Ayahku Harun, Pamanku Musa

9 mins read

Perjanjian Hudaibiyah menjanjikan ketenangan temporer antara Madinah dan Mekkah sehingga perhatian Muhammad ﷺ mulai dilancarkan ke penjuru yang lain: Khaibar. Di situlah bermukim Yahudi Khaibar – koloni Bani Israil terkuat di jazirah Arab, paling kaya, dan paling kuat persenjataannya. Di sana, mereka membangun benteng tangguh dengan skuadron pasukan militer berjumlah besar sambil menunggu-nunggu kapan mereka akan memulai pertikaian lagi dengan blok Madinah.

Awalnya mereka berniat membangun pakta pertahanan baru: blok Khaibar-Nadhir-Wadil Qura-Taima – yang dengannya akan dengan sigap menyerang Madinah. Suku Ghatafan yang dulu sempat bentrok dengan Muhammad ﷺ juga diharapkan ikut serta dalam blok mereka. Tetapi, niat itu urung. Ghatafan tak jadi bergabung. Maka, orang-orang Khaibar mengubah skenario dengan hanya menanti kedatangan kaum muslimin ke benteng mereka.

Muhammad ﷺ bukan membenci Yahudi setengah mati karena agama nenek moyang mereka. Muhammad ﷺ kali ini adalah pemimpin sosial dan politik yang menghendaki kestabilan masyarakat sekaligus menegakkan prinsip interaksi sosial yang harus saling menghargai, meneguhkan komitmen, saling percaya, dan menumpas khianat. Yahudi, sebaliknya, selalu mencemburui risalah kenabian Muhammad ﷺ dan dengannya selalu memantik pertikaian dan destabilisasi regional untuk menggulingkan persona Muhammad ﷺ yang dianggap mereka membahayakan. Inilah duri dalam daging yang menyakitkan, yang harus ditumpas Muhammad ﷺ. Tanpa itu, mereka akan terus iritatif, merongrong, dan membahayakan masyarakat jazirah Arab secara keseluruhan.

Pada hari itulah, setelah tiga hari perjalanan ditempuh, 1600 pasukan muslimin tiba di tepi benteng Khaibar yang kokoh. Bentrokan fisik besar akan dimulai. Quraisy di Mekkah memilih menjadi penonton sambil tertawa-tawa sendiri dan membayangkan bagaimana pasukan Muhammad ﷺ akan mengalami kerepotan luar biasa di Khaibar.

Memang benar perang itu berlangsung alot. Benteng Khaibar berlapis-lapis. Tujuh jumlahnya. Abu Bakar dan Umar yang diberikan kuasa panglima di beberapa hari pertama tak juga berhasil menaklukkan benteng pertama Khaibar. Ali bin Abi Thalib yang ditunjuk kemudian, “Sampai Allah memberikan kemenangan kepadamu,” kata Muhammad ﷺ. Di bawah Ali, benteng Na’im ditaklukkan, diikuti benteng Qamush dan benteng Sha’ab. Pertarungan alot terus berlangsung di benteng Zubair sampai akhirnya pasukan muslimin memutus saluran air dan memaksa pasukan Yahudi bertempur frontal di depan. Setelahnya, benteng Watih, Sulalim, dan Katiba juga runtuh – menemani runtuhnya semangat dan keyakinan orang-orang Khaibar.

Putus asa mulai meranggas di dada-dada orang Khaibar. Mereka mulai balik membayangkan nasib seperti apa yang diterima kawan-kawan mereka di Bani Quraizah. Kekuatan yang superbesar itu nyatanya tak sanggup menandingi semangat dan kesatuan pasukan muslimin. Problem utama mereka terlihat jelas. Orang-orang Khaibar tak punya satu suara karena problem internal yang mendekap mereka dalam upaya stategi perang ini. Semangat kesukuan telah pudar dan mereka memilih berdiri sendiri-sendiri dalam benteng masing-masing, alih-alih menyatukan kekuatannya dalam satu strategi kompak.

Cerai berai menjadi petunjuk besar kekalahan. Angka yang besar tidak dapat menjamin apapun jika tidak diikat tali persatuan. Semangat kesukuan tidak memberikan sumbangan kekuatan apapun jika masing-masing menonjolkan diri tanpa pemahaman bersama. Padahal, dalam perang, dan penuntasan problem apapun di masyarakat, persatuan adalah kata kunci kemenangan – seberapapun tidak sepakatnya kita pada keputusan akhir yang dipilih.

Di meja musyawarah, kita adalah panglima dengan pedang ide masing-masing, dengan pengetahuan dan keterampilan masing-masing, dengan pengalaman dan keluasan pandang masing-masing. Tetapi, ketika keputusan telah ditetapkan, kita hanyalah pendekar yang sami’naa wa atha’naa; kami dengar dan kami taat menjalankan putusan.

Itu pula kekuatan kaum muslimin di bawah Muhammad ﷺ yang pada akhirnya menaklukkan Khaibar. Melihat Khaibar terkepung, satu per satu dari orang Yahudi maju dan menyerahkan diri. Mereka menawarkan semua harta benda untuk diambil, asalkan bukan nyawa mereka yang ditebas. Banyak yang menduga permohonan mereka tak akan dikabulkan oleh Muhammad ﷺ karena pengalaman di Quraizah (Baca kisah Bani Quraizah di ‘Harga Khianat’). Tetapi, tidak. Muhammad ﷺ memutuskan hal yang berbeda kali ini. Mereka dimaafkan. Mereka boleh tetap tinggal di kampung-kampung mereka. Mereka akan tetap mendapat imbalan separuh dari buah-buahan hasil tanam mereka. Mereka dibiarkan hidup berdamai di bawah payung kekuasan Madinah. Mereka dibiarkan tetap menggenggam Taurat mereka yang tersisa.

Muhammad ﷺ sekali lagi membuktikan bahwa kehadirannya bukan untuk menumpas orang yang berseberangan dengannya, bukan menghabisi orang yang membencinya, bukan membabat habis keyakinan agama yang lain dengannya, tidak membakar hangus dan menginjak-injak kitab suci orang lain seperti ketika Romawi menaklukkan Jerussalem. Muhammad ﷺ datang dengan kasih sayang bagi semesta alam. Peperangan adalah instrumen darurat dan perangkat akhir untuk menundukkan percikan kebencian. Ketika kebencian itu dianggap telah musnah, telah tenang dalam dekapan kekuasaan Islam, telah meredup oleh cahaya benderang agama ini, perang adalah hal muskil yang terus dilanggengkan.

Dengan begitu, orang-orang Yahudi Fadak dan Wadil Qura pun menyerahkan diri. Mereka berjanji tak akan berbuat onar lagi meski selalu ada sempalan dari kelompok mereka yang mendendam. Seorang perempuan bernama Zainab binti al Harits berupaya meracuni Muhammad ﷺ dalam jamuan daging di Wadil Qura meski tidak berhasil. Bukan tak mungkin orang-orang sempalan semacam Zainab yang terus berlaku demikian karena mereka tak juga yakin kepada kenabian dan persahabatan Muhammad ﷺ dengan agama mereka.

Muhammad ﷺ sebenarnya memiliki kesempatan besar untuk melakukan apapun yang ia inginkan untuk menekan dan menghabisi setiap potensi pemberontakan dan pengkhianatan. Pilihan yang sangat mungkin akan kita ambil ketika berada dalam posisi demikian, ketika orang terus mengalirkan darah kebencian dan permusuhan kepada kita, ketika serangan-serangan terus diluncurkan kepada kita.

Tetapi Muhammad ﷺ memiliki strategi profetik yang tak kita kuasai. Muhammad ﷺ pada saat itu justru memilih memerdekakan tawanan perempuan yang juga merupakan anak pemuka Yahudi Nadhir, Huyay bin Akhtab. Perempuan itu, Shafiyya. Umurnya masih belia. Ketika ditawarkan untuk memeluk Islam, Shafiyya dengan senang hati menyambutnya tanpa hambatan apapun. Muhammad ﷺ mempersuntingnya sebagai istri.

Keputusan Muhammad ﷺ mempersunting Shafiyya bukan tanpa ganjalan. Banyak sahabat, bahkan istri-istri Muhammad ﷺ, yang masih menyimpan keraguan terhadap perempuan itu – khawatir jika masuknya ia ke dalam Islam dan penerimaannya menjadi istri Muhammad ﷺ hanyalah sandiwara untuk menikam Muhammad ﷺ dari belakang. Ayahnya juga memberi bekas pada memori buruk bagi banyak sahabat, termasuk para istri yang lebih dulu tinggal di bilik Muhammad ﷺ. Memori itu seolah tak dapat dihapus seluruhnya dan menjadi beban masa lalu yang ditanggung Shafiyya. Darah Yahudi yang mengalir di dalam tubuhnya seperti dosa yang tak pernah luruh. Setiap kali istri-istri Muhammad ﷺ bersinggungan dengan Shafiyya, ada saja omongan buruk tentang ayahnya dan kecurigaan yang disimpan terhadapnya.

Kita memang sulit melupakan kesalahan orang lain dan kerap mengungkitnya sebagai dalih untuk mencurigai dan membenci orang lain. Kita sulit menghapus memori beban masa lalu orang lain tanpa membuka ruang untuk memaafkannya dan menerimanya dengan lapang. Mereka yang pernah salah selalu nampak salah pula di mata kita. Mereka yang berada dalam garis keturunan yang keliru pada pandangan kita selalu terlihat keliru pula dalam perspektif masa depan kita.

Maka, Muhammad ﷺ menarik garis tegas. Dosa tidak dapat diturunkan. Kesalahan tak dapat diwariskan. Apa yang menjadi beban masa lalu para leluhurnya bukan lagi isu yang harus ditumbuhkan dengan pupuk kebencian dan kecurigaan selama telah nyata bukti kesetiaannya terhadap agama yang baru dipeluknya.

Jika para istri Muhammad ﷺ, dan orang-orang lain di sekitarnya, mengungkit-ungkit tentang keburukan ayahnya, Muhammad ﷺ hanya berpesan kepada Shafiyya untuk menjawab, halaa qulti inna abiy Haaruun wa inna ‘ammiy Muusaa. Katakan kepada mereka yang meragukanmu, “Ayahku adalah Harun, dan pamanku adalah Musa.”[1] Agar ruang kebencian tertutup. Agar segala keraguan menguap.

Ahmad Fuady

Rotterdam, 1441

[1] Hr Imam Tirmidzi

Gambar fitur diambil dari: http://catatanmusafirmuda.blogspot.com/2017/10/yaumul-asyura-ketika-umat-islam.html

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan