Problematika Vaksin Covid-19

9 mins read
1

Kunci utama pengendalian pandemi berasal dari kepercayaan publik. Pekerjaan rumah pemerintah mengomunikasikan semua hal terkait penanganan pandemi ini dengan jernih dan transparan, tak perlu ada informasi yang ditutupi.

Ahmad Fuady (Kompas, 17 Desember 2020)

 

Ulang tahun pertama pandemi Covid-19 akan disambut dengan program vaksinasi Covid-19. Ketika masyarakat, baik nasional maupun global, mulai merasa jenuh dengan restriksi sosial, hasil positif uji coba vaksin yang satu per satu dikeluarkan oleh produsen vaksin dianggap menjadi angin segar di tengah segala ketidakpastian.

Pemerintah Indonesia pun sudah mengumumkan estimasi 107 juta orang yang mendapat prioritas utama vaksin dan diproyeksikan dimulai pada pekan ketiga Januari 2021. Bahkan, secara teatrikal, sebanyak 1,2 juta dosis vaksin Sinovac sudah tiba di Indonesia awal pekan ini untuk memastikan pelaksanaannya.

 

Akan tetapi, dengan segala potensinya, vaksin bukan senjata pamungkas untuk mengatasi pandemi ini. Ada banyak keterbatasan dan potensi masalah yangg harus dimitigasi sejak awal penyusunan rencana implementasinya. Bagaimana prioritas disusun, rencana distribusi dan pendataan, pasokan logistik, dan isu keadilan sosial dapat menjadi masalah serius beberapa bulan ke depan jika tidak diantisipasi dengan baik.

 

Persoalan pertama muncul pada daftar prioritas penerima vaksin.

 

Polemik prioritas

Persoalan pertama muncul pada daftar prioritas penerima vaksin. Kriteria utama prioritas adalah usia muda (19-59 tahun), tidak memiliki penyakit komorbid, tidak sedang hamil, dan belum pernah terinfeksi Covid-19. Ketiga kriteria itu menempel pada kelompok tenaga kesehatan, pekerja area publik, tenaga pendidik, tokoh masyarakat, dan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama yang mendapat bantuan iuran.

 

Daftar prioritas ini berbeda, bahkan dapat dianggap berkebalikan, dengan daftar prioritas yang disusun negara lain. Inggris dan Amerika Serikat, misalnya, menempatkan orang berusia 50 tahun ke atas dan mereka yang memiliki risiko tinggi mengalami gejala berat dan kematian jika terinfeksi sebagai prioritas utama setelah tenaga kesehatan.

 

Perbedaannya terletak pada jenis vaksin yang dipilih. Pfizer dan Moderna mengikutsertakan lebih dari 7.000 orang berusia lebih dari 65 tahun dan lebih dari 5.000 orang di bawah 65 tahun dengan penyakit penyerta. Ini tidak dilakukan dalam uji coba Sinovac yang hanya mengujicobakan vaksin pada orang berusia 19-59 tahun sehingga belum dapat memberikan bukti sahih terkait penggunaannya pada kelompok usia tua dan orang dengan penyakit komorbid.

 

Lalu, apakah vaksin ini memberi manfaat jika orang-orang yang justru memiliki risiko tinggi tidak mendapat prioritas?

 

Dianbil dari Kompas.id

Manfaatnya tetap ada, tetapi harus dipahami dan diantisipasi secara kritis. Jika tidak, kebijakan yang ditetapkan akan mubazir. Tidak efektif biaya. Tidak efektif sumber daya.

 

Efektivitas vaksin yang dilaporkan dalam beragam studi adalah efektivitas mencegah gejala ringan-sedang, gejala berat, dan kematian. Moderna mengklaim bahwa efektivitasnya mencegah munculnya gejala terkait Covid-19 terkonfirmasi mencapai 94,1 persen.

 

Bahkan, jika luaran efektivitasnya diubah menjadi ”efektivitas mencegah gejala berat”, efektivitasnya melonjak menjadi 100 persen. Demikian pula hasil rilis Pfizer dan BioNTech yang mengklaim efektivitas 95 persen.

 

Yang perlu dicatat adalah belum ada bukti efektivitas pada orang yang terinfeksi, tetapi tidak bergejala (asimtomatik). Padahal, terinfeksi Covid-19 sering tidak bergejala, tetapi tetap berpotensi tinggi menularkan kepada orang lain.

 

Orang-orang muda dan tidak punya penyakit komorbid cenderung tidak menampilkan gejala infeksi—biasa disebut sebagai orang tanpa gejala (OTG). Namun, mereka sangat berpotensi menjadi sumber penularan kepada yang lain.

 

Justru mereka yang berisiko tinggi itulah yang berpotensi membutuhkan layanan rumah sakit dan akan tetap membebani layanan kesehatan.

 

Jika hanya kelompok ini yang divaksin, sedangkan kelompok risiko tinggi tidak mendapat prioritas, potensi transmisi penyakit tetap tinggi. Justru mereka yang berisiko tinggi itulah yang berpotensi membutuhkan layanan rumah sakit dan akan tetap membebani layanan kesehatan.

 

Jika beban layanan kesehatan tak tereduksi secara optimal, beban ekonomi akan tetap stagnan, bahkan meningkat. Atau setidaknya, menjadi kebijakan yang tidak efektif biaya.

 

Proteksi risiko tinggi

Jika prioritas ini tetap dilaksanakan, kebijakan tambahan dibutuhkan dengan mengidentifikasi kelompok risiko tinggi dengan tepat. Siapa saja yang masuk kelompok ini harus dirumuskan dalam sebuah konsensus bersama. Seberapa besar proporsinya, dan di mana saja sebarannya, harus dapat dipetakan.

 

Kedua, mereka harus terlindungi dari potensi transmisi dengan tetap menganjurkan restriksi mobilitas, tidak bersosialisasi dalam kerumunan, dan menjaga jarak dengan ketat. Ketika psikologis masyarakat sudah jenuh, hal ini bukan persoalan sederhana, apalagi jika ada kebutuhan ekonomi yang harus ditunaikan. Maka, setelah dipetakan, kelompok ini harus mendapat proteksi sosioekonomi yang cukup.

 

Dengan begitu, program vaksinasi dengan prioritas seperti ini tidak sekadar bicara tentang anggaran pemenuhan vaksin, tetapi juga kebutuhan proteksi sosioekonomi masyarakat yang ”tidak beruntung” karena tidak mendapatkan prioritas vaksin.

 

Jika tidak, akan muncul ketidakadilan sosial dan berpotensi memunculkan persoalan kesehatan baru di tengah masyarakat. Dan, dengan terungkapnya kasus korupsi bantuan sosial Covid-19, langkah ini menjadi sangat krusial untuk disiapkan sejak dini.

 

Produksi vs kebutuhan

Persoalan ketiga adalah keseimbangan antara produksi dan kebutuhan. Dengan asumsi bahwa 107 juta target membutuhkan dua dosis vaksin, ditambah rerata ketidakterpakaian (wastage rate) 15 persen, kebutuhan totalnya 246,5 juta dosis.

 

Menteri Riset dan Teknologi sempat mengklaim kemampuan produksi satu miliar dosis vaksin per tahun, tetapi asumsi tersebut tampak berlebihan. Kapasitas produksi Bio Farma saat ini diklaim berkisar 16 juta-17 juta per bulan, tetapi itu pun bergantung pada suplai dari Sinovac dan tidak akan tercapai maksimal pada periode awal. Untuk mencapai total kebutuhan dosis, dibutuhkan waktu 14,5 bulan. Pasokan 6,6 juta dosis vaksin dari China hanya memperpendeknya menjadi 14 bulan.

 

Kerja sama dengan produsen vaksin lain dapat mempersingkat pencapaiannya, terutama untuk kelompok vaksin mandiri.

 

Kerja sama dengan produsen vaksin lain dapat mempersingkat pencapaiannya, terutama untuk kelompok vaksin mandiri. Namun, bagaimana mengadu prioritas tersebut dengan kebutuhan vaksin bagi kelompok risiko tinggi—yang semestinya dapat memanfaatkannya sebagai alternatif? Selain itu, alternatif tersebut juga berpotensi menimbulkan kesenjangan baru antarkelompok masyarakat karena kendala teknis penyimpanan, distribusi, jangkauan harga, dan kesiapan infrastruktur.

 

Keadilan distribusi

Dengan ketersediaan vaksin yang terbatas dan ada pengelompokan ”wajib” dan ”mandiri”, potensi ketidakseimbangan dan ketidakadilan sebaran harus direduksi seminimal mungkin. Bagaimana menjaga kesetimbangan ketersediaan pada dua kelompok tersebut agar tidak terjadi kekosongan di kelompok ”wajib” akibat pasokan lebih banyak tersedia di kelompok ”mandiri”: 32 juta vs 75 juta.


Permasalahan uji usap dan PCR sudah memberikan pelajaran bermakna tentang kendali harga dan pemerataan distribusi, dan potensi penyelewengan dana pada pengadaan dan distribusi dengan jumlah rupiah yang besar ini perlu pengawasan yang sangat ketat.

 

Persoalan terakhir adalah pendataan. Ada hampir 27 juta peserta JKN penerima bantuan iuran (PBI). Seberapa baik data yang tersedia saat ini? Pengalaman pengiriman bantuan sosial dan target kepesertaan Jamkesmas, Askeskin, dan JKN PBI yang salah sasaran menjadi peringatan dini bagaimana data harus dapat dikelola dengan baik hingga ke akar rumput.

 

Jauh sebelum daftar prioritas diumumkan pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga tingkat RT/RW telah berinisiatif menyusun daftar warga penerima vaksin Covid-19. Bagaimana data pemerintah dapat sinkron dengan pendataan yang secara mandiri dilakukan warga? Bagaimana jika ada warga yang belum terdaftar sebagai peserta JKN PBI, tetapi dianggap layak menerima prioritas vaksin?

 

Pekerjaan rumah pemerintah adalah mengomunikasikan semua hal ini dengan jernih dan transparan. Tidak perlu lagi ada informasi yang ditutup-tutupi, bahkan melakukan fabrikasi kabar baik tanpa dasar ilmiah yang jelas.

 

Pemerintah harus mampu mendudukkannya dengan seimbang. Kunci utama pengendalian pandemi ini berasal dari kepercayaan publik. Dari mana kepercayaan itu dapat dibangun? Dari gestur kebijakan yang diambil—yang runut, berbasis ilmiah, dan transparan.

 

*Ahmad Fuady
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Tulisan asli dapat dilihat di Kompas.id

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan