Pandemi COVID-19 tidak dapat lagi dipandang sekadar penanganan isu kesehatan. Pandemi ini sudah melintasi batasnya dari pertarungan melawan virus belaka menjadi pandemi krisis ekonomi, pendidikan, bahkan politik. Tarik menarik kepentingan tak dapat dihindarkan dan selalu memunculkan pertarungan ide yang sengit dari beragam perspektif.
Sebagai sebuah penyakit, COVID-19 telah meluluhlantakkan kedigjayaan sains kedokteran dan kesehatan masyarakat. Masyarakat global telah menyaksikan bagaimana komunitas sains berhasil menangani SARS,[1] MERS,[2] dan Ebola, dengan cukup efisien dan cepat. Namun, COVID-19 muncul dengan karakteristik yang sama sekali berbeda. Penyebarannya yang sangat cepat sudah menyebabkan 79 juta orang dinyatakan positif terinfeksi virus SARS-Cov2.[3]Karena keterbatasan pemeriksaan, angka riil orang yang terinfeksi jauh lebih tinggi daripada angka yang dipublikasikan. Begitupun dengan angka kematian – yang tercatat 2,5 juta orang di seluruh dunia hanya dalam waktu kurang dari satu tahun. Di Indonesia, angka kasus positif sudah lebih dari 700 ribu orang dengan angka kematian hampir 20.500 orang dalam waktu delapan bulan.[4]
Di awal tahun 2020, tidak ada yang menyangka bahwa dunia akan semenderita hari ini. Manusia masih merasa begitu aman untuk bepergian ke mana mereka suka, mengunggah foto dan video di tempat wisata eksotis, melangsungkan rapat dan pertemuan skala besar, juga melintas kota, pulau, bahkan benua. Konektivitas dunia seakan tak menemui hambatan apapun. Bandara supermegah dan supermodern menjadi lambang supremasi sebuah negara dalam percaturan koneksi dan bisnis dunia. Bandara Daxing di China, Istanbul di Turki, dan proyek Laut Merah di Saudi adalah tonggak baru yang menyempurnakan globalisasi.
Deglobalisasi
Tetapi, kemegahan globalisasi dengan kemewahan interkonektivitas itu runtuh seketika justru oleh makhluk superkecil tak kasat mata. Ia berpindah dengan cepat dari satu inang ke inang lain untuk menyebabkan inangya jatuh sakit. Arus dunia mendadak berbalik. Globalisasi yang diadigungkan manusia ditarik surut ke belakang. Hiperkonektivitas yang dibanggakan mulai dibatasi, bahkan dikungkung dalam ketakutan untuk berkontak. Arus penerbangan mendadak berkurang hingga tak lebih dari separuh angka penerbangan di tahun lalu. Tempat-tempat wisata ditutup. Agenda pertemuan skala besar dibatalkan. Pesta olahraga ditunda. Ketakutan menyelimuti satu per satu negara yang kemudian memilih mengunci diri mereka – mulai dari pintu masuk wilayah negara, provinsi, kota, hingga rumah-rumah penduduknya. Pertumbuhan ekonomi melandai, stagnan, bahkan menukik turun.
Pada titik inilah semua orang akan mengenang dalam sejarah tentang satu kata mujarab: lockdown, dengan rentang variasi praktiknya yang begitu lebar – dari yang longgar hingga superketat. Istilahnya pun beragam, mulai dari partial lockdown,intelligent lockdown, stay-at-home order, dan pembatasan sosial berskala besar. Namun, apapun istilahnya, semua merujuk pada satu akar bahwa manusia tengah dituntun untuk mengunci diri. Kuncitara. Sesuatu yang terasa asing dan melanggar kodratnya sendiri sebagai spesies sosial yang gemar berinteraksi secara fisik.
Dampak ekonomi pun berlangsung cukup brutal. Angka pengangguran naik di semua negara. Di Amerika Latin dan Karibia, angka pengangguran naik hingga 4-5% setelah muncul pandemi, dari semula berada di angka 8,1% dari total populasi.[5] Di Indonesia, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tahun 2020 diperkirakan antara 8,1-9,2%, akan meningkat sekitar 5%, dan menyebabkan sekitar 10-12,7 juta orang menganggur.[6]
Halaman berikutnya: “Persimpangan Strategi dan Pandemi Kepakaran”
Mencerahkan
Terima kasih, Bang Miq