Persimpangan Strategi
Strategi kedokteran dan kesehatan masyarakat kemudian seringkali dipandang sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi. Kuncitara, pembatasan sosial, dan sejenisnya bertujuan utama untuk menahan laju infeksi. Namun, pertanyaannya: sampai kapan? Pertumbuhan ekonomi akan merosot, angka pengangguran meningkat, sekolah-sekolah yang ditutup akan menyebabkan anak-anak mengalami perlambatan capaian pembelajaran, bahkan perkembangan. Apakah perlu untuk mencontoh beberapa negara, seperti Selandia Baru dan Korea Selatan yang menerapkan kuncitara ketat ketika kasus positif muncul kembali? Apakah perlu berpindah untuk melonggarkan diri seperti Swedia di titik ekstrem lainnya? Inilah pandemi multirupa yang dihadapi masyarakat global saat ini.
Eichenbaum, Rebelo dan Trabant (2020) mencoba mensimulasikan kuncitara atau pembatasan sosial dan dampak makroekenomi yang menjadi akibatnya.[7] Kuncitara, dalam prediksi model mereka, masih masuk akal berlangsung selama satu tahun sambil menunggu vaksin diproduksi dan siap disebarluaskan. Ekonomi memang akan menyusut sekitar 22%, menggerogoti dana sekitar 4,2 triliun US Dollar untuk satu negara sebesar Amerika. Sebaliknya, melepas manusia tanpa menguncitara akan memungkinkan pertumbuhan ekonomi stabil di angka 7%, tetapi berarti pula membiarkan 500 ribu jiwa meninggal sebagai konsekuensinya. Mana yang akan dipilih?
Selain itu, pandemi perlambatan capaian pembelajaran anak usia sekolah juga terjadi.[8] Pembelajaran jarak jauh akan memunculkan krisis lain akibat kesenjangan akses antara kelompok stasus sosial. Angka putus sekolah diperkirakan meningkat.[9] Pada akhirnya, dalam jangka panjang, akan muncul krisis sosial akibat melebarnya kesenjangan antar kelompok status sosial.
Semua hal ini berkelindan dalam waktu yang bersamaan dan menempatkan pemerintah dalam kerumitan tersendiri untuk mempertemukan semua kepentingan secara proporsional.
Melakukan pembatasan sosial berkepanjangan tentu bukan pilihan yang mudah dan bijak, apalagi ketika pemerintah tidak memiliki ruang fiskal yang cukup longgar untuk menyediakan proteksi sosial yang adekuat bagi masyarakat. Tetapi melonggarkannya tanpa ada kontrol dan evaluasi yang optimal juga berbahaya karena dapat menyebabkan beban katastrofik bagi layanan kesehatan. Untuk bisa menyeimbangkan semua aspek, butuh ketelitian dan pemahaman data yang akurat, ditambah dengan komunikasi publik yang efektif.
Pandemi Kepakaran
Aspek konumikasi publik seringkali terabaikan di tengah upaya mengatasi pandemi. Ada ketergesaan pemerintah Indonesia untuk memberikan jaminan rasa keamanan bagi rakyatnya sehingga muncul informasi yang imatur dan cenderung keliru. Ini sudah terjadi sejak awal pandemi ketika pimpinan pemerintahan berupaya meyakinkan masyarakat bahwa virus SARS-Cov2 tak akan masuk ke Indonesia. Kekeliruan komunikasi terus berlanjut, baik dalam skala kecil maupun besar. Mulai dari ketidaksinkronan pernyataan antar pejabat publik hingga klaim obat COVID-19 yang dipaksakan dan cenderung menyesatkan. Kalung COVID-19 yang didukung Kementerian Pertanian dan banyaknya tampilan video yang menyebarkan informasi yang tidak tepat mengenai COVID-19 memunculkan krisis dan pandemi baru. Bukan saja infodemi,[10] tetapi juga pandemi ‘kepakaran’.
Setelah era internet menyebabkan matinya kepakaran (The Death of Expertise),[11] pandemi COVID-19 memunculkan banjir jumlah pakar. Bukti ilmiah bermunculan setiap hari, dari berbagai sudut dunia dan dengan kualitas yang sangat lebar. Studi-studi yang dipublikasi dengan cepat harus trade-off dengan kualitas studi yang melorot. Jumlah sampel yang minim, tidak representatif, dengan keterbatasan analisis menyebabkan banyak publikasi ilmiah tidak dapat ditelan mentah-mentah untuk dijadikan dasar produksi kebijakan publik. Banyak ‘pakar’ merasa cukup dengan mencatit publikasi ini-dan-itu, lalu berbicara dan merekomendasikan kebijakan menurut pemahamannya masing-masing. Tak ada standar kepakaran terhadap klaim kepakaran yang sangat bervariasi ini.
Di luar publikasi ilmiah di jurnal-jurnal akademik, ‘pakar-pakar’ lain bermunculan setiap hari di televisi, bahkan di media sosial, mendorong ide dan kritik yang seringkali liar tak terkendali. Masyarakat kemudian tidak benar-benar paham mana pendapat yang sahih dan yang tidak sahih, mana ide yang tepat dan mana yang tidak akurat.
Apa yang ditempuh oleh kebanyakan masyarakat, bahkan pemerintah, sebagai subyek penangguk informasi adalah memilih bukti ilmiah, pendapat, dan ide secara parsial. Tidak komprehensif, tidak sistematis. Bukti yang dipilih adalah bukti yang mendukung garis strategi, pendapat, dan keyakinannya masing-masing yang cenderung telah ajeg. Bukti ilmiah kemudian bukan dijadikan perangkat analisis strategi, tetapi sekadar latar belakang dan pendukung bahwa keyakinan, strategi, dan pendapatnya adalah benar belaka. Masing-masing ‘pakar’ bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing dan terjadi pertarungan ide – yang pada beberapa konteks menjadi pertarungan tak sehat.
Bukti ilmiah berubah dari perangkat politik dan kebijakan menjadi sekadar penumpang politik demi menunjukkan bahwa garis kebijakannya sesuai dengan bukti ilmiah.
Halaman Berikutnya: “Merajut Kebijakan”
Mencerahkan
Terima kasih, Bang Miq