/

Menkes Terawan (Tidak) Harus Menyerang Dokter

10 mins read

Ada beberapa gebrakan Menkes Terawan yang menggemparkan di awal masa jabatannya. Demi memperbaiki karut marut dana jaminan sosial yang defisit bertahun-tahun, Menkes Terawan mengambil langkah yang terkesan oposan terhadap kolega profesionalnya sendiri: para dokter.

Dalam sebuah kesempatan, ia mengungkapkan bahwa defisit dana jaminan sosial kesehatan diakibatkan oleh tindakan medis yang tidak perlu. Terapi kanker dan operasi sesar menjadi contoh nyatanya. Menkes Terawan menunjuk hidung dokter, kolega profesionalnya, memberikan terapi dan tindakan medis di luar indikasi yang sewajarnya.

Kesenjangan data

Menurut Menkes Terawan, proporsi kelahiran melalui operasi sesar terhadap total kelahiran di Indonesia mencapai 45%. Angka ini jauh di atas preferensi yang diterapkan Badan Kesehatan Dunia sebesar 20%.

Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan 2014-2018 menunjukkan angka persentase kasus yang lebih besar, antara 51,5-58.8%. Biayanya menyedot 5,3% total biaya layanan kesehatan rujukan per tahun. Tapi, data ini baru sebatas potret kecil tentang urusan kantong dan jaminan sosial.

Namun, data Riskesdas (2018) menunjukkan fakta yang berbeda. Sebanyak 81,5% kelahiran ditolong melalui persalinan non-operasi. Dari seluruh total persalinan, hanya 41,2% persalinan yang biayanya ditanggung dari pembiayaan dana jaminan sosial kesehatan. Lebih dari separuh persalinan (53,5%) justru dibiayai dari kantong keluarga pasien sendiri.

Kesenjangan antara data BPJS Kesehatan yang dicuplik Menkes dan hasil Riskesdas 2018 ini memunculkan pertanyaan kritis lanjutan. Apakah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum mencakup seluruh tindakan dan biaya persalinan?

Ada indikasi bahwa banyak persalinan non-operasi yang tidak dibayarkan, atau setidaknya tidak tergambarkan, melalui dana jaminan sosial kesehatan. Jika demikian, data BPJS Kesehatan tidak dapat dipakai sebagai rujukan tingginya tindakan operasi sesar dan biaya persalinan yang harus ditanggung. Bahkan, sangat mungkin bahwa klaim tentang ‘tingginya’ biaya persalinan baru gunung es dari biaya yang semestinya jauh lebih besar digelontorkan pemerintah untuk membantu persalinan rakyatnya.

Jadi, biaya persalinan yang diklaim menghabiskan 5,3% dari total biaya layanan kesehatan rujukan sangat mungkin tidak menggambarkan kebutuhan riil biaya persalinan. Jika biaya ini ditengarai sebagai penyebab defisit, masalah utama bukan terletak pada besarnya belanja layanan kesehatan, tetapi pada masih minimnya dana jaminan sosial kesehatan yang tersedia. Bukan pada besarnya pasak, tetapi kurusnya tiang.Ini yang perlu dikritisi dan ditodong kepada Presiden dan para menteri.

Ini yang perlu dikritisi dan ditodong kepada Presiden dan para menteri.

Serangan psikologis

Namun, yang terjadi dalam setahun terakhir ini, pemerintah selalu mempersoalkan inefisiensi BPJS-Kesehatan, fraud tenaga medis dan rumah sakit, serta penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan. Presiden Jokowi merasa bahwa dana Rp 115 triliun yang digelontorkan pemerintah pusat selama empat tahun sudah begitu besar dan berharap defisit dapat tertangani.

Menkes Terawan – dengan beban berat di pundaknya – juga menjadi anasir serangan psikologis kepada dokter dan institusi layanan kesehatan dengan menganggap keduanya melakukan tindakan di luar indikasi medis.

Perlukah serangan psikologis seperti ini?

Fraud, atau kecurangan, yang dilakukan terkait klaim pembayaran memang menjadi salah satu faktor penyebab defisit dana jaminan sosial kesehatan. Namun, persoalannya adalag seberapa besar kontribusi fraud terhadap defisit dana jaminan sosial kesehatan saat ini? Jika fraud memang merupakan satu-satunya sumber malapetaka defisit dana jaminan sosial kesehatan, serangan psikologis semacam ini tentu mutlak diperlukan.

Tetapi, sebelum mengambinghitamkan fraud para dokter dam rumah sakit, perlu ada telaah yang lebih detail agar persoalan defisit ini dapat diurai dengan baik dan mendapatkan solusi yang komprehensif. Jangan sampai ada upaya generalisasi yang menyebabkan munculnya skeptisme di tengah masyarakat terhadap institusi layanan kesehatan. Dokter kemudian dianggap mata duitan, dan rumah sakit kerap dipersalahkan sebagai institusi yang hanya mengambil keuntungan.

Serangan psikologis semacam ini hanya penting dalam konferensi pers menjelang pertandingan sepakbola untuk menurunkan mental lawan. Tetapi, dalam upaya pembenahan program JKN jangka panjang, hal seperti ini menjadi kontraproduktif. Bayangkan jika pasien kanker yang membaca berita di media massa khawatir terhadap pengobatan medisnya, lalu memilih mengambil pengobatan alternatif, dan baru kembali ke rumah sakit setelah penyakitnya tidak dapat lagi ditangani. Bayangkan bila satu terapi atau tindakan tidak dilakukan sesuai indikasinya karena implikasi dari citra negatif yang ditanamkan. 

Pengingatan, kehati-hatian, dan himbauan untuk melakukan audit medis jelas tetap diperlukan. Tetapi, semua itu tidak dilakukan dalam rangka mendeligitimasi autoritas institusi layanan kesehatan dalam menjalankan kinerja profesionalnya. Alih-alih, harus ada perubahan mendasar yang didahului dengan analisis yang mendalam untuk mencari akar persoalannya.

Akar masalah

Tingginya angka persalinan melalui operasi sesar tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada banyak faktor yang harus ditelusuri secara mendalam agar pangkal penyebabnya dapat teratasi.

Studi analisis data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa faktor medis juga berperan dalam penentuan tindakan operasi sesar dalam persalinan selain karakteristik sosiodemografi. Dua komponen variabel besar tersebut menjadi penanda bahwa persoalan operasi sesar bukan sekadar urusan meja operasi dan intensi pembayaran yang lebih tinggi. Jadi, ada rangkaian proses layanan kesehatan saat kehamilan yang secara komprehensif perlu dibenahi. Republik Iran dapat menjadi contoh bagaimana skema transformasi sistem kesehatannya dengan strategi yang jelas dan terukur berhasil menurunkan angka operasi sesar.

Jika pemerintah beritikad menurunkan belanja kesehatan akibat operasi sesar, perlu ada upaya strategis. Pertama, sediakan insentif yang adekuat bagi institusi layanan kesehatan. Tarif pembayaran Indonesian Case Based Group (Ina-CBGs) saat ini untuk tindakan persalinan per vaginam Rp 700.000-950.000 (bervariasi dari bidan hingga emergensi dasar di PONED). Angka ini jauh di bawah nilai tindakan operasi sesar ringan Rp 4,3-6,2 juta (bervariasi antar kelas di RS Tipe D Pemerintah dan Swasta). 

Padahal, meski prosedurnya lebih sederhana, proses menuju persalinan per vaginam dapat memakan waktu lama dan kerap sulit diprediksi. Berbeda dengan operasi sesar yang dapat dilakukan secara elektif atau terencana. Insentif di sisi suplai pun tidak terbatas pada penambahan nilai tarif, tetapi dapat dikombinasikan dengan skema pay-for-performance.

Kedua, dari sisi demand, perkuat edukasi selama masa kehamilan (antenatal). Para ibu hamil umumnya khawatir terhadap komplikasi dan rasa sakit persalinan per vaginam, serta ketidakpastian waktu persalinan. Operasi sesar tentu menjadi pilihan yang menarik jika ditawarkan secara gratis.

Penguatan program konsultasi sebelum dan selama kehamilan juga menjadi pilar utama, termasuk bagaimana mendiskusikan pilihan persalinan dan pembenahan sistem rujukan secara simultan dari layanan primer ke sekunder – dari bidan persalinan ke dokter kebidanan.

Di daerah urban, ada kecenderungan masyarakat menerabas sistem rujukan. Kontrol kehamilan dianggap lebih layak ditangani langsung oleh dokter spesialis ketimbang secara berjenjang ditangani oleh bidan terlebih dahulu. Ini persoalan dasar.

Mengapa masyarakat lebih senang memotong jalur layanan persalinan — termasuk juga layanan kesehatan lainnya, meski biayanya tidak ditanggung? Apakah akibat persepsi kualitas layanan di tingkat primer yang lebih buruk ketimbang di layanan kesehatan tingkat sekunder? Apakah karena pilihan kenyamanan?

Di luar itu semua, sistem yang tidak kuat mengatur dan secara longgar memungkinkan hal tersebut terjadi adalah masalah yang harus diselesaikan.

Terpercik muka sendiri

Di sisi lain, tudingan terhadap layanan kanker di luar indikasi justru menohok balik Menkes Terawan. Setiap layanan kesehatan dalam kerangka JKN harus teruji efektivitas dan efektivitas-biaya (cost-effectiveness)-nya secara ilmiah untuk kemudian disusun dalam panduan praktik medis. Konsep dasar yang ia abaikan sendiri ketika menyelenggarakan praktik Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) sebagai metode terapi. Ini seperti pepatah, “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.

Jika benar pemerintah ingin menguatkan JKN, maka langkah ketiga, yaitu penguatan praktik Penilaian Teknologi Kesehatan sebagai dasar penyusunan dan penilaian paket manfaat, mutlak diperlukan. Paket manfaat dan panduan praktik klinis harus dievaluasi bersama secara terstruktur, menyeluruh, dan terorganisir dengan baik dalam satu komando.

Persoalan ini memang menjadi pelik ketika Menkes Terawan sendiri memiliki beban moril dan etik dalam hal tersebut. Namun, bukan berarti hal itu menjadi penghalang. Justru saat inilah kesempatan dirinya untuk menunjukkan kelegawaan dan sikap profesional untuk sama-sama menguatkan itikad dan memperbaiki sistem kesehatan untuk kemaslahatan rakyat Indonesia.

Beban Menkes Terawan untuk menyelesaikan problem JKN memang berat. Beragam strategi pintasan perlu dilakukan, tetapi harus tetap dalam kerangka kearifan. Masukan dari data yang ada juga perlu ditelisik lebih detail, bukan sekadar angka kasar tanpa implikasi kebijakan yang komprehensif, apalagi sekadar melemparkan kesalahan ke kolega profesionalnya semata.

Jika strategi yang terstruktur dan terukur sudah diaplikasikan, namun fraud masih juga terjadi di mana-mana dan membesar, maka barangkali itulah saatnya ia menjadi oposan bagi kolega profesionalnya sendiri.

Ahmad Fuady

Staf pengajar FKUI dan Penulis Buku “Arsitektur Jaminan Kesehatan Indonesia”

Gambar fitur diambil dari: https://www.cnbcindonesia.com/news/20191202120830-16-119532/ketika-dr-terawan-ungkap-modus-modus-yang-bikin-bpjs-tekor

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan