/

Algoritma Kebaikan

4 mins read

Jalan hidup ini kita sendiri yang memilihnya. Semua perangkat sudah disiapkan oleh Allah, tidak ada kekurangan satu detail pun. Allah sudah menunjukkan pilihan jalan –hadaynaahun najdain,[1] Allah telah pula mengarahkan ke mana harus menempuhnya –hadaynaahus sabiil. Kita berkuasa sepenuhnya untuk bersyukur atau berbalik menjadi kufur.[2]

Hijrahnya Muhammad ke Yatsrib (kini dikenal sebagai Madinah) memperkenalkan kita dengan Abdullah bin Ubay bin Salul yang menjadi sebab turunnya banyak ayat yang kita baca saat ini. Tokoh munafik terbesar dalam sejarah. Ia mengambil dari Islam apa saja yang menyenangkannya, sesuai dengan kepentingan politiknya, dan sepadan dengan ambisi nafsu duniawinya. Ia meninggalkan, berbalik badan dari Muhammad ketika ada tuntutan yang bertentangan dengan nafsu dan kepentingannya. Ia menjadi contoh paling akbar betapa wajah dapat diputarbalikkan, ditukar-tukar, dipakaikan topeng, sekadar untuk mencari rasa aman di hadapan kekuatan yang melingkupinya, mendapatkan kesempatan emas dalam karir kekuasaannya, dan tetap menyembunyikan intensi negatif terhadap Allah.

Potensi Ibnu Ubay itu akan terus ada sepanjang jaman dan menarik-narik kita menjadi bagian dari kelompoknya. Kita memilih beriman di satu saat, kemudian berpaling kufur di kesempatan lain. Kita terancam menjadi bagian dari permisalan abadi yang Allah sebutkan –menyalakan api, namun ketika telah terang sekeliling kita, Allah melenyapkan terangnya.[3] Allah tidak serta merta melenyapkan cahaya yang menuntun jalan kita, tetapi kita sendiri yang memilih untuk mematikannya.

Kebaikan dan keburukan itu memiliki algoritma sendiri. Ketika kita memilih kebaikan, maka dimudahkan pula untuk menuntaskan kebaikan-kebaikan lainnya. Sesiapa saja yang memberikan hartanya, bertakwa, dan membenarkan pahala yang terbaik; mengejawantahkannya dalam praktik riil ketaatan, maka sistem yang melingkupinya akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Alam raya akan mendukung kepatuhan-kepatuhan berikutnya kepada Allah. Sebaliknya, kita yang memilih keburukan akan terperangkap dalam keburukan yang berturut-turut, kesulitan yang bertubi-tubi,[4] kegelapan yang menyesakkan, bahkan ditinggalkanNya dalam kegelapan hingga tak mampu lagi melihat kebenaran.[5]

Kita tentu tak ingin menjadi seperti mereka yang tuli, bisu, dan buta.[6] Bukan karena keterbatasan fisik kita, tapi karena keengganan hati kita menyesuaikan diri dengan kebenaran yang disampaikan Allah. Kita mendengar tapi mengabaikannya. Kita melihat, tapi menutup pintu masuknya. Kita mengetahui, tapi lidah kita kelu untuk menyampaikannya, menyatakan keberpihakan kita yang nyata kepada kebenaran.

Maka, antidot, penawar, obatnya sudah disisipkan Allah dalam ayat yang lain –udkhuluu fis silmi kaaffah, masuklah engkau dalam kepasrahan kepada Allah yang paling paripurna, holistik, tidak terpotong-potong. Kepasrahan kita menunjukkan bahwa tak ada satu daya pun yang mendorong, menyelamatkan, dan menghidarkan dari marabahaya, kecuali Allah. Kepasrahan kita juga menyatakan bahwa tak ada kelayakan sedikitpun untuk menyejajarkan tujuan, berhala, kiblat, dan tuhan-tuhan lain di sisi Allah. Kepasrahan kita itu menegaskan pula bahwa setiap apa yang dimintakanNya untuk dilakukan, dikerjakan, dipraktikkan, disusunkan strategi dan implementasinya harus kita sanggupi; dan setiap apa yang dilarang, dibenci, dan dimusuhiNya harus kita hindari sekuat hati dan tenaga. Karena itulah kepasrahan yang sejati –bukan kepasrahan sebatas pengakuan Islam, bukan pula stempel identitas dalam kartu kewarganegaraan.

Semoga Ramadhan ini adalah bagian dari menjejaknya kaki kita dalam algoritma kebaikan.

Rotterdam, Ramadhan 1438

[1] QS Al Balad 10

[2] QS Al Insan 3-4

[3] Lihat QS Al Baqarah 17. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka.

[4] Lihat QS Surat Al Lail 5-10

[5] QS Al Baqarah 17

[6] Lihat QS Al Baqarah 18

Gambar diambil dari: http://i2.wp.com/kuncikebaikan.com/wp-content/uploads/2016/02/Keikhlasan-sumber-kebaikan-e1455339557154.jpg

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan