Merajut Kebijakan
Dari semua persoalan pandemi multirupa ini, tetap harus ada upaya bagaimana merajut kebijakan secara komprehensif. Di masa pandemi multirupa ini, tidak ada kebijakan yang benar-benar tepat dan benar-benar salah. Semua bergantung konteks dan periodenya. Sebuah kebijakan mungkin tepat pada satu daerah, tetapi tidak tepat pada daerah lain. Tepat pada bulan ini, tetapi tidak lagi pas pada bulan lain. Untuk menghadapi itu, pemerintah harus fleksibel dan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa situasi bergerak begitu dinamis. Komunikasi harus dilakukan secara jelas, terbuka, dan transparan.
Ekonomi yang melambat memerlukan pelonggaran kegiatan sosial, tetapi juga harus disertai dengan peningkatan kapasitas layanan kesehatan. Jumlah dokter dan tenaga kesehatan harus dapat dipastikan memenuhi kebutuhan di seluruh daerah. Jika ada satu daerah yang kekurangan tenaga, pemerintah harus mampu berkoordinasi dengan organisasi profesi untuk memobilisasi tenaga kesehatan dan memenuhi kebutuhan tersebut. Strategi ini membutuhkan pendataan dan monitoring yang kuat, sekaligus penyediaan insentif bagi tenaga kesehatan yang memuaskan dan tepat waktru. Tanpa itu, tenaga kesehatan sulit untuk digerakkan dan tidak dapat dipersalahkan karena mereka juga harus menanggung risiko kesehatan selama bekerja.
Banyak rumah sakit bergantung dari ketersediaan peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS). Mereka selama ini membayar ‘uang sekolah’ dan jarang mendapatkan insetif dari pekerjaannya. Terobosan penting dalam mengurangi beban finansial mereka dan memberikan skema insentif yang memadai merupakan jalan yang tepat. Tetapi, insentif tidak hanya berupa dorongan finansial, tetapi juga kelaikan jam kerja dan pembatasan beban kerja –yang keduanya harus dibarengi upaya sistematis mengurangi jumlah orang yang perlu perawatan rumah sakit.
Berapa jumlah ruang unit rawat intensif yang tersedia dalam jumlah akumulatif, dan berapa yang tersedia secara real time? Angka kematian kasus COVID-19 bukan hanya disebabkan morbiditas, tetapi juga keterlambatan akses terhadap fasilitas kesehatan kritis. Bagaimana melakukan sinergi data dan prediksi antara beban kasus yang ada dan ketersediaan rawat intensif menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera dituntaskan.
Apakah kita terus berjalan dengan kelonggaran jarak sosial dan fisik (social distancing dan physical distancing) karena kebutuhan melakukan koreksi pertumbuhan ekonomi? Apakah kita perlu tergesa-gesa memacu pergerakan ekonomi ketika fakta dan studi pemodelan epidemiologi menunjukkan bahwa pandemi ini sangat mungkin berkepanjangan?
Keputusan untuk membatasi atau melonggarkan jarak sosial harus dievaluasi secara ketat. Keputusan ini dapat berbeda antar daerah sesuai dengan beban epidemiologi masing-masing dan sangat mungkin berubah seiring dinamika beban epidemiologi tersebut. Yang terpenting dalam hal ini adalah konsistensi antara keputusan dan implementasi pembatasan sosial. Komunikasikan dengan jelas, berikan poin-poin ringkas dan aplikatif (bukan anjuran secara umum tanpa parameter), dan awasi secara ketat agar tidak berhenti pada konferensi pers atau kebijakan di atas kertas. Kesulitan penerapan kebijakan pembatasan sosial bukan pada analisis data, tetapi bagaimana memastikan bahwa semua orang mematuhi protokol yang telah didiseminasikan. Kita butuh kepemimpinan, role model yang konsisten sehingga setiap wicaranya adalah sabda yang dipatuhi. Dan, itu butuh ketegasan pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk mengejawantahkannya dengan baik.
Poin akhir dalam rajutan kebijakan adalah mendorong bukti ilmiah sebanyak-banyaknya dengan kualitas yang baik. Pemerintah harus dapat memberikan insentif agar setiap sentra dan daerah mampu mengakses data, mengelola data, dan menjadikannya dasar kebijakan yang efektif bagi pemerintah. Insentif tidak melulu berjumlah besar. Bahkan, seringkali peneliti tidak membutuhkan dorongan finansial untuk menggugah altuisme saintifiknya demi kemaslahatan umat. Insentif yang paling sederhana adalah dengan memudahkan akses terhadap data. Data melimpah, tetapi seringkali sulit diakses. Data dapat diakses, tapi validitasnya diragukan sehingga pengolahannya terbatas. Data telah diolah, tetapi tidak dipublikasikan secara terbuka.
Semua simpul masalah ini harus diselesaikan secara simultan. Kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir danbagaimana ia akan berujung. Satu hal yang perlu dilakukan oleh semua pihak adalah berikhtiar, merendahkan hati untuk mencari bukti yang sahih, berdiskusi dan menemukan titik temu, serta merajut kebijakan dengan mempertemukan semua aspek di titik yang paling mendkati keseimbangannya.
dr. Ahmad Fuady, M.Sc., Ph.D
Peneliti, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
[1] SARS= Severe Acute Respiratory Syndrome (Sindroma Pernapasan Akut Berat)
[2] MERS= Middle East Respiratory Syndrome (Sindroma Pernapasan Timur Tengah). Dinamakan Timur Tengah karena pertama kali kasus dikonfirmasi di daerah Timur Tengah, Suaid Arabia, pada tahun 2012.
[3] John Hopkins Coronavirus Resource Center. COVID-19 Data in Motion. 24 Desember 2020. https://coronavirus.jhu.edu/
[4] Satuan tugas penanganan COVID-19. Situasi virus COVID-19 di Indonesia, 24 Desember 2020. https://covid19.go.id/
[5] International labor Organization. Sharp rise in unemployment in Latin America and the Caribbean leaves millions without income. 1 Juli 2020. https://www.ilo.org/caribbean/newsroom/WCMS_749692/lang–en/index.htm
[6] Tirto. Bagaimana Pandemi COVID-19 Memengaruhi Angka Pengangguran RI. 26 Juni 2020. https://tirto.id/bagaimana-pandemi-covid-19-memengaruhi-angka-pengangguran-ri-fK3e.
[7] Eichenbaum, Martin S., Sergio Rebelo, and Mathias Trabandt. 2020. “The Macroeconomics of Epidemics.” NBER Working Paper 26882, National Bureau of Economic Research, Cambridge, MA.
[8] World Bank. We should avoid flattening the curve in education – Possible scenarios for learning loss during the school lockdowns. 2020.Tersedia di: https://blogs.worldbank.org/education/we-should-avoid-flattening-curve-education-possible-scenarios-learning-loss-during-school?CID=WBW_AL_BlogNotification_EN_EXT). Diakses pada 30 Mei 2020.
[9] Cameron L. Can a public scholarship program successfully reduce school drop-outs in a time of economic crisis? Evidence from Indonesia. Economics of Education Review. 2009; 28:3.
[10] Infodemi = istilah baru yang menunjukkan arus informasi yang eksesif, baik akurat maupun inakurat, dan menyebabkan sulit untuk memilah dan mempelajari infiormasi penting terhadap satu isu.
[11] Istilah yang dipakai Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertise”
Mencerahkan
Terima kasih, Bang Miq