/

Politik Para Dokter

8 mins read

Sebuah film berbahasa Denmark, “En Kongelig Affaere (A Royal Affair)”, membuat saya menelusuri lagi liku politik para dokter. Johan Friedrich Struensee (1737-1772), seorang dokter Jerman, ditunjuk menjadi dokter kerajaan bagi Raja Christian VII Denmark yang memiliki masalah mental. Dengan trik politiknya, ia berhasil menjadi raja ‘de facto’ dengan menggiring opini raja menjadi kebijakan krusial yang mendukung ide Enlightenment-nya yang dipengaruhi pemikiran Jean-Jacques Rousseau. Manuver politiknya berhasil mematahkan dominasi para bangsawan di sekitar raja yang kebijakannya mencekik rakyat dan hanya menguntungkan kaum bangsawan.

 

a-royal-affair-2012
Film “En Kongelig Affaere” yang berkisah tentang Johan Friedrich Struensee, Raja Christian VII Denmark, dan istrinya.

Di tengah kuasa Christian VII, cacar mewabah dan mengakibatkan kematian. Keputusan Struensee untuk melakukan inokulasi pada Pangeran Frederick yang masih kecil menjadi titik bersejarah. Ia mendapatkan pengakuan, menulis pidato bagi raja, dan secara tidak langsung melancarkan pandangan progresifnya dan mereformasi kehendak Negara.

 

Tontonan tentang Struensee itu membuat saya teringat lagi pada sosok Rudolf Virchow (1821-1902) di Jerman –yang pada beberapa titik saya menemukan kesamaannya dengan Struensee. Siapa yang tidak mengenal karier cemerlang Virchow sebagai dokter, pelopor biologi seluler dan bapak patologi modern? Ketika menghadapi wabah typhus di Upper Silesia, ia menekuni apa yang terjadi pada sel hingga mengidentifikasi hubungannya dengan perang dan kelaparan. Dari situlah ia menemukan jalan politik kedokterannya, merangkai keterkaitan kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan birokrasi politik, dan tekanan ekonomi yang ditumbuhkan sendiri oleh para aristokrat. Argumentasinya jelas bahwa epidemi typhus hanya dapat dicegah ketika ketimpangan sosial diberantas. Pernyataan ilmiahnya dikemukakan secara gamblang: “Medicine is a social science, and politics is nothing but medicine in larger scale”.

 

polaroid-rudolf-virchow.png
Rudolf Virchow

 

Kesadaran politiknya ikut dipicu dengan diluncurkannya ‘Communist Manifesto’ dari Karl Marx di tahun 1848 yang menimbulkan revolusi besar, termasuk di Berlin, tempat Virchow kembali. Ia bergabung dengan gerakan sosialis, demokrat, dan republikan untuk melakukan revolusi dan menumbangkan kekuasaan yang menyengsarakan. Dia juga mendukung revolusi sosial –yang disebutnya sebagai “Kulturkampf (culture struggle)”,  yang digagas Otto van Bismarck. Pemikiran politik keduanya yang kemudian berseberangan dan pertentangan Bismarck vs Virchow yang lekat dalam sejarah menunjukkan satu hal: keberpihakan ide politik Virchow pada ekualitas dan kepentingan masyarakat luas.

Ide Struensee dan Virchow serupa. Kegelisahan terhadap ketimpangan. Pada proses pembelajaran dan praktiknya, dokter berupaya tidak melompat langsung ke pengobatan, tetapi mengekplorasi tanda dan gejala, menemukan runutan logis yang membawa kepada kesimpulan diagnosis, lalu mengidentifikasi sumber daya (resources) yang ada dan dapat dimanfaatkan dalam koridor tatalaksana penyakit pada pasien, termasuk aspek sosio-ekonominya. Perkembangan ilmu pengetahuan memaksa para dokter untuk belajar pula tentang kemajuan temuan yang pesat, mendedahkan praktik mereka pada bukti ilmiah –yang secara politik pula disebut ‘evidence-based medicine’, tanpa menafikan kompatibilitas per pasien. Dengan itu semua, potensi memunculkan Struensee dan Virchow baru semestinya semakin terbuka.

Anggaplah keduanya terlampau jauh di halaman buku sejarah, ada Ernesto ‘Che’ Guevara (1928-1967) dan Bernard Kouchner (1939-sekarang).

 

che motorcycle
Buku “The Motorcycle Diaries” yang ditulis Ernesto ‘Che’ Guevara

 

Sejak masih mahasiswa kedokteran, Che sudah berjalan-jalan melintasi Amerika Selatan dan menemukan kemiskinan, kelaparan, dan penyakit akibat eksplotasi kapitalis yang makin mendasari pemikiran Marxist-nya. Ia bergabung dalam reformasi sosial Guatemala dan menjadi actor kunci pada Revolusi Kuba, lantas memelopori reformasi agraria dan mendorong kampanye literasi ketika menjabat beberapa posisi menteri setelah revolusi.

Kouchner, di tepi lain, adalah pioneer lembaga kesehatan non-pemerintah terkemuka di dunia, “Medecins Sans Frontieres” (MSF). Sebagai seorang Yahudi, ia justru memulai karier politiknya bersama Partai Komunis Perancis dan –beririsan dengan Che – sama-sama berkontak dengan Fidel Castro di Kuba. Pengalamannya menulis tesis tentang penyakit nutrisi di Afrika –yang didedikasikan untuk Che, ikut serta dalam misi Palang Merah ke Biafra, menyaksikan kematian 600,000 penduduk Nigeria akibat pemerintahan yang bobrok dan perang sipil, serta mendirikan MSF dan melakukan aksi-aksi kemanusiaan membuat perspektifnya tentang politik dan kedokteran menjadi sangat kokoh. Ia kemudian menduduki beragam posisi politik penting: Menteri Urusan Kemanusiaan, Menteri Kesehatan (di bawah Francois Mitterrand), Utusan Tinggi PBB untuk Kosovo, Menteri Luar Negeri (di bawah Nicolas Sarkozy). Ia dipercaya, bahkan ketika pimpinan cabinet berasal dari demokrat yang berseberangan dengan pandangan sosialisnya.

 

Kouchner
Bernard Kouchner, co-founder MSF yang menjabat berbagai posisi politik penting di Perancis.

 

Struensee, Virchow, Che, dan Kouchner sebenarnya beranjak dari hal yang sama dan menuju tempat yang sama sebagai antidotnya: ketidakadilan dan keadilan. Kedokteran, bagi mereka, bukan lagi ilmu yang berbatas, justru melintas batas. Keinginan untuk menciptakan masyarakat yang sehat diyakini mereka harus dijalani dalam langkah politik, seberapapun kerasnya. Virchow memulainya dengan menyatakan bahwa tubuh adalah model sempurna dari “masyarakat sipil yang tidak disekat oleh kelas-kelas”, kemudian menajamkannya dengan menyebutkan bahwa sebagian epidemi adalah artifisal; defisit yang dihasilkan dari pemerintahan dan budaya, dan menyerang mereka yang tidak diuntungkan oleh praktik kultur politik tersebut.

Meminta semua dokter menjadi seperti mereka berempat barangkali hal yang muskil. Johan Mackenbach, professor yang pertama kali saya mengenalnya lewat kuliah Social Epidemiology lebih dari tujuh tahun lalu, menulis catatan tahun barunya yang menarik dengan memunculkan istilah baru: ladder of political activism, tangga aktivitis politik. Memang, tidak semua isu kesehatan harus direspons dengan revolusi dan langkah politik tingkat tinggi, sehingga Mackenbach secara bijak menggambarkan empat anak tangga. Pertama, selemah-lemahnya aktivitas politik para dokter: pasivisme politik. Mereka akan menyambut permintaan para penyusun kebijakan jika dimintai pendapatnya tentang isu kesehatan. Kedua, mereka yang secara aktif menyebarkan informasi yang relevan terkait isu penting kesehatan kepada para politisi, membuat laporan, menulis rekomendasi, dan menyampaikan kritik di media cetak dan televisi. Ketiga, mereka yang memilih langsung secara aktif melobi dan memengaruhi keputusan politik. Dan keempat, yang paling tinggi, adalah mereka yang benar-benar terjun ke dunia politik untuk sungguh-sungguh memperjuangkan kesehatan dan keadilan di tengah masyarakat –bukan sekadar pemanis dan vote getter partai karena cantik dan berbudi mulia.

Sayangnya, Mackenbach belum menyebutkan secara jelas di mana anak tangga tempat para aktivis yang senang meng-update status di lama media sosial. Mungkin ia memberikan ruang novelty bagi siapapun yang bisa menambahkan teorinya dan dipublikasi di jurnal terkemuka dunia.

Di akhir tulisan ini, saya sediakan tangga untuk Anda. Barangkali Anda ingin merenung sendiri di mana posisi saat ini. Jangan katakan, Anda masih sibuk bermain di tanah datar –tempat anak-anak juga bermain lompat tali dan gasing!

Rotterdam, Mei 2017

Tangga politik para dokter

Anak tangga 4

 

Anak tangga 3

 

Anak tangga 2

 

Anak tangga 1

 

Dasar – tanah

 

Gambar fitur diambil dari: http://diariodeunmedicodeguardia.blogspot.nl/2012/11/la-caricatura-del-gabinete-del-dr.html

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan