Penyebaran virus korona (Covid-19) menjadi salah satu ujian ketahanan sistem kesehatan Indonesia. Bukan hanya bagaimana menahan agar penyebaran Covid-19 dapat direduksi, tetapi juga bagaimana mengomunikasikan risiko dan dampak secara tepat tanpa menimbulkan kekhawatiran masyarakat yang berlebihan. Di era digital, tantangan ini semakin berat.
Apa yang dilakukan pemerintah sejak awal Maret 2020 ketika kasus infeksi Covid-19 pertama diumumkan layak menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Pemerintah, dalam hal ini Menkes Terawan dan jajarannya, tampak kedodoran dan tidak siap mengatur laju informasi yang terlanjur berserakan. Ada masalah dalam transparansi dan privasi yang semestinya dapat dihindari.
Ketidakpastian dan privasi
Ada atau tidaknya kasus infeksi virus baru mustahil dapat dipastikan seratus persen, apalagi dalam periode awal penyebarannya. Kepercayaan diri yang ditonjolkam di ddepan public secara berlebihan justru menimbulkan tanda tanya besar. Peneliti Harvard, dengan segala keterbatasan metodologinya, menyebutkan adanya potensi kasus positif Covid-19. Namun, Menkes Terawan menolak asumsi ilmiah tersebut dengan menekankan keyakinannya bahwa hal tersebut menghina kapabilitas Indonesia dalam menghadapi serangan Covid-19.
Padahal, tidak ada yang tahu pasti bagaimana krisis penyakit infeksi dapat diurai. Pola komunikasi yang terlampau yakin justru mengaburkan transparansi. Ketika selang beberapa waktu klaim tersebut terbukti keliru, kredibilitas pemangku kebijakan berada dalam titik kritis dan kepercayaan public akan tergerus. Kemungkinan pesan-pesan berikutnya untuk diterima masyarakat, dipercayai, dan ditindaklanjuti semakin kecil.
Transparansi adalah pelajaran penting pertama dalam mengomunikasikan ancaman penyebaran infeksi baru. Pemerintah bukan hanya harus secara transparan menyampaikan informasi apa yang telah telah diketahui dan dapat dipastikan, tetapi juga segala hal yang belum pasti dan belum dapat dipastikan secara akurat. Semakin transparan informasi yang diberikan ke publik, kepercayaan publik akan menguat.
Selain transparansi, komunikasi risiko penyebaran infeksi juga harus memastikan penjagaan privasi. Ini pelajaran penting kedua yang tak boleh diabaikan. Pernyataan ‘dansa’ yang dimulakan dari lisan Menkes Terawan telah membuka jalan lebar pelanggaran privasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat umum. Ditambah dengan kebocoran data pasien yang tersebar secara sporadis lewat media sosial, aksi teatrikal pemasangan garis polisi, dan penyemprotan disinfektan yang disiarkan ke ruang publik, pelanggaran privasi ini dapat dianggap berat. Potensi stigma negatif mencuat dan merugikan pasien yang seharusnya paling layak mendapatkan perlindungan privasi.
Melalui wawancara media Kompas, pasien juga mengaku bahwa dirinya tidak diberitahu mengenai diagnosisnya, justru ketika Presiden telah melakukan konferensi pers tentang sesuatu yang menyangkut dirinya. Ini merupakan kesalahan mendasar yang harus menjadi pelajaran dan tidak boleh diulangi lagi. Pemerintah harus mulai secara jernih menempuh berbagai strategi untuk dapat memitigasi risiko pelanggaran privasi semacam ini.
Tidak sinkron
Pelajaran lain dari Covid-19 adalah sinkronisasi informasi. Pernyataan pejabat publik seringkali tidak matang, kontroversial, dan menimbulkan pertanyaan yang merisaukan. Wartawan memang akan selalu mencari bahan berita yang bisa digapai mereka lewat pertanyaan-pertanyaan singkat di ruang waktu yang sempit. Menghadapi hal itu memang bukanlah hal mudah.
Pemerintah sedianya perlu membuat semacam ‘war room’, tempat segala informasi dihimpun, dianalisis, kemudian diformulasikan secara tepat ke ruang publik. Di sinilah pemerintah perlu menggabungkan semua elemen penting, termasuk para ilmuwan, praktisi kesehatan, praktisi komunikasi, dan pejabat administrasi, untuk secara bersama mengatur alur informasi. Begitupun sinkronisasi komunikasi dan strategi antara pemerintah pusat dan daerah.
Tidak hanya informasi yang menuntun masyarakat untuk tetap tenang, strategi yang dijalankan pun harus sesuai antara pernyataan dan tindakan. Pemerintah dapat saja menyebutkan bahwa 132 rumah sakit telah siap menangani kasus Covid-19, tetapi kesiapan di lapangan perlu diamati sejauh mana kesiapan yang dimaksud. Jika harapan yang disampaikan tidak memenuhi realitas di lapangan, kepercayaan publik akan menurun.
Di luar 132 rumah sakit yang dianggap mampu menangani kasus Covid-19, pemerintah juga mendesak pembangunan rumah sakit karantina dengan merenovasi sebuah rumah sakit yang rusak. Kedua pernyataan ini kontradiktif sebenarnya kontradiktif. Jika infrastruktur dianggap telah mampu, mengapa perlu ada desakan membangun rumah sakit khusus karantina yang baru? Kontradiksi dan ketidaksinkronan pernyataan dan strategi ini berpeluang melemahkan kepercayaan publik dalam jangka menengah dan panjang.
Apalagi, dalam setiap peristiwa penyebaran infeksi yang genting selalu ada potensi serangan ‘agenda’ lain secara politik. Akan ada pertarungan antara informasi pakar dengan gelombang disinformasi, bahkan hoax, yang dimanfaatkan secara negatif di ruang media sosial. Akan ada pula pertarungan antara penyebaran informasi faktual-rasional dengan mitos yang menyentuh emosi publik dan menyebabkan meluasnya kerisauan.
Pada zaman digital, potensi tubrukan semacam ini semakin tinggi. Narasi yang dikembangkan di ruang publik memang sulit untuk dikendalikan, terlepas dari apakah itu bagian dari sistem demokrasi dan kontrol yang lebih seimbang terhadap kekuasaan. Maka, penting bagi pemerintah untuk mengambil pelajaran dari periode awal penyebaran Covid-19 ini untuk menguatkan pola komunikasi, memperbaiki transparansi, dan membangun sistem yang konsisten dan kokoh dalam jangka panjang.
Ahmad Fuady
Pembelajar Politik Kesehatan
Gambar fitur diambil dari: https://fletcher.tufts.edu/covid-19-updates