Vaksin dan Hal-Hal yang Belum Selesai (Bagian-2)

Jika vaksin COVID-19 diberikan kepada mereka kelompok muda tak berisiko tinggi, apa manfaatnya dalam pengendalian pandemi di Indonesia? Bukankah ini seperti menabur garam di lautan?

11 mins read
1
Source: https://www.pexels.com/@rethaferguson

(Baca tulisan BAGIAN-1 di sini)

Prioritisasi pemberian vaksin pada dewasa muda tanpa penyakit penyerta tetap dapat memberikan manfaat dalam menghambat transmisi penyakit di komunitas. Hanya saja, potensi manfaat ini harus dipahami secara kritis. Keamanan vaksin memang penting, namun memberikan vaksinasi pada kelompok risiko rendah dan tanpa kejelasan efektivitas dalam menghambat infeksi dalam menjebakkan diri dalam kemubaziran kebijakan. Tidak efektif biaya. Tidak efektif sumber daya. 

Definisi Efektivitas

Hal pertama yang perlu didiskusikan secara kritis adalah seberapa jauh efektivitas vaksin yang dimaksud. Moderna, misalnya, telah mengeluarkan pernyataan hasil ujicoba vaksinnya terhadap 30.000 partisipan. Hasilnya dianggap luar biasa, remarkable. Hanya 11 orang yang menerima dua dosis vaksin kemudian mengalami gejala COVID-19. Jauh lebih rendah dari kelompok yang diberikan plasebo – dengan 185 orang yang menunjukkan gejala COVID-19. Dari sini, produsen vaksin tersebut mengklaim bahwa efektivitasnya mencapai 94,1%. Bahkan, jika luaran efektivitasnya diubah menjadi ‘efektivitas mencegah gejala berat’, angkanya melonjak menjadi 100%. 

Pfizer dan BioNTech juga merilis hasil serupa: efektivitasnya mencapai 95%, dari 45.000 orang yang ikut dalam ujicoba. Hanya satu partisipan yang mengalami gejala berat COVID-19 setelah mendapat suntikan vaksin. 

Namun, persoalannya tidak berhenti sampai pada efektivitas mencegah gejala—dan gejala berat. Dua studi besar ini hanya menilai efektivitas dari mereka yang bergejala dan belum menjawab seberapa besar infeksi yang terjadi pada orang yang tidak bergejala. COVID-19 memiliki karakteristik yang berbeda dengan penyakit infeksi lain yang transmisinya berupaya dihambat dengan vaksinasi. Cacar, polio, atau difteri, misalnya, dapat dengan jelas terlihat gejalanya. Infeksi COVID-19 dapat tidak bergejala pada banyak orang, namun tetap memiliki potensi besar menularkan ke orang lain dengan mudah dan cepat. Ini yang belum terjawab dari berbagai laporan yang telah dirilis.

Jika vaksinasi hanya diberikan pada orang dewasa muda yang kemungkinan besar tidak bergejala berat, bahkan seringkali tidak bergejala sama sekali, potensi penularan ke orang lain—terutama yang berisiko tinggi—masih terbuka lebar. Ketika mereka yang berada dalam risiko tinggi bergejala berat justru tidak mendapatkan proteksi dari vaksin, potensi infeksi dan keparahan tetap masih besar dan akan tetap membebani layanan kesehatan. 

Gambar skematik sederhana untuk menunjukkan efektivitas yang disebutkan dalam laporan sementara produsen vaksin (lingkaran coklat tua dan muda kecil). Masih ada kelompok terinfeksi tidak bergejala yang dapat menularkan ke orang lain (lingkaran sedang oranye). Jika kelompok rentan belum/tidak divaksin, risiko bergejala berat tetap tinggi dan tetap akan menimbulkan beban layanan kesehatan yang tinggi. (Gambar: Fuady, 2020)

Maka, hasil studi vaksin harus benar-benar ditelaah secara kritis. Jika tidak, dan salah diapahami dalam penyusunan kebijakan, program vaksinasi justru hanya akan menimbulkan rasa aman palsu. Merasa cukup aman dengan menyuntikkan vaksin, namun sebenarnya lubang transmisi masih tidak tertutup dan beban layanan kesehatan tidak tereduksi. Hasilnya, beban ekonomi tetap stagnan, bahkan meningkat. Tidak efektif biaya.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang berada dalam kelompok dengan risiko tinggi?

Kelompok Risiko Tinggi

Jika prioritas ini tetap dilaksanakan, maka butuh kebijakan tambahan yang berupaya melindungi kelompok risiko tinggi. Mereka harus—pertama-tama—diidentifikasi dengan tepat. Bukan hanya mereka yang masuk dalam daftar prioritas vaksin Indonesia yang harus diidentifikasi. Siapa saja yang masuk kelompok ini harus dirumuskan dalam konsensus bersama. Seberapa besar ceruknya dan di mana saja sebarannya harus dapat dipetakan. 

Kedua, mereka harus terlindungi. Diproteksi. Shielded. Dengan begitu, mereka harus dianjurkan tetap berada dalam rumah, tidak bersosialisasi dalam kerumunan, dan tetap menjaga jarak dengan ketat. Dan, ini bukan persoalan sederhana. Semua orang sudah tak lagi betah berada dalam ruang yang dibatasi, apalagi jika restriksi mobilitas ini menganggu hajat hidupnya—dengan membuat mereka tak sanggup memproduksi pendapatan dan belanja kebutuhannya.

Maka, ketiga, mereka juga harus mendapat proteksi sosioekonomi yang cukup. Pastikan bahwa hajat hidupnya tetap tercukupi, kesehatan mental emosionalnya terjaga. Jika tidak, mereka mungkin bertahan dari COVID-19, namun tak dapat melangsungkan hidupnya lebih lama karena keterbatasan kapasitas finansial yang harus ditanggungnya. 

Dan ini berarti bahwa persoalan program vaksinasi—jika diambil dengan langkah prioritas seperti ini—tidak sekadar bicara tentang anggaran yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan vaksin, tetapi juga memenuhi kebutuhan proteksi sosioekonomi masyarakat yang ‘tidak beruntung’ karena tidak mendapatkan prioritas vaksin. Jika tidak, akan muncul ketidakadilan sosial dan berpotensi memunculkan persoalan kesehatan baru di tengah masyarakat Indonesia. 

Produksi vs Kebutuhan

Persoalan ketiga adalah keseimbangan antara produksi dan pemenuhan kebutuhan. Pemerintah menyatakan bahwa total sasaran vaksinasi sejumlah 107 juta orang. Dengan asumsi bahwa setiap orang membutuhkan dua dosis vaksin ditambah rerata ketidakterpakaian (wastage rate) 15%, maka kebutuhan totalnya sekitar 246,5 juta dosis. 

Sumber: Republika. https://www.republika.id/posts/11735/107-juta-jiwa-divaksin

 

Berapa kapasitas produksi BioFarma? Diperkirakan 16-17 juta per bulan, namun itupun bergantung pada suplai bahan dari produsen Sinovac.  Menristek Bambang Brodjonegoro mengklaim angka yang lebih fantastis bahwa BioFarma—bersama tiga perusahaan swasta lain—akan mampu memproduksi vaksin 1 miliar dosis per tahun. Asumsi yang nampaknya berlebihan, mengingat BioFarma dengan rekam jejak produksi vaksin yang panjang menyatakan baru sanggup menyediakan sekitar 204 juta vaksin per tahun dengan skenario optimal. Apakah sisanya akan ditambal oleh tiga perusahaan swasta yang rekam jejak produksi vaksinnya masih berada di belakang BioFarma? Pertanyaan yang menarik untuk diajukan sebagai bagian pondasi kepercayaan publik terhadap vaksin.

Kita abaikan saja terlebih dahulu angan-angan 1 miliar dosis itu dan melakukan kalkulasi sederhana dari kapasitas produksi yang ada. Untuk mencapai total kebutuhan dosis, dibutuhkan waktu 14,5 bulan. Lebih dari satu tahun. Angka itu akan sedikit diperkecil menjadi 14 bulan saja jika pasokan 6,6 juta vaksin yang diklaim telah dibeli pemerintah dapat dimasukkan dalam kalkulasi. Waktu yang yang dibutuhkan akan menjadi lebih singkat lagi jika kerjasama penyediaan vaksin diperlebar dengan produsen vaksin lainnya, terutama untuk kelompok vaksin mandiri. 

Namun, persoalan—lagi-lagi—tidak akan berhenti sampai di sini. 

Keadilan Distribusi

Dengan ketersediaan vaksin yang terbatas dan adanya pengelompokan ‘wajib’ dan ‘mandiri’, potensi ketidakseimbangan dan ketidakadilan sebaran harus direduksi seminimal mungkin. Bagaimana menjaga kesetimbangan ketersediaan pada dua kelompok tersebut agar tidak tejadi kekosongan di kelompok ‘wajib’ akibat pasokan lebih banyak tersedia di kelompok ‘mandiri’: 32 juta vs 75 juta. Polemik uji swab dan PCR sudah memberikan pelajaran bermakna tentang kendali harga dan pemerataan distribusi. Di mana alokasi 75 juta dosis vaksin mandiri dipusatkan dan bagaimana detail rantai distribusinya? Langkah-langkah mitigasi terhadap segala potensi ketidakadilan harus disiapkan sejak awal. 

Sumber: Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/video/detail_video/1770-sistem-distribusi-vaksin-covid-19

Persoalan terakhir adalah pendataan. Kelompok tenaga kesehatan dan pelayan publik dapat relative mudah diidentifikasi. Namun, ada hampir 27 juta peserta JKN yang iurannya dibayarkan pemerintah menjadi target program vaksinasi. Seberapa baik data yang tersedia saat ini? Pengalaman pengiriman bansos dan target kepesertaan Jamkesmas, Askeskin, dan JKN PBI yang salah sasaran menjadi peringatan dini bagaimana data harus dapat dikelola dengan baik hingga ke akar rumput. 

Jauh sebelum daftar prioritas diumumkan pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga RT/RW telah lebih dahulu mengambil insitiatif dengan meminta aparat di skala paling kecil untuk menyusun daftar warga penerima vaksin COVID-19 . Daftar itu disusun bersamaan dengan menumpuknya harapan ymasyarakat di lapis paling bawah.

Bagaimana data yang ditakwil sebagai peserta JKN PBI itu dapat sinkron dengan pendataan yang secara mandiri dilakukan warga? Bagaimana jika ada warga yang belum terdaftar sebagai peserta JKN PBI tapi dianggap layak menerima prioritas vaksin?

Persoalan detail mengenai vaksin ini tentu tidak dapat dibiarkan mendekam di atas kertas analisis, tetapi diubah menjadi strategi teknis yang paling efektif, meski tidak mungkin secara sempurna menghilangkan permasalahan yang kerap terjadi di lapangan. 

Komunikasi, Komunikasi 

Pekerjaan rumah besar pemerintah berikutnya adalah bagaimana mengomunikasikan semua hal ini secara jernih dan transparan. Komunikasi adalah kunci implementasi kebijakan yang seringkali diabaikan pemerintah sejak awal pandemi. Tidak perlu lagi ada informasi yang ditutup-tutupi, bahkan melakukan fabrikasi kabar baik dengan menyodorkan euphoria hiperbolik tanpa dasar ilmiah yang jelas. 

Program vaksinasi COVID-19 ini juga dapat berulang kembali sebagai bagian dari fabrikasi kabar baik yang tidak pada tempatnya. Pemerintah harus mampu mendudukkannya dengan seimbang. Implementasi program vaksin COVID-19 memang dapat memberi secercah harapan untuk menanggulangi pandemi yang menyakitkan ini, tapi ia tidak dapat dijadikan satu-satunya obat mujarab yang menyembuhkan.

Kunci utama penyembuhan justru berasal dari kepercayaan publik yang mesti dibangun lagi dengan kesabaran dan ketelatenan pemerintah dalam menempatkan kepentingan keselamatan bangsa dan warga negara di atas kepentingan apapun.

Dari mana kepercayaan itu dapat dibangun? Dari gestur kebijakan yang diambil—yang runut, berbasis ilmiah, transparan, dan mengayomi tanpa mempersalah-salahkan.

Semoga tulisan ini memberikan daya kesadaran tersendiri dan kewarasan bahwa—selain banyak kemajuan yang kita capai hari ini—masih banyak perkara yang belum selesai dan harus kita urus dan kritisi satu persatu. Bukan untuk meruntuhkan moral dan kepercayaan diri, tetapi untuk menahan diri dari euforia yang seringkali tak terkendali dan salah arah.

Rotterdam, Desember 2020

Ahmad Fuady

Foto fitur diambil dari sini.

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan