Adil Tapi Zalim

7 mins read

Suatu hari, serombongan saudagar tiba di Madinah dengan membawa tumpukan dagangan mereka. Saking banyaknya dagangan itu, Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu (ra.) bersepakat dengan Abdurrahman bin Auf ra. untuk menjaga mereka dan dagangannya agar tetap aman di malam hari. Di tengah senyap malam itu, Umar mendengar tangisan bayi yang tak kunjung mereda. Ia mencari-cari di mana sumber tangisnya. Gelap malam membuat wajahnya tak terlihat jelas. Ia tak tampak seperti Umar di siang hari. Ia hanya serupa lelaki yang berkeliaran di malam hari.

“Takutlah engkau kepada Allah dan rawatlah anakmu dengan baik,” kata Umar kepada sang ibu yang tengah menggendong bayinya. Si Ibu hanya mengangguk pasrah mendengar ada lelaki yang menegurnya di tengah malam. Bayi itu ditenangkannya sebentar. Saat Umar kembali ke tempatnya, si bayi menangis lagi. Umar kembali menghampiri dan mengatakan hal yang sama, “Takutlah engkau kepada Allah dan rawatlah anakmu dengan baik.” Di kepala Umar, bayi yang menangis tak karuan adalah ujung dari keteledoran sang ibu. “Celakalah engkau. Kau ibu yang buruk,” katanya mengingatkan.

Ibu itu pun membela diri. “Aku, sesungguhnya, tengah berusaha menyapihnya. Tapi, ia tak kunjung bersedia disapih dan selalu saja ingin menyusu,” katanya mencari alasan. Umar menatap bayi itu. Ia masih kecil, memang belum pantas disapih. “Ah, celakalah engkau. Mengapa engkau tergesa-gesa menyapihnya?”

“Umar hanya memberikan jatah makan terhadap anak-anak yang telah disapih saja.” Ibu itu membela diri sambil memendam kepedihan. Ia terpaksa menyapihnya agar mendapatkan subsidi makanan. Ia melakukan fraud demi memenuhi kriteri eligilibilitas penerima bantuan pemerintah.

Umar terhenyak. Langkahnya terlempar keluar. Ia terisak. Bahkan, tangisannya nyaris pecah ketika ia memimpin shalat subuh berjamaah. Bacaan suratnya parau, nyaris tak terdengar jelas oleh makmum di belakangnya karena bercampur tangis yang tertahan. “Celakalah engkau, Umar,” ratapnya berkali-kali kepada dirinya sendiri. “Berapa banyak anak-anak kaum muslimin yang telah engkau bunuh.”

Bukankah hari ini banyak rakyat yang sebenarnya tak benar-benar miskin, lalu mengaku-ngaku miskin dan memadankan dirinya sesuai kriteria ‘miskin’ penguasa semata-mata agar mendapat bantuan pemerintah? Mereka melakukan kecurangan-kecurangan demi sesuap nasi, demi cakupan asuransi, demi jatah bantuan –yang kriterianya disetel seketat mungkin agar tak menggerogoti keuangan negara dan tidak menjebol ruang fiskal yang ada.

Bantuan-bantuan disebar ala kadarnya. Kriteria dipatok sesempit mungkin. Negara harus tetap nampak berpihak kepada rakyat, meskipun setengah hati. Kebijakan ditetaskan sebelum matang, kemudian memberikan dampak ikutan yang buruk secara sosial. Angka-angka statistik mungkin menggembirakan target capaian. Target populasi tercakup, target sebaran bantuan tercapai. Namun, negara seolah mencukupkan dirinya pada catatan-catatan di atas kertas.

Meski negara dengan tegas mengatakan bahwa harga harus ditekan sedemikian rupa, siapa penguasa yang bersedia masuk ke lekuk-lekuk pasar yang becek dan mendapati harga-harga itu masih terkerek naik dan sulit turun. Walaupun negara sudah bersuka cita bahwa 90 sekian persen rakyat sudah tercakup asuransi kesehatan, siapa penguasa yang bersedia mengetuk pintu rumah orang miskin satu-per-satu dan memahami bahwa mereka bahkan tak punya uang untuk ongkos pergi ke rumah sakit meski telah punya kartu asuransi. Andaipun negara sudah merasa berpihak dengan membagi-bagikan bantuan kepada rakyat miskin, siapa penguasa yang bersedia blusukan sesungguhnya dan mengerti bahwa mereka yang nyaris miskin hanya menunggu waktu untuk masuk dalam kotak kemiskinan yang baru, atau memiskin-miskinkan dirinya agar benar-benar tampak miskin dan layak dibantu.

Fraud, kecurangan, muncul di mana-mana. Bukan karena semata mereka tak takut dianggap keliru, tetapi sistem yang memberikan ruang untuk berlaku seperti itu. Semuanya demi menangguk keuntungan sendiri. Bedanya, sebagian mengambil untung yang lebih besar karena keserakahan, sebagian lagi mengambil untung untuk menyelamatkan diri dari kesempitan-kesempitan yang terus mendera.

Umar pun memanggil utusannya dan mendaulat kebijakan baru selepas malam itu. “Jangan kalian menyapih anak-anak kalian terlampu dini,” katanya memulai. “Kami tetap akan memberikan jatah bantuan bagi setiap anak yang lahir dalam keadaan Islam.” Ia mengevaluasi kebijakan dengan mata batinnya sendiri, dengan langkah yang ia tempuh sendiri di malam hari, dengan kejernihan hati untuk mengoreksi kesalahan-kesalahannya sendiri. Umar memberikan jalan kepemimpinan yang tegas: tak boleh ada yang terzalimi dari setiap kebijakan yang diambil. Ia ingin keluar dari fatamorgana kebijakan populis: tampak adil namun sesungguhnya sedang menumbuhkembangkan kezaliman baru.

Ketika umurnya semakin senja, di penghujung ibadah hajinya tahun 23 H, Umar berkeluh kesah kepada Allah. Kekuatan fisiknya sudah melemah, padahal rakyatnya  semakin tersebar jauh dari Madinah. Ia takut bahwa kekuasaan yang ia pegang hanya akan meninggalkan kezaliman-kezaliman yang tak mampu lagi ia cegah dengan tangannya sendiri. Yang ia harapkan hanya dua dalam doanya, “Aku bermohon kepadaMu agar aku menapatkan syahadah (mati syahid) di atas jalanMu dan wafat di tanah NabiMu (Madinah).”

Maka terjadilah peristiwa subuh itu, tak lama hari berselang dari doanya tentang kewafatannya sendiri. Umar tengah memimpin shalat subuh di mihrab. Mendadak seorang lelaki menyeruak masuk ke shaf pertama, lalu menikamnya dengan belati bermata dua. Tiga kali, atau enam kali, tikaman yang membuat Umar bersimbah darah. Umar tak berteriak, hanya meminta Abdurrahman bin Auf menggantikannya sebagai imam shalat. Umar pun masih sempat dipapah ke rumahnya sambil menahan kucuran darah dari perutnya.

Ia bertanya berkali-kali, “Siapa yang menikamku?” Ia sungguh hanya ingin memastikan dua hal: yang menikamnya bukanlah seorang mu’min dan bukan orang yang pernah dizalimi oleh dirinya dan kebijakan-kebijakan pemerintahannya.  Ketika para sahabat menjawab bahwa yang menikamnya adalah Abu Lu’luah, budak al Mughirah bin Syu’bah, Umar menarik napas lega. “Alhamdulillah. Kematianku datang lewat tangan orang yang tak beriman dan tidak pernah sujud sekalipun kepada Allah.” Ia mengingat-ingat pula betapa dirinya telah menaikkan gaji Abu Lu’luah hingga 100 dirham dan mengajaknya masuk ke jalan kebaikan. Namun, Abu Lu’luah memutuskan nasibnya sendiri sebagai pembunuh khalifah terpuji –khalifah yang tak ingin sejengkal tanah pun membuat keledai terperosok dan terluka.

Rotterdam, 23 Ramadhan 1439

Gambar diambil dari: http://aihanifah.com/biografi-umar-bin-khattab/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan