyang ini buat siapa, Kiai?”

Kiai Badrun yang ditanya segera menengok kursi goyang yang membuat heboh seisi kampung. Masih bagus, peliturnya belum luntur. Kayunya masih kokoh. Pegangannya masih kuat,

“Untuk Kiai sajalah kalua begitu…” Orang-orang yang berkerumun mengamini usulan Jarun. Mengangguk-angguk meski tak tahu harus menjawab apa jika ditanya alasannya. Khas. Yang penting seragam, seiya sekata, walaupun mesti diledek dengan sebutan ‘taklid buta’.

Haha… Kiai Badrun tertawa. Sang Kiai menengok ke belakang, ke arah rumahnya yang tinggal sejarak seratus meter. Dengan senyum yang masih ditarik sederhana melewati garis nasolabial-nya, sang Kiai menunjuk-nunjuk dengan takzim. “Saya sudah punya kursi goyang di rumah,” katanya sambil sembunyi-sembunyi. “Saya ndak butuh kursi…”

Semua orang jadi kelimpungan. Harus dibawa ke mana kursi goyang itu? Mereka selalu menganggap, yang tak bertuan adalah menjadi milik sang pemimpin –dan Kiai sudah sedari dulu menjadi pemimpin di sini tanpa perlu pemilihan raya dan rentetan musyawarah.

“Kalau Kiai ndak mengambilnya, itu bahaya. Orang-orang di sini akan berebutan untuk mengakuinya.” Begitu bisik Jarun sambil membujuk Kiai Badrun. Sang Kiai yang dibisiki hanya mengangguk. Lalu, tertawa lagi.

Sudah sedari dulu tabiatnya memang begitu. Kursi direbut-rebut, dicari-cari. Kalau perlu menghina, menginjak-injak, menyingkirkan, meludahi, memfitnah, atau sekaligus membunuh saudara sendiri, mereka akan melakukannya. Asal kursi yang bisa goyang-goyang itu bisa dengan nyaman dinaiki. Kursi itu akan goyang-goyang dengan sumringah, menarik-narik angin datang dan berhembus semilir-semilir, dan dengannya orang yang duduk akan semakin malas. Kursi apa yang membuat mata terpejam dan pikiran terpendam? Kursi malas.

Kursi malas di negeri ini tak perlu bergoyang-goyang. Tak perlu angin semilir berhembus. Ia berjejer di ruang gedung rakyat, di kantor pemerintahan; yang semuanya justru semestinya tak layak disandingkan dengan kemalasan.

Tetapi, gila, memang. Untuk bermalas-malasan saja ribuan orang mesti mencurahkan segenap tenaga, harta, dan tipu daya. Mungkin saja memang sudah tak ada lagi semilir angin sepoi di kehidupan mereka sampai untuk mendapatkannya harus berdarah-darah dan memakan bangkai saudara sendiri. Kalau sudah duduk dan tiba-tiba ada yang mengganggu, mereka akan turun dan menyibakkan pedang dari sarung di pingganggnya. Darah dibalas darah. Hoax dibalas hoax. Bangkai dibalas bangkai.

Atau lebih baik Kiai mengungkapkan saja sarannya yang nyeleneh.

“Ya sudah, begini saja. Mulai sekarang, semua kursi di rumah-rumah warga. Ndak perlu lagi ada kursi di rumah.”

“Maksud Kiai?”

“Pakai karpet saja semuanya. Biar semua bisa duduk bersila. Sama rata, sama rata. Ndak perlu ada yang goyang-goyang lagi. Ndak perlu lagi ada yang merasa lebih tinggi.”

“Lha, kursi goyang ini akan dibawa ke mana?”

“Diinfakkan saja ke fakir miskin.”

Biar mereka juga ikut merasakan goyang di kursi sampai tertidur lelap. Biar si fakir saja yang jadi tuan di sini. Bukan yang petatang-peteteng ribut dan bikin kisruh di negeri ini. Bukan yang gemar kuasa dan tak rela kalau kursinya diambil Kuasa yang lain. Bukan yang hobi bohong dan sumpah demi Mahakuasa padahal mata dan hatinya sibuk gemetar luar biasa waktu mendengar isi neraka. Bukan yang mabuk memasang iklan, menyebar meme, membagikan link vlog, mengularkan tulisan tanpa bukti. Bukan yang merasa tak fakir tapi sungguh menjadi sebenar-benarnya fakir.

“Tapi, Kiai…” Jarun mengangkat telunjuknya terakhir, kali. Menyanggah.

“Kenapa lagi?”

“Yang fakir seperti itu, sudah ndak ada lagi di sini.”

Wallahua’lam bishshowab.
Jakarta, November 2009

Edited: Rotterdam, Juli 2019

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan