Terorisme Pengobatan Alternatif

7 mins read

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Jakarta akhirnya memanggil lima stasiun swasta yang menayangkan acara dan iklan pengobatan alternatif yang diduga melanggar peraturan kesehatan. Di titik ini, Kementerian Kesehatan telah mengambil langkah cepat dengan menerima pengaduan masyarakat dan melanjutkan laporannya sekaligus menyebarkan rilis informasi ke masyarakat mengenai kesalahan dan pelanggaran ini. Namun, selesaikah permasalahannya?

Cuplikan tayangan yang heboh dibagi dalam jejaring sosial dalam dua hari terakhir ini hanya eksaserbasi dari masalah laten yang belum tertangani dengan baik. Gejalanya muncul lagi, tetapi etiologinya belum tuntas diberantas. Di tahun 2012, KPI juga telah memberikan teguran terhadap penayangan iklan pengobatan tradisional yang salah satunya adalah figur yang sama dengan yang muncul dalam cuplikan tayangan belakangan ini. Setelah teguran diluncurkan, iklan berhenti beredar. Tetapi, praktik tetap berjalan seperti biasa.

Apa yang menjadi masalah sebenarnya? Iklan yang keliru dan sampai ke masyarakat, atau praktik yang tidak sesuai dengan kaidah? Toh, tanpa iklan yang digembar-gemborkan hampir setiap pekan dalam acara rutin di stasiun televisi pun, masyarakat tetap mencari pengobatan alternatif. Kanal informasi publik ditutup, tetapi praktik tetap berlangsung dan masih dapat diakses oleh siapa saja yang berkeinginan.

Mereka yang mencari dan datang ke pengobatan alternatif bukan datang tanpa alasan. Seringkali anggapan bahwa mereka yang mengakses pengobatan alternatif didominasi masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas dan pendidikan menengah ke bawah. Di banyak tempat pandangan itu benar, tapi di sebagian tempat lain tidak. Selain banyaknya pengobatan alternatif murah, bahkan dapat membayar cuma-cuma, pengobatan alternatif dengan publikasi yang gencar semacam Jeng Anna –sebagai contoh, dapat menguras kantong ‘pasien’ dengan harga yang tidak murah. Bahkan, mereka mampu membeli slot tayangan setengah jam, terutama di stasiun televisi lokal sebagai bagian promosi. Ini mengindikasikan bahwa pasar pengobatan alternatif memiliki sebaran pasar yang cukup luas hingga mencakup mereka yang berduit dari kelas menengah ke atas.

Alasannya seringkali sederhana. Pasien merasa bahwa pengobatan klasik-modern melalui fasilitas layanan kesehatan tidak memberikan dampak yang menggembirakan bagi kondisi kesehatan mereka. Mereka kecewa, hampir putus asa, dan mencari alternatif lain yang dianggap mampu memberikan hasil yang lebih baik.

Tapi, apa yang diharapkan dari pengobatan yang secara medis memang tidak dapat disembuhkan, misalnya kanker atau diabetes? Di luar dari iming-iming yang dibalut ‘promosi dusta’ dan ‘pembodohan’, masyarakat belum dapat menerima sepenuhnya jika harus menghadapi situasi penyakit yang ‘tidak dapat disembuhkan’.

Praktisi medis akan berbicara tentang bukti ilmiah dan menyerang praktisi pengobatan alternatif dengan dalih bahwa pengobatan yang mereka lakukan tidak memiliki bukti yang valid secara ilmiah. Metode digugat, baik melalui peraturan maupun framing informasi di media sosial. Penyerangan itu agresif, terutama ketika ada kasus eksaserbasi ini, namun terbatas pada perangkat keras (hardware) dari sistem kepercayaan (belief system) masyarakat. Dengan begitu, masyarakat baru dapat mengidentifikasi mana penyedia layanan yang benar dan salah dilihat dari konteks kedokteran modern dengan basis bukti ilmiahnya.

Sayangnya, perangkat lunaknya (software) dari sistem kepercayaan (belief system) masyarakat belum tersentuh dengan tepat. Mereka yang datang ke pengobatan alternatif kebanyakan merupakan mereka yang tidak terpenuhi kebutuhannya. Dari perspektif luaran pengobatan, penyakit mereka sama-sama tidak terobati. Tetapi, secara psikologis, mereka mendapatkan hal yang berbeda, setidaknya sampai kondisi fisiknya benar-benar menurun dan akhirnya kembali ke pengobatan modern. Ada kebutuhan yang tidak terpenuhi (unmet needs) dari pasien-pasien yang memilih pengobatan alternatif yang akar masalahnya dapat dirunut dari beberapa aspek: fisik, sosial, kemampuan aktivitas harian, emosi, finansial, dan informasi.

Anggaplah bahwa aspek finansial kini sudah teratasi sedikit demi sedikit lewat implementasi sistem asuransi sosial di bawah Jaminan Kesehatan Nasional. Aspek penting yang kerap terlupakan adalah informasi dan komunikasi.

Tentu tidak mudah menangani komunikasi pasien yang ‘divonis’ memiliki penyakit ‘yang tidak dapat diobati’. Jangankan orang awam, mereka yang dokter pun kerap sulit mengomunikasikan ini kepada kerabat terdekatnya. Kondisi ini menjadi rumit ketika pasien yang menjalani pengobatan justru mendapatkan efek samping atau mengalami komplikasi dari perjalanan penyakitnya. Pada tataran ini, kemampuan dokter dalam komunikasi, memahami latar belakang pasien, mengeksplorasi harapan dan kehawatirannya menjadi sangat krusial dan, tentu saja, membutuhkan waktu yang cukup dalam konsultasi. Sistem mungkin saja belum mendukung itu –dengan jumlah pasien yang membludak setiap hari dan waktu konsultasi ala kadarnya, selalu menjadi bagian dari apologi tersendiri.

Namun, itu tidak dapat dibiarkan. Harus ada strategi komprehensif untuk tidak melulu berfokus pada perangkat keras dan mendudukkan diri lebih banyak dalam upaya pencegahan di perangkat lunak dari sistem kepercayaan masyarakat yang ada. Komunikasi yang baik bukan saja harus diajarkan di masa pendidikan dokter, tetapi juga harus didukung oleh sistem pemberian layanan kesehatan (delivery system) yang baik. Pada sebuah rumah sakit dengan volume 80-100 pasien per hari per ruangan, apa yang dapat diharapkan dari pemenuhan kebutuhan pasien yang dipercayai bukan hanya membawa permasalahan fisiknya, tetapi juga mental dan psiko-sosialnya?

Tanpa perbaikan di sisi tersebut, ceruk pasar pengobatan alternatif akan terpelihara. Kita hanya menunggu eksaserbasi berikutnya dan menjadi heboh lagi karenanya. Pada titik ini, saya mengingat terorisme yang brutal. Beribu kali kita meyakinkan masyarakat bahwa ‘terorisme tak punya agama’, dan kita mampu mengidentifikasi simpul mana saja yang berkaitan dengannya. Tapi, benih-benih terorisme tetap muncul karena perangkat lunaknya dibiarkan tak terjamah dengan baik. Ada gap antara intensi keyakinan dan fakta yang dihadapi, dan diperparah dengan kurangnya pengetahuan yang memadai, menjadikan ceruk potensial teroris tetap terpelihara dan dimanfaatkan. Dengan kata lain, dalam istilah kawan saya, teroris muncul ketika dijumpainya ‘tidak ada negara di situ’ yang seharusnya berfungsi mengayomi.

Jika kita masih juga gagap menghadapi ini, bolehkah saya sebut ini sebagai: ‘terorisme’ pengobatan alternatif? Kita merasa tengah diteror, tetapi mereka yang secara psikologis tak terpenuhi kebutuhannya tidak menyadari mengapa mereka dipersalahkan.

Rotterdam, Ramadhan 1438

 

Foto diambil dari sini: https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2014/01/05/301763/670×335/ini-kata-kemenkes-soal-pengobatan-alternatif.jpg

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan