/

Sunyi Suara Dokter

9 mins read
15

Presiden Jokowi resmi menunjuk Dr Terawan Agus Putranto, SpRad (TAP) menjadi Menteri Kesehatan periode 2019-2024. Keputusan yang menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan dokter, bahkan setelah Majelis Kode Etik kedokteran (MKEK) dikabarkan telah mengirimkan saran penolakan terhadap penunjukan tersebut. Bagi kalangan dokter secara umum yang mengikuti fatwa MKEK, TAP dinilai bercela. Tapi, tidak sedikit pula yang mendukung dan bersuka cita, terutama mereka yang pernah mendapat imbas positif dari metode Digital Substraction Angyography (DSA) -nya yang terkenal.

Pengabaian

Penunjukan TAP sebagai Menteri Kesehatan – sekaligus pengabaian terhadap rekomendasi MKEK, jika surat itu benar adanya – mengindikasikan sunyinya suara dokter dan institusi kebesarannya yang justru tengah berulang tahun pada 24 Oktober. Ini kado terburuk bagi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dalam terma sarkastik, penunjukan ini juga adalah sebuah penghinaan.

TAP, bagaimanapun suksesnya ia di mata para pasiennya, tetap dianggap bersalah telah melanggar etik kedokteran. Ia diputus melanggar salah satu diktum bahwa dokter wajib menghindari perbuatan memuji diri dan wajib berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan penemuan baru atau teknik pengobatan yang belum teruji secara medis sehingga dapat menimbulkan keresahan di masyarakat. Teknik DSA-nya dianggap tidak memenuhi kaidah uji medis ilmiah meski telah dipublikasikan di sebuah jurnal ilmiah minim indeks, Bali Medical Journal (menggunakan singkatan BMJ sebagai mimikri terhadap British Medical Journal).

Presiden mungkin tak memahami bagaimana profesi medis bekerja. Mereka bersentuhan langsung dengan manusia sehingga harus memastikan bahwa apa yang dilakukannya benar-benar aman, efektif, bermanfaat, dan tidak menimbulkan bahaya; dan semuanya harus ditunjukkan dalam bukti ilmiah yang terverifikasi. Satu metode dapat bermanfaat bagi sekelompok orang dengan kondisi tertentu, namun tidak bermanfaat, bahkan berbahaya, bagi kelompok lainnya. Bukti ini harus dipaparkan secara jernih, dinilai dengan cermat oleh para profesional, disampaikan dengan jelas kepada masyarakat, dan dikelola dengan baik oleh pengampu kebijakan. Tujuannya jelas agar dapat memberikan manfaat luas dan meminimalisir keburukan yang mungkin terjadi. Namun, sejak kontroversi pelanggaran etik TAP dan penyelesaiannya yang berlarut-larut, kondisi ideal ini belum juga tercapai.

Bagaimana mungkin sebuah institusi pemerintahan yang bertugas memastikan layanan kesehatan tersedia bagi seluruh populasi dipimpin oleh seseorang yang dianggap telah melanggar prinsip etik profesi? Di sinilah letak bias keputusan Presiden Jokowi yang perlu dikritisi.

Presiden memang tak diminta mampu memahami kode etik seluruh profesi di negeri ini. Namun, Presiden setidaknya harus memahami keputusannya dalam konteks program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS)-nya yang dulu dielu-elukan di awal kampanye periode pertama. Presiden harus menjawab bagaimana ia menempatkan rakyatnya dalam situasi yang aman, bebas marabahaya, dengan memperhitungkan segala nilai positif dan negatif-nya secara cermat dan bermartabat.

Pengabaian Presiden Jokowi dan timnya terhadap putusan ini menjadi preseden buruk analisis Presiden dalam membuat keputusan. Ia tidak mendapatkan masukan yang jernih, dan dapat dianggap merusak hubungan dengan institusi dokter yang semestinya diayomi dan ditanggapi dengan bijaksana. Terlebih, Presiden membutuhkan dukungan penuh dari dokter dan institusinya dalam menyukseskan program JKN. Di tengah upaya mencapai universal health coverage yang didambakan seluruh negara di dunia, Presiden justru mengganggu arah kendalinya sendiri.

Koreksi balik

Tetapi, ketidakpahaman Presiden adalah puncak gunung es dari ketidakpahaman masyarakat luas terhadap praktik kedokteran dan prinsip-prinsipnya.Ini semestinya menjadi kritik balik terhadap praktik profesi dokter dan institusi yang menaunginya. Apa yang dianggap baik dan benar tidak berarti baik dan benar pula di mata masyarakat umum dan pasien. Apa yang dianggap salah dalam praktik kedokteran, bisa jadi adalah berkah bagi pasien.

Menumpuknya pasien metode DSA dari beragam kalangan menunjukkan hal itu. Tak perlu disebut siapa saja yang sempat mencecap ‘khasiat’-nya. Meski tak ada bukti ilmiah, pasien tak pernah ragu untuk mencari pengobatan yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan sakitnya. Fenomena ini juga terjadi pada pengobatan alternatif. Seberapa pun muskilnya, semahal apapun, pasien akan terpacu datang dengan rasa keingintahuan, hasrat kesembuhan, dan ikhtiar yang dimaksimalkan. Salahkah mereka –yang jika kemudian datang le ruang gawat darurat dengan luka tumor bernanah penuh dengan pulasan obat-obat ‘herbal’? kelirukah mereka jika setelah mendapat pengobatan tak terverifikasi evidence-based medicine (EBM), lalu merasa bugar kembali, namun kemudian pergi ke rumah sakit dengan kondisi yang hampir tak dapat diselamatkan lagi?

Kedokteran memang bukan seperti bengkel mobil. Ia berhadapan dengan manusia –makhluk unik yang dipenuhi jutaan sel, respons neuron, sekaligus pikiran dan perasaan. Terma evidence-based barangkali terlalu sulit dipahami masyarakat umum. Yang ada di benak mereka adalah persepsi rasa sembuh, segar, dan bugar. Persepsi itu tidak dipapatkan dalam materi booklet satu bundel atau siraman talkshow satu jam, tetapi memori berkepanjangan hasil dari pengalaman dan asupan komentar dari rekan-rekan sekeliling. Sesuatu yang sulit dipahami oleh banyak filsuf dan saintis sejak berabad lalu.

Kontroversi TAP dengan DSA dan penunjukannya sebagai menteri semestinya menjadi penanda baru dan alarm bagi dokter untuk bangun dari tidurnya sendiri. Sekian abad, dokter menjelma makhluk suci yang dielu-elukan dan dipancang sebagai cita-cita mulia untuk menolong orang. Gambaran itu kemudian perlahan luntur setelah terkena disrupsi geliat ekonomi. Mengakses layanan kesehatan hampir selalu membocorkan kas rumah tangga. Menemui dokter seringkali hanya sekejap mata. Komunikasi terbengkalai. Pasien merasa hampa pada apa yang mereka buang ke kasir rumah sakit dan bawa kembali di lembar resep obat yang harus ditebus. Padahal mereka –para pasien sendiri – yang memburu dokter dengan intuisi mencari waralaba: di mana ruang tunggu panjang dan padat, di situlah obat mujarab bagi penyakit saya.

Tentu tak semua dokter demikian. Tulisan ini mungkin terlalu naif dan menyederhanakan masalah. Tetapi, dengan ribuan problem JKN dan BPJS Kesehatan yang tak tuntas, dokter tak diajak kembali ke ruang utamanya sebagai pelayan. Mereka menjadi buruh yang disekap pembayaran murah. Mereka menjadi pekerja kerah putih dengan status tinggi, tetapi minim penghargaan. Mereka menjelma sekadar petugas yang selalu gamang di batas keraguan: ingin menuntut hak pembayaran yang layak dalam persepsinya di satu sisi, namun tersekap dalam misi berdarma bakti dan mengikhlaskan diri.

Suara sunyi

Dari kontroversi Menkes hari ini, dokter dituntun kembali untuk merenungi konsepnya sendiri tentang bintang lima: pemimpin komunitas, komunikator, pengelola, pembuat keputusan, dan penyedia jasa layanan kesehatan. Ternyata, memang tak cukup hanya handal di satu aspek agar suaranya didengar. Ia harus didorong untuk menjadi komunikator yang istimewa dan pemimpin yang kuat, bahkan di luar area kekuasaannya. Dokter seringkali kalah dalam pertarungannya dengan suara publik. Ia tak punya posisi tarung yang mapan, daya tawar yang kuat, dan kelihaian linguistik yang lentur.

Barangkali, dokter hari ini memang tengah kehilangan suaranya sendiri yang tercecer di ruang praktik – disandera kelelahan menghadapi deretan pasien yang tak tuntas ditangani sehari semalam. Sistem yang tak manusiawi itu juga menjadi bagian dari pekerjaan rumah TAP, Pak Menkes yang baru. Ia adalah direktur rumah sakit yang berpengalaman terhadapan terjangan badai pasien, minimnya suplai dana, dan terbatasnya sumber daya. Jika dulu ia punya DSA sebagai resep mujarab mengobati defisit rumah sakitnya, kini ia harus memutar otaknya ke ruang implementasi yang jauh lebih besar –dari Sabang sampai Merauke, dari orang kere sampai pura-pura kere, dari Puskesmas mewah di tengah kota hingga Pustu reot di belantara desa. Ia juga akan berhadapan dengan dokter yang parau suaranya karena terhimpit JKN. Dan, sekarang ia sendiri yang akan memilih: mendengarkan suara parau itu atau terus mengabaikannya agar tetap sunyi seperti sedia kala.

Selamat ulang tahun, Ikatan Dokter Indonesia! Kado yang indah tahun ini. Semoga.

Rotterdam, Oktober 2019

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

15 Comments

  1. itu tantangan bagi MKEK untuk memperjuangkan harga dirinya. meski lemah dia harus mampu mensuarakan ke rakyat via DPR.

    • Narasi & diksi yg digunakan sudah cukup baik. Namun menurut saya, tulisan yang lumayan panjang ini justru menghasilkan keambiguan. Ibarat seseorang sedang bikin kue dgn bahan2 yang lumayan berkualitas tapi setelah jadi kue, malah memberikan rasa yg tidak jelas.

      Hal lainnya, saya mengutip kalimat “Jika dulu ia punya DSA sebagai obat mujarab mengobati defisit rumah sakitnya.” Menurut saya kalimat ini kurang tepat, karena DSA itu diterapkan sebagai sebuah metode terapi, bukan metode pemasaran.

      Dirgahayu IDI. Semoga tingkat dan mutu kesehatan masyarakat dan lingkungan di Indonesia terus dan semakin meningkat dengan target yang setinggi-tingginya.

  2. Beri kesempatan TAP u bekerja. Terlalu besar tugas yg harus dikerjakan dibanding meributkan masalah etik beliau. Biarlah saat ini soal etik jadi catatan MKEK dan IDI.
    Faktanya saat ini presiden sdh memberi kepercayaan kpd TAP u jadi Menkes
    Kepentingan meningkatkan derajat kes masyarakat harus dikedepankan lbh dulu. Bgmn memperbaiki kinerja layanan bpjs? BPJS yg mampu jadi harapan masyarakat, sekaligus mensejahterakan para dokter sbg salah satu unsur pelaku kesehatan.
    Bgmn memberantas penyakit menular spt TB, HIV, filariasis, DBD dll. Bgmn mengurangi prevalensi penyakit2 milenial spt peny jantung, stroke, hipertensi, DM , dll.
    IDI sbg garda terdepan dalam pelayanan kesehatan seyogyanya segera berbenah. Memandang kedepan u bersinergi dg kemenkes lebih baik daripada bersikap sebaliknya. Sinergi IDI dan kemenkes , selain berdampak positif bagi IDI dan anggotanya, yg lebih ptg adalah bermanfaat bagi masyarakat luas. Sy yakin IDI akan bersinergi dgn Kemenkes, InsyaAlloh.

    • Masalah etiknya permukaan, dasar nya adalah pola pikir yg salah. Apakah boleh dibiarkan pondasi yg keliru itu bertumbuh?
      Menjadi dosa jamaah?

      • Dokter Masa kini, memandang perubahan landscape Masa kini, masih dipandang dengan yesterday logic. Dokter Masa kini tidak mampu mengantisipasi turbulensi2 yg terjadi Masa kini.
        Dokter Masa kini harus mulai memikirkan profesionalisme pada Masa kini harus dipahami sebagai sesuatu YG dinamis, laksana air YG mengalir sesuai dgn lingkungannya. Pola pikir kolaborasi Dan agility dlm mengupayakan kesesuaian landscape harus menjadi upaya komprehensif seluruh dokter dibawah naungan IDI.
        Selamat hari IDI. Semoga IDI menjadi organisasi Profesi YG disegani Dan menjadi Mitra pemerintah dlm upaya meningkatkan kualitas pelayanan yg etis Dan profesional. Dirgahayu IDI.

  3. Masalah etik menurut saya hal utama yg tidak dapat dibiarkan. Tapi saat ini masyarakat dan mungkin jajaran petinggi tidak paham akibat banyaknya informasi simpang siur. Saya sempat mendengar bahwa surat belum resmi dikeluarkan, atau sejenisnya. Alangkah baiknya kalau IDI menjelaskan secara komprehensif dengan bukti2 yg lengkap, bukan hanya selembar surat. Atau mungkin sudah dilakukan?

  4. Mengapa presiden sangat yakin bahwa pelanggaran kode etik yg dikatakan IDI itu tidak mengalahkan reputasinya sebagai jenderal? KSAD juga melantiknya…sebaiknya kalau pengurus IDI yg memutuskan sangsi itu..ramai ramai mengundurkan diri…masih banyak teman sejawat yg menjual jam tangan laser yg bisa untuk ini dan itu..tapi IDI masih bungkam seribu bahasa…karena kalau tidak benar…masjarakat yg tergoda bisa dirugikan…

  5. Sependapat dengan apa yg sdh disampaikan. Tantangan dunia kedokteran indonesia menghadapi jaman yg terus berubah. Etika, profesional, ekonomi dan politik..semua saling mempengaruhi. Tergantung kearah mana yg kuat menariknya. Tugas dan tanggung jawab IDI yg bisa membalans semua kondisi ini, sesuai jati diri Dokter Indonesia.

Tinggalkan Balasan ke dr. Muhammad Yunus, M.Kes Batalkan balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan