/

Memerangi Polusi Udara

6 mins read

Polusi udara kota Jakarta sudah melewati batas rasional.  Dalam 365 hari dalam setahun, kurang dari 10 persen-nya warga ibukota menikmati udara berkualitas baik. Lebih dari setengah tahun warganya harus menghirup udara tak sehat.

Wajar bila warga memasukkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat awal Juli ini. Tuntutannya jelas. Lima pihak utama, yaitu Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta, harus bertanggungjawab terhadap hak warga untuk menikmati udara bersih yang terenggut akibat ketidakberesan manajemen perkotaan.

Saat ini, polusi udara memang persoalan kota-kota besar di dunia. Besarnya masalah polusi udara mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Badan Kesehatan Dunia secara resmi mencantumkan polusi udara sebagai faktor risiko kelima terhadap penyakit non-infeksi pada tahun 2018. Polusi udara dianggap menyebabkan 5,6 juta kematian per tahun, dan menjadi faktor risiko kematian pada kasus stroke, penyakit paru obstruktif, kanker paru, dan penyakit jantung iskemik.

Jakarta adalah kota besar yang terjangkit masalah besar polusi udara. Tetapi, bukan berarti ini persoalan Jakarta semata. Kota-kota lain tidak terbebas dari ancamannya. Justru, mereka harus belajar lebih dini dan lebih banyak agar cermin buruk udara Jakarta tidak dideritanya di masa mendatang.

Kolaborasi

Tak ada resep tunggal untuk mencegah dan mengatasi polusi udara. Tetapi, kunci utama yang harus dipenuhi adalah kolaborasi lintas sektor. Pembangunan kota tak hanya bertumpu pada kecantikan arsitektur dan pengembangan ekonomi, tetapi membutuhkan kolaborasi antara perencana kota, akademisi-peneliti kesehatan publik, dan para ilmuwan sosial. Dua pihak yang disebut belakangan adalah mereka yang sering ditelantarkan dan baru diajak berembuk saat masalah kesehatan sudah menumpuk.

Dewan Riset Daerah yang dibentuk Pemerintah daerah (Pemda) Jakarta adalah inisiatif baik untuk memulai perubahan pola pikir pengembangan kota. Setidaknya, mereka harus membantu Pemda Jakarta untuk berpikir secara sistematis, mencari akar masalah, dan menjabarkan alternatif solusi yang ada berdasarkan langkah dan temuan ilmiah dari beragam aspek.

Dengan begitu, tak perlu ada jawaban ala kadarnya, misalnya dengan menyebut kendaraan sebagai faktor utama polusi udara atau rekomendasi penggunaan masker N95 bagi warga di jalan raya. Jawaban dan rekomendasi yang sama sekali imatur. Padahal, belum pernah ada simulasi dan uji yang serius dilakukan untuk memetakan masalah. Baru ada delapan alat pengukur kualitas udara untuk mencakup 660 kilometer persegi wilayah ibukota: lima permanen dan tiga mobile.

Jakarta diberikan nikmat kelimpahan universitas dan akademisi profesional. Mereka dapat diajak untuk membuat studi-studi kecil untuk menajamkan kebijakan intervensi berikutnya dan mengevaluasi kebijakan transportasi publik yang ada. Bukan hanya polusi udara, Pemda Jakarta bahkan berpotensi mendapatkan masukan terkait efek kesehatan pekerja, distress pada warga komuter, ketahanan lingkungan, inekualitas sosial dan kesehatan, bahkan kebahagiaan warganya  yang seharusnya dapat diukur sebagai acuan keberhasilan pemerintahan.

Kota-kota di Amerika Latin dan Karibia dapat dijadikan benchmark bagi Jakarta dan kota-kota di Indonesia untuk hal ini. Mereka membangun inisiatif bersama antara pemerintah dan akademisi untuk membangun kota yang ramah ‘bagi kesehatan’ dan ‘bagi bumi’ dalam proyek kesehatan kota (SALURBAL). Begitupun Rotterdam yang pemerintah kotanya mengundang akademisi untuk memberikan masukan kebijakan yang tepat guna, tidak sebatas teori, dan implementatif dalam kerangka kesehatan publik yang efektif bagi Rotterdam (CEPHIR). Model Program Jakarta Sehat, misalnya, dapat dikembangkan ke arah tersebut dan diimitasi oleh kota-kota lain di Indonesia.

Regulasi

Selain kolaborasi dengan akademisi, pengetatan regulasi terutama bagi industri yang berkontribusi terhadap polusi udara mutlak diperlukan. Subsidi bahan bakar minyak harus dikurangi dan dialihkan untuk kepentingan lingkungan yang lebih besar dan berkesinambungan. Pemerintah juga harus lebih serius dalam upaya penurunan emisi gas. Di Jakarta, diperkirakan ada 60-80 persen kendaraan warga yang tak memenuhi baku mutu emisi gas. Kondisi di kota-kota lain sangat mungkin lebih buruk.

Kebijakan sektor industri, kesehatan, dan lingkungan juga seringkali bertabrakan. Di saat lingkungan membutuhkan restriksi emisi gas kendaraan, penjualan otomotif justru menggeliat. Tidak keliru sama sekali, asalkan diimbangi dengan regulasi dan insentif penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Polusi industri dari pabrik dan pembangkit listrik juga merupakan ancaman besar yang harus diatur secara ketat, selain polusi dari pembakaran yang dilakukan di area perumahan.

Kebijakan tunggal pada satu sektor saja kemungkinan besar akan gagal. Studi di Porto, Portugal (2016) dengan mengubah 10% penggunaan bahan bakar Euro3 atau lebih rendah menjadi hibrida tidak menurunkan kadar PM10, partikel udara berukuran kurang dari 10 mikrometer, di udara secara signifikan. Begitupun dengan introduksi zona atau area beremisi rendah. Tetapi, pengetatan aturan lalu lintas seperti itu dapat berhasil menurunkan kadar nitrogen dioksida (NO2) di udara. Untuk mengatasi kadar PM10 yang melempaui batas, aktivitas industri harus ditekan, terutama dengan mengatur emisi dan jarak antara area industry dan perumahan warga.

Ini saatnya semua kota belajar dan mempersiapkan strategi mitigasi polusi udara sedari dini sebelum polusi menghajar paru-paru warganya. Kolaborasi lintas sektor dan kombinasi strategi adalah bahan baku mutlak untuk memerangi polusi udara. Tanpa itu, kita hanya akan berenang melawan ombak yang kita ciptakan sendiri.

 

*Ahmad Fuady

Dosen dan Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan