Anak Tangga Sabar

16 mins read
2

Siang itu masih siang penuh duka bagi Ummu Salamah. Suaminya, Abu Salamah, baru saja wafat setelah luka sisa perang Uhud tak kunjung sembuh. Luka itu memang tampak mengering di permukaan kulitnya, menyisakan harapan bahwa hidupnya akan baik-baik saja dalam waktu yang panjang.

Selepas perang Uhud, Abu Salamah diperintahkan Rasulullah ﷺ untuk memimpin 150 orang yang menyusuri jalan tak dikenal orang pada malam hari. Di siang harinya, mereka bersembunyi agar jejak mereka tak dapat terhidu oleh serombongan orang yang dipimpin dua kakak beradik, Tulaiha dan Salamah bin Khuwailid. Rombongan itu, dengan sangkaan yang memikat hati mereka bahwa kaum Rasulullah ﷺ telah lumpuh kekuatannya selepas perang Uhud, mengobarkan semangat untuk menaklukkan Madinah.

Pada sebuah pagi buta, pasukan Abu Salamah menyergap mereka hingga tersudut dalam keadaan tak berdaya. Harta rampasan telah dibagi sesuai petuah Rasulullah ﷺ, lalu pasukan Abu Salamah kembali ke Madinah dengan kemenangan yang menambal rasa sakit dari kekalahan di perang Uhud. Sayangnya, selepas ekspedisi itu, luka di tubuh Abu Salamah menjadi parah. Darah keluar lagi dari bekas lukanya, tak juga berhenti hingga ia menjalani hari-harinya di perbaringan, lalu meninggal tak lama setelah ia kembali ke Madinah.

Siapapun yang pernah mengenal Abu Salamah pasti terkenang kebaikannya. Apalah lagi bagi istrinya, Ummu Salamah – yang dari rahimnya dititipkan empat orang anak dari benih Abu Salamah. “Siapakah yang lebih baik dari Abu Salamah,” kenangnya di siang itu yang masih penuh duka itu.

Ummu Salamah mengenang suaminya, juga nasihatnya ketika ia pulang dengan wajah gembira. Laqad sami’tu min Rasuulillah qawlan surirtu bih, katanya. Ia mendengar suatu perkataan yang begitu menggembirakan dari lidah Rasulullah ﷺ: jika seseorang tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan kalimat istirja’,[1] lalu berdoa ‘Ya Allah, berilah pahala bagiku dari musibah yang menimpaku dan berilah ganti bagiku dengan sesuatu yang lebih baik’, maka permintaannya itu akan dikabulkan.[2]

Kalimat doa itu diulang-ulang Ummu Salamah dalam kesabarannya menutup duka kehilangan suami tercinta. Wajahnya cantik jelita, otaknya cerdas, sikapnya cekatan, juga keturunan pemuka kaum Bani Makhzum yang kaya, Abu Umayyah. Baginya, mendapatkan suami lain selepas kepergian Abu Salamah semestinya tak menjadi beban yang begitu dalam. Tetapi, dalam cintanya yang sepenuh hati, ia pula yang kerap bertanya-tanya, ‘Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah’. Tak ada barangkali, batinnya. Ya, tidak ada, barangkali.

Kita barangkali tak mampu mencapai titik kesebaran setinggi yang pernah ditempuh Ummu Salamah. Ia telah melampaui ujian yang memang dijanjikan Allah: minal khaufi, wal juu’i, wanaqshin minal amwaali wal anfusi, watstsamaraat.[3] Kita sering kalah oleh rasa takut tak mendapat bagian dari penghidupan dunia, lalu menyerahkannya sebagai tawanan bagi bekal akhirat kita yang makin tipis. Kita tak kuat menahan rasa lapar yang mendera, dan tak sanggup membayangkan hidup dengan sanggaan batu yang diikat di bawah lambung. Kita takluk dalam impian hidup bermewah-mewah sehingga begitu ngeri jika harta berkurang, rekening mengempis, pekerjaan menghilang, dan rumah binasa. Kita begitu hebat menabur rasa cinta hingga begitu dalam pula kita larut di jurang kepedihan ketika mereka yang begitu kita cintai harus kembali ke pangkuan Pemiliknya. Kita mengucap sabar di lidah, tetapi memendam lara dan luka di dalam jiwa. Dalam musibah yang berdatangan itu, kita barangkali lebih banyak mengeluh daripada ber-istirja’, lebih sering membalut pikiran dalam rasa kalut dan penolakan daripada menerimanya dengan keridhaan yang lapang.

Kita seringkali mentok di anak tangga pertama kesabaran: yatasakhkhath, mempersalahkan takdir. Hati kita memendam tekanan dan menajamkan pisau penolakan, denial. Lidah kita memanjangkan keluh dan gerutu. Tangan dan kaki kita dipandu untuk melampiaskan ketidakrelaan menjadi kerusakan-kerusakan yang nyata – barang yang dihancurkan, pekerjaan yang ditelantarkan, dan tanggungjawab yang diabaikan.

Tapi, tidak bagi Ummu Salamah. Siang itu, selepas ia melewati masa iddah-nya, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Di tengah kesibukannya menyamak kulit sendirian, ia membuka pintu. Yang hadir baginya kemudian adalah keterkejutan luar biasa, juga hadiah atas doa yang dipanjatkannya dalam kesabaran yang bertumpuk-tumpuk.

Yang mengetuk pintunya adalah Rasulullah ﷺ, lelaki yang tak lama kemudian duduk di atas bantal kulit berisi sabut dengan senyum memikat penuh keteduhan. Tak banyak cakap beliau siang itu, kecuali menyampaikan hajat untuk meminang Ummu Salamah. Mulanya, Ummu Salamah menampiknya dengan berbagai alasan: kecintaannya kepada suaminya, usianya yang tak lagi muda, anak-anaknya yang banyak dan mungkin menambah beban Rasulullah, hingga rasa cemburunya yang seringkali sulit untuk ia tekan. Tapi, kedatangan Rasulullah ﷺ memang bagian dari upah orang-orang yang sabar.

‘Ammaa maa dzakarti minal ghairah fasawfa yuzhibhallah ‘azza wajalla ‘anki,[4] kata Rasulullah. Rasa cemburunya yang kerap meletup-letup itu akan Allah lenyapkan dari Ummu Salamah. Usianya yang tak lagi muda adalah keniscayaan bagi siapapun yang hidup dan menunggu kematian. Anak-anaknya yang banyak itu juga akan menjadi tanggungan sepenuhnya di sisi Rasulullah ﷺ.

Ummu Salamah pun melepaskan dirinya penuh kepada Rasulullah ﷺ, menerima lamaran yang tak mungkin ia tolak itu. Baginya, musibah kepergian suami tercinta telah mendapat ganti yang lebih baik – dan begitulah memang janji Allah yang ditunaikan dengan segera.

Musibah, seperti ujian-ujian lain, adalah bagian dari perkara hidup yang tak mungkin dihindari. Setiap rasa pahit dalam takdir adalah selalu yang terbaik dari Allah – yang tak mungkin khilaf menakar takaranNya, faqaddarahu taqdiiran. Takaran takdir yang pas, sesuai, dan terbaik pada setiap konteks, kondisi, dan situasi personal dan komunal. Justru kita yang menabur rasa pahit, luka, dan duka berlebih karena menggantungkan harapan dan keinginan yang terlampau tinggi tanpa memijakkan hati di dasar bumi untuk memahami bahwa variabel kehendak manusia selalu berpadu padan dengan kemisteriusan nasib masa depan yang Allah tentukan.

Kesabaran – yang menjadi pelipur itu sendiri – barulah pijakan anak tangga kedua yang menahan diri dari rasa ketidaksukaan terhadap takdir, tapi tak diletupkannya dalam urusan lisan dan perbuatan. Ia dimulai dari keterbukaan hati dan prasangka baik terhadap Allah. Ia adalah dhiya,[5] cahaya hangat yang membebaskan diri dari gelap yang membutakan jiwa, dari dingin yang membekukan hati. Ia adalah karunia terbaik – yang tidak ada karunia lain yang lebih baik dan lebih luas darinya. Ia adalah mula dari tumpukan kesabaran-kesabaran selanjutnya – wa man yatashabbaru, yushabbirhullah[6]: mereka yang memulai kesabaran, akan diberikan pasokan kesabaran lagi dan lagi oleh Allah.

Kesabaran yang kian menggunung itu akan bermuara pada keridhaan – anak tangga ketiga dalam menghadapi takdir yang tak disukai. Keridhaan itu tak sekadar berujung di lidah yang berucap istirja, tapi kerelaan hati, kepasrahan jiwa, dan kesadaran persangkaan: ujung dari segala kehidupan ini adalah kembali ke asal mula, ke hadirat Allah yang menjadi hulu dan cita sesungguhnya. Yazhunnuna annahum mulaaquu rabbihim wa annahum ilayhi rajiun.[7]

Keridhaan demi keridhaan yang hadir akan melempangkan jalan menuju anak tangga puncak, tertinggi: syukur. Tak banyak yang berdiri di sana, kecuali orang-orang yang telah membaktikan hidup sepenuhnya dalam pelukan Allah, yang telah menyadari bahwa setiap tarikan nafasnya adalah pemberian Allah yang tak terperi, yang telah menyingkap tabir bahwa setiap detik kehidupannya – baik ataupun buruk pada pandangan manusia – adalah karunia terbaik dari sisi Allah yang selalu ingin menarik hambaNya mendekat dan semakin dekat dengan amal terbaik mereka.

Di anak tangga manakah kita dalam menghadapi musibah yang datang, takdir yang tak sepenuhnya kita inginkan? Kita kerap mencari obat fisik dan medis menghadapi tekanan batin yang menyesakkan, tetapi luput menggali harta karun yang tak pernah terkubur jauh dari dalam jiwa kita sendiri. Ialah doa dalam pasrah: Allahumma ajurniy fiy mushibatiy wakhlufly khairan minha. Ya Allah, berikanlah pahala, balasan yang baik, kepadaku dalam musibah yang menimpaku, dan berilah ganti yang lebih baik daripada apa yang telah hilang dan menimpaku.

Ahmad Fuady

Rotterdam, 1441

[1] Kalimat istirja’: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

[2] Teks lengkap hadits ini: لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ. Artinya, “Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca istirja’ ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, “Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya,” melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu.” (HR. Imam Ahmad)

[3] Lihat QS Al Baqarah 155.

[4] Jawaban lengkap Rasulullah ﷺ kepada Ummu Salamah, أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي “Adapun mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah ‘azza wajalla akan melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang kamu sebutkan, sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami (juga menua). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula.” (HR Ahmad)

[5] Potongan hadits والصبر ضياء  “Dan sabar adalah cahaya” (HR Muslim).

[6] Hadits lengkapnya berbunyi مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ Artinya, “Apa saja kebaikan yang ada padaku, tidak akan aku simpankan untukmu. Siapa yang menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain, maka Allah akan menganugerahinya rasa puas. Siapa yang merasa cukup, Allah akan memberinya kekayaan (hati dan jiwa). Siapa yang bersabar, Allah akan mengaruniakannya kesabaran. Tidaklah ada satu karunia yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR Muttafaq Alaih)

[7] Lihat QS Al Baqarah 156.

 

Gambar fitur diambil dari: https://rendovous.wordpress.com/2014/08/06/sabar-sabar/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan